HARIANNKRI.ID – Teknologi Starlink yang menggunakan satelit LEO (Low Earth Orbit) ternyata sudah pernah dipakai bahkan tidak hanya satu perusahaan penyedia jasa telekomunikasi. Rata-rata pendahulu pengguna teknologi tersebut berakhirdengan kebangkrutan.
Guru besar Universitas Airlangga Henri Subiakto menjelaskan, banyak orang mengira Starlink adalah teknologi baru yang memiliki keunggulan akan mendisrupsi teknologi lama. Ada juga yang menganggap satelit ini sebagai keniscayaan.
“Anggapan ini tidak benar. Tapi juga untuk sementara tidak sepenuhnya salah,” kata Henri melalui pesan WA, Sabtu (22/06/2024).
Ia menjelaskan, satelit Starlink adalah satelit berjenis Low Earth Orbit (LEO) yang beroperasi di ketinggian antara 400 km sampai 1200 km. Sebenarnya, ini teknologi yang sudah lama. Bahkan sudah beberapa kali dicoba dikembangkan di AS dan Eropa, tapi gagal dalam bisnisnya.
“Tahun 1990-an sudah ada yang punya 60 satelit LEO, tapi bubar karena costnya terlalu mahal. Mereka kesulitan dalam pendanaan saat itu. Satelit LEO memang bukan hal baru,”inbuhnya.
Dijelaskan, beberapa perusahaan telah mencoba bisnis satelit berbasis LEO tapi mengalami kegagalan, karena masalah dana dan regulasi. Henri mencontohkan, Teledesic pada tahun 1990-an didukung Bill Gates dan Craig McCaw, sedianya untuk internet broadband global. Namun, proyek ini gagal terutama karena keuangan, bubar awal tahun 2000-an.
“Ada juga Iridium diluncurkan akhir 1990-an, juga bangkrut karena biaya yang sangat tinggi dan minimnya pelanggan. Lalu Iridium dihidupkan kembali untuk layanan militer dan Pemerintah AS serta melayanani komunikasi satelit di daerah kutub,” jelas Henri.
Mantan Staff Ahli Bidang Hukum Kemenkominfo ini meneruskan, ada Globalstar yang juga memakai LEO diluncurkan akhir 1990 juga bangkrut pada awal 2000-an. Kemudian OneWeb, pakai konstelasi satelit LEO untuk internet global. Maret 2020, OneWeb mengajukan kebangkrutan, lagi-lagi karena pendanaan dan kesulitan melanjutkan peluncuran satelit, pemerintah Inggris dan perusahaan telekomunikasi Bharti Global membantu One Web.
“Jadi Satelit LEO Starlink bukan teknologi baru, namun model bisnis yang dipakai Elon Musk yang baru,” tegasnya.
Model bisnis dimaksud, ungkap Henri, dengan dukungan berbagai usaha dan perusahaan untuk membiayai Starlink. Terkait akankah starlink akan berakhir seperti pendahulunya, ia hanya menjabarkan fakta yang ada dan harus dihadapi Elon Musk.
“Bagi Elon ini pertaruhan reputasinya. Itulah kenapa ia berusaha walau sulit dan mahal operasionalnya tetap dilanjutkan demi ambisinya. Karena mahalnya biaya operasional, satu pelanggan Starlink untuk beli perangkat 7-8 juta rupiah. Biaya langganan termurah 1,5 juta rupiah. Apa penduduk Indonesia di daerah 3T mampu?” pungkas Henri Subiakto. (OSY)