HARIANNKRI.ID – Direktur Jenderal Instrumen dan Penguatan Kementerian Hak Asasi Manusia (Dirjen IP KemenHAM) Dr Nicholay Aprilindo mengaku heran, hingga saat ini, masih ada penggunaan sel gelap (sel tikus) untuk mendisplinkan warga binaan. Apapun alasannya, menempatkan warga binaan di ruangan sempit, gelap dan minim fasilitas adalah perbuatan tidak memanusiakan manusia.
Sel tikus atau sel gelap adalah sel yang digunakan petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) atau Rumah Tahanan Negara (Rutan) untuk mendisplinkan warga binaan yang melakukan pelanggaran. Ruangan sel tersebut tidak ada penerangan, sempit dan pengap, bahkan tanpa fasilitas MCK.
Hampir semua lapas atau rutan (penjara) di Indonesia yang dibangun pada jaman penjajahan Belanda memiliki sel tikus. Tujuan dibangunnya sel ini sangat jelas, memberikan efek jera bagi penghuni penjara yang dirasa melanggar aturan dan disiplin.
Menurut Dirjen IP KemenHAM, hingga saat ini, di Indonesia penggunaan sel gelap atau sel tikus memang masih diberlakukan pada Rumah Tahanan tertentu, bahkan Lembaga Pemasyarakatan. Bahkan belum dilarang. Namun berdasarkan ketentuan, ada aturan jika petugas terpaksa menggunakan sel gelap untuk mendisiplinkan warga binaan.
“Aturannya, hanya boleh digunakan untuk warga binaan yang melakukan pelanggaran keras terhadap aturan. Seperti berkelahi, menggunakan narkoba, membuat onar, seperti itu. Paling lama warga binaan atau narapidana ditaruh di sel tikus 6 hari. Bisa diperpanjang 6 hari. Setelah itu harus dikeluarkan dan ditempatkan kembali ke sel biasa. Tidak bisa berlama-lama di sel tikus atau sel gelap. Apalagi sampai 1,5 bulan lamanya,” kata Dirjen IP KemenHAM melalui sambungan selular, Selasa (11/02/2025).
Nicholay mengingatkan, sejak tahun 2017, penggunaan sel gelap ini sudah tidak direkomendasikan oleh Kemenkumham. Tentu saja, penggunaan sel gelap ini dianggap sangat berpotensi melanggar HAM Serius.
“Makanya, saya heran, kok masih ada sel tikus aktif (masih digunakan-red) di jaman 79 tahun kemerdekaan. Padahal tusi dari Lapas dan atau Rutan untuk para narapidana itu adalah pembinaan bukan “penghukuman balas dendam”. Itukan tinggalan kolonial. Ini jaman HAM, kemanusiaan harus dijunjung tinggi karena memang itu hak dasar, manusia. Apapun dia, siapapun dia” tegas Dirjen IP KemenHAM.
Bahkan UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan sudah jelas mengatur ketentuan Hak dan Kewajiban Narapidana atau Warga Binaan (WB). Selain itu juga mengatur tentang kewajiban Negara (Petugas Pemasyarakatan). Demikian juga UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia juga melarang tindakan-tindakan penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan pelanggaran HAM. Termasuk ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta peraturan perundangan lainnya.
Sepengetahuannya, saat ini banyak Lapas atau Rutan sudah tidak menggunakan sel tikus atau gelap sebagaimana fungsi aslinya pada zaman penjajahan kolonial. Sekarang ruangan tersebut lebih banyak dipakai sebagai tempat penyimpanan barang atau gudang.
“Lebih baik dan lebih bermanfaat,” imbuhnya.
Dirjen IP KemenHAM menambahkan, terhadap warga binaan yang tidak mematuhi aturan, tidak ada kata lain, memang harus diberikan hukuman khusus. Tetapi harus diingat, hukuman tersebut haruslah yang memberikan nilai positif untuk mengembalikan kesadaran, pertobatan agar menjadi manusia yang berguna di masyarakat.
“Itu menjadi salah satu hal yang akan kita rumuskan guna perbaikan dan penguatan serta pemenuhan HAM di Kementerian HAM,” terangnya.

Dr Nicholay menuturkan, sejak Kabinet Merah Putih dibawah pimpinan Presiden Prabowo Subianto dilantik kemudian Kementerian HAM dibentuk, mereka langsung bekerja. Sebagai Pembantu Presiden dan Pembantu Menteri pada Kementerian HAM, pihaknya aktif mengunjungi ke seluruh Indonesia, untuk melihat pelaksanaan dan perwujudan Asta Cita kesatu dari Presiden Prabowo Subianto, yaitu “Memperkokoh Ideologi Pancasila, demokrasi dan Hak Asasi Manusia”.
“Jadi kami bukan tidak bekerja, tapi jarang diliput oleh media massa untuk diberitakan,” ucap Dr Nicholay Aprilindo yang juga sebelumnya 30 tahun sebagai praktisi hukum, aktivis hukum dan Ham serta Advokat Senior pada Organisasi Advokat PERADI Pimpinan Prof.Dr. Otto Hasibuan yang saat ini juga menjabat sebagai Wamenko Hukum, Ham, Imigrasi dan Pemasyarakatan.
Dr Nicholay Aprilindo yang juga pernah menganangani berbagai kasus pelanggaran HAM berat secara internasional. Diantaranya, pelanggaran HAM Berat Timor-Timur pasca referendum tahun 1999, Pembunuhan 3 orang staff UNHCR asal Puerto rico di Atambua Belu, kasus Penembakan tentara UNPKF asal New Zealand di Debululik Suai Timor Leste, dan berbagai kasus mengenai pengungsi Timor Timur akibat konflik sosial dan peperangan pasca jajak pendapat atau referendum Timor Timur 1999 akibat kebijakan politik dalam negeri dan luar negeri Pemerintah Indonesia masa Presiden BJ Habibie pada tahun 1999.
Terkait kunjungan atau inspeksi yang dilakukan semenjak menjabat, hariannkri.id menanyakan apakah pernah melihat langsung sel tikus yang masih aktif? Dirjen IP KemenHAM ini pun langsung menjawab.
“Ya pernah lah. Yang menjadi catatan serius saya dan tidak akan saya lupakan, Rutan Kelas I Cirebon. Khususnya ada seorang narapidana yang dikatakan mengidap penyakit akut TBC dan dimasukkan ke dalam sel tikus, sel isolasi yang gelap. Itu merupakan pelanggaran HAM serius,” tutup Nicholay. (OSY)