Kompetensi Absolut Perkara Sengketa PHPU Presiden Dan Wakil Presiden 2024 di Mahkamah Konstitusi

Kompetensi Absolut Perkara Sengketa PHPU Presiden Dan Wakil Presiden 2024 di Mahkamah Konstitusi
Kompetensi Absolut Perkara Sengketa PHPU Presiden Dan Wakil Presiden 2024 di Mahkamah Konstitusi. Ditulis oleh: Dr. Nicholay Aprilindo, Advokat dan Aktivis Polhukam

Kompetensi Absolut Perkara Sengketa PHPU Presiden Dan Wakil Presiden 2024 di Mahkamah Konstitusi. Ditulis oleh: Dr. Nicholay Aprilindo, Advokat dan Aktivis Polhukam

Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU Presiden) selalu saja berujung pada Mahkamah Konstitusi. Terjadinya hal tersebut tidak lepas dari penolakan terhadap keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pada prinsipnya penolakan tersebut dapat dibenarkan sepanjang didalilkan lain tentang perolehan suara yang telah ditetapkan KPU. Dalil tersebut harus didasarkan pada berbagai alat bukti yang sah, relevan dan berkorespondensi. Tanpa adanya alat bukti sebagaimana yang dimaksudkan, maka dalil-dalil yang disampaikan hanyalah “kumpulan narasi” belaka.

Demikian itu tidak akan dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi. Kemudian berbagai alat bukti yang disampaikan juga harus sejalan dengan tata cara, prosedur dan mekanisme penyelesaian perkara. Salah satunya menyangkut tentang kompetensi absolut penanganan perkara. Penyelesaian perkara Pilpres telah ditentukan klasterisasi penyelesaiannya dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Pada perkara Sengketa PHPU Presiden dan Wakil Presiden 2024 kali ini masing-masing Pemohon, yakni Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 1 dan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 3 ternyata telah menyalahi kompetensi absolut tersebut. Diketahui bahwa dalam Petitum Permohonan yang disampaikan kedua Pemohon adalah relatif sama, yakni meminta untuk dilakukan diskualifikasi terhadap Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 2 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka terlebih dahulu. Kemudian dilakukan Pemungutan Suara Ulang. Tegasnya, Pemungutan Suara Ulang tanpa Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Terdapat pula alternatif Petitum dari Pemohon (in casu Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 1 Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar), yakni pendiskualifikasian Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden.

Kehadiran Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden selalu saja selalu saja dipermasalahankan. Sejak terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 Tahun 2023, putusan MKMK dan DKPP hingga sidang di Mahkamah Konsitusi hal itu semakin masif terjadi. Disini terbaca dan terlihat adanya makna-makna simbolik yang bertujuan untuk mendegradasi Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Padahal putusan Mahkamah tersebut telah berlaku final and binding. Keberlakuannya seketika, langsung dapat dilaksanakan (selfexecuting). Dengan kata lain, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebuy langsung berlaku tanpa perlu merubah norma dalam Undang-Undang a quo.

Kembali pada perihal kompetensi absolut, Permohonan yang diajukan baik oleh Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 1 maupun Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 3 lebih bermuatan pada pelanggaran administratif Pemilu yang utamanya bersifat terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Adapun menyangkut tentang penghitungan suara adalah tidak relevan dan tidak pula signifikan memengaruhi perolehan suara yang diperoleh Pasangan Calon Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Pelanggaran administratif Pemilu dan penghitungan suara adalah dua hal yang berbeda. Pendekatan pada pelanggaran administratif Pemilu bersifat kualitatif dan khusus tentang penghitungan suara bersifat kuantitatif. Mempersamakan keduanya adalah tidak dapat dibenarkan dan itu merupakan bentuk ketidakadilan. Terdapat adagium yang demikian terkenal, yakni “menyamakan dua hal yang berbeda adalah ketidakbenaran dan juga ketidakadilan”. Demikian itu tentu tidak sesuai dengan asas itikad baik yang didalamnya mengandung aspek kejujuran dan kepatutan.

Pelanggaran administratif Pemilu yang terjadi secara TSM, telah diatur secara jelas dan tegas dalam Pasal 463 UU Pemilu dan Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum. Kewenangan penyelesaian adalah mutlak domain Bawaslu. Putusan pelanggaran administratif Pemilu secara TSM harus diputuskan terlebih dahulu oleh Bawaslu kemudian ditindaklanjuti oleh keputusan KPU. Putusan KPU dapat berupa sanksi administratif berupa pembatalan calon Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Terhadap putusan KPU tersebut dapat dilakukan upaya hukum kepada Mahkamah Agung dan putusan Mahkamah Agung adalah putusan yang terakhir.

Kedua Pemohon tersebut, tidak pula mampu menguraikan tindakan TSM secara tegas dan jelas. Disini terlihat substansi Permohonan mengandung obscuur libel. Obscuur libel adalah menunjuk pada kondisi adanya ketidaksesuaian antara fakta hukum (fundamentum petendi) dengan Petitum. Perlu penulis sampaikan bahwa, tindakan secara TSM melihat perbuatan melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu). Pada yang demikian itu selalu ada keterhubungan (kausalitas) antara tindakan terstuktur dengan sistematis di satu sisi.

Di sisi lain, terjalin hubungan kausalitas antara tindakan terstuktur dan sistematis dengan terjadinya akibat yang bersifat masif tersebut. Keberlakuan secara masif adalah sebagai akibat (resultan) dari terstruktur dan sistematisnya pelanggaran administrasi Pemilu. Hal ini sejalan dengan Penjelasan Pasal 286 ayat (3) UU Pemilu, yang menyebutkan pelanggaran masif adalah dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilihan bukan hanya sebagian.

Selanjutnya, perihal tentang persoalan penghitungan suara dan ini merupakan satu-satunya kewenangan bagi Mahkamah Konstitusi untuk menerima, memeriksa dan memutus perselisihan PHPU Presiden. Dikatakan demikian oleh karena UU Pemilu sendiri telah menentukan adanya pembatasan tersebut. Jadi hal ini bukan dimaksudkan sebagai narasi atau klaim belaka, tidak demikian. Pendapat penulis selalu didasarkan pada aksiologi hukum konstistusi yakni “kepasian hukum yang adil” yang terjelmakan dalam asas legalitas yang pastinya mengandung lex scripta dan lex stricta.

Pasal 475 ayat (2) UU Pemilu menyatakan, “keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terhadap hasil penghitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilihnya Pasangan Calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Frasa “hanya terhadap hasil penghitungan suara” bermakna pembatasan dan bersifat tetap. Jadi diksi “hanya”, merupakan kata kunci pembatasan.

Tidak ada peluang untuk memperluas atau menafsirkan lain kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal penghitungan suara. Secara argumentum a contrario, maka selain penghitungan suara adalah bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Menjadi jelas, bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya terhadap hasil penghitungan suara dengan pendekatan kualitatif. Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili pelanggaran administratif, utamanya secara TSM yang notabene pendekatannya adalah kualitatif.

Uraian singkat di atas telah termuat dalam naskah Jawaban Pihak Terkait dengan narasi argumentatif berbasiskan landasan teoretis-yuridis. Oleh karena itu, Pihak Terkait dalam eksepsinya menyatakan bahwa Permohonan pihak Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard), sebab melanggar kompetensi absolut dan mengandung cacat formil. Demikian tulisan ini disajikan, semoga mencerahkan siapa saja yang membacanya.

Loading...