8 Kejanggalan Pada Kasus Pembunuhan Vina Menurut DPN PERADI

8 Kejanggalan Pada Kasus Pembunuhan Vina Menurut DPN PERADI
Sekretaris Bidang Kajian Hukum dan Undang-undang Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Nicholay Aprilindo mengungkapkan 8 kejanggalan pada kasus pembunuhan Vina

HARIANNKRI.ID – Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) melihat, setidaknya ada delapan kejanggalan pada kasus pembunuhan Vina yang saat ini menjadi viral. Kesimpulan kejanggalan tersebut berdasar pada keterangan keluarga 5 terpidana dan 4 orang saksi serta naskah keputusan pengadilan, data surat dakwaan dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang ada.

Sekretaris Bidang Kajian Hukum dan Undang-undang DPN Peradi Nicholay Aprilindo menuturkan,  perwakilan 5 keluarga 4 saksi pada kasus pembunuhan Vina di Cirebon datang ke Peradi Tower Jakarta Timur, Senin 10 Juni 2024. Kedatangan mereka didampingi oleh politisi Dedi Mulyadi.

“Kami merespon itu dan juga merespon perintah Presiden Jokowi kepada Kapolri untuk membuka kasus pembunuhan Vina secara terang benderang. Berdasarkan naskah keputusan pengadilan dan data surat dakwaan serta BAP yang ada, kemudian dipelajari,” kata Nicho kepada hariannkri.id, Jumat (14/06/2024).

Berdasarkan hal tersebut, advokat Prabowo-Gibran pada Sengketa Pilpres 2024 lalu mengatakan, DPN Peradi menemukan sedikitnya 8 kejanggalan di kasus yang terjadi tahun 2016 itu. Kejanggalan tersebut berkenaan dengan para terpidana yang saat ini menjalani vonis hukuman seumur hidup. Termasuk disana ada terpidana yang usainya sangat muda saat itu, namun ikut juga divonis.

Nicholay Aprilindo Ungkap 8 Kejanggalan Pada Kasus Pembunuhan Vina Menurut DPN PERADI

Nicho menjelaskan,semua kejanggalan muncul berdasrkan keterangan para saksi, baik yang datang ke Peradi Tower atau yang DPN Peradi baca pada BAP. Kejanggalan pertama, data mengatakan bahwa para terpidana ada bersama mereka pada malam kejadian 27 Agustus 2016 di rumah pak RT.

“Namun anehnya, dalam persidangan maupun BAP, pak RT menyangkal mereka menginap di rumahnya. Ini yang menjadi tanda tanya besar. Sedangkan anak pak RT ada bersama mereka, tidur bersama mereka sampai pagi,” ujar Nicho.

Kejanggalan kedua yang disimpulkan DPN Peradi, adanya 2 DPO yang dikatakan Polda Jabar fiktif. Padahal dalam putusan pengadilan, dua orang DPO itu dinyatakan ada, bahkan dalam dakwaan Jaksa pun ada. Pada saat itu, dalam dakwaan maupun keputusan, kedua orang yang disebut fiktif ini justru disebut sebagai pembawa Vina dan Eki ke flyover.

“Kalau membawa, itu berarti ada kejadian. Kalau mereka dikatakan fiktif, berarti tidak pernah ada kejadian. Lalu mayat Vina dan Eki itu bisa jalan sendiri ke flyover?” seru Nicho.

Yang keempat adalah adanya pemerkosaan. Tetapi tidak pernah diteliti secara scientific crime investigation dan ilmiah di laboratorium kriminal sperma di alat vital Vina itu milik siapa. Sehingga, menurut Nicho, bisa didapatkan siapa sesungguhnya pemerkosa atau pembunuh itu.

“Dikatakan juga, korban dibunuh dengan cara ditusuk menggunakan samurai. Tetapi tidak dilakukan luka tusuk  pada tubuh korban. Samurai itu panjang, kalau ditusuk pasti lukanya dalam. Ini merupakan kejanggalan dari hasil penyidikan tahun 2016 lalu,” katanya untuk kejanggalan kelima.

Nicho menambahkan, kejanggalan keenam terkait putusan hakim. Menurutnya, DPN Peradi melihat, putusan hakim didasari keterangan yang sangat minim alat bukti. Tidak ada persesuaian dengan keterangan saksi maupun alat bukti.

“Sedang alat bukti itu sendiri tidak pernah dihadirkan dalam persidangan,”sambugnya.

Yang ketujuh, lanjut Nicho, bagi Peradi, kasus ini dianggap sangat janggal karena ada keputusan dari Polsek setempat bahwa meninggalnya Vina dan Eki karena kecelakaan tunggal. Anehnya, beberapa waktu kemudian pada perkembangannya berubah menjadi pembunuhan.

“Itupun yang menangkap para terpidana adalah ayah dari Eki. Perwira polisi dari Satuan Reskrim Narkoba, bukan Satuan Reskrim Umum,” tegas Nicho.

Kewenangan ayah Eki untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penangkapan adalah kejanggalan terakhir. Seharusnya, selain kasus tersebut bukan tupoksi satuan tugas ayah Eki, hubungan kekeluargaan dengan korban  jadi bahan pertimbangan.

“Sehingga tidak ada konflik of interest,”tukas lulusan S1 hukum UKSW Salatiga ini.

Respon DPN Peradi  

Nicho melanjutkan, menurut keterangan para terpidanan maupun saksi, pengacara terdahulu tidak melakukan upaya banding maupun saksi. Mereka juga disebut tidak pernah melakukan upaya grasi.

“Mereka minta kepada kami, DPN Peradi dibawah pimpinan profesor Otto Hasibuan, untuk melakukan peninjauan kembali (PK-red) dengan berbagai novum atau bukti baru yang ada. Kami sedang dan akan mengumpulkan bukti baru itu untuk kami pakai sebagai pengajuan PK,” ujarnya.

Nicho menekankan, sikap DPN Peradi untuk mengajukan PK tidak hanya didasari atas kepentingan kasus pembunuhan Vina semata. Upaya ini dilakukan agar masyarakat tahu bahwa hak PK itu juga dijamin oleh Undang-undang.

Ditambahkan, hakim yang menyidangkan perkara tersebut seharusnya memeriksa saksi yang memberatkan dan meringankan. Pada kenyataannya, saksi yang meringankan tidak ada, semuanya memberatkan.

“Ini satu prosedur hukum acara yang terlewatkan,” jelasnya.

Nicho menambahkan, ketiadaan saksi yang meringankan juga terjadi dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Hal ini juga menjadi keprihatinan DPN Peradi.

“Kita mencintai kepolisian RI.  Kita tidak ingin kepolisian RI terjebak dalam pola perilaku kolonial. Kita tidak ingin itu,” tutup Nicholay Aprilindo. (OSY)

Loading...