HARIANNKRI.ID – Tim LSM Garda Tipikor Indonesia (GTI) menyebut Bali potensial mengidap kekhawatiran kronis akibat carut-marut peristiwa politik atau semacam political distress. Potensi ini akibat dampak dari Gubernur Bali I Wayan Koster dan para bupati/walikota se Bali, kecuali Bupati Karangasem I Gusti Putu Parwata yang tidak mengikuti retreat Magelang.
Pelaku anti korupsi di Bali, Pande Mangku Rata menuturkan, ketidakikutan kepala daerah dalam retreart telah memancing pro-kontra. Tudingan yang paling santer sebagaimana riuh di media sosial. Bahwa ketidakikutan itu sebagai bagian dari sikap pembangkangan terhadap kebijakan pusat, dalam hal ini Presiden Prabowo Subianto. Di lain sisi, ada pihak yang memertanyakan manfaat retreat bagi kepala daerah ini.
Ia mengatakan tim LSM GTI di Bali telah mengkaji pro-kontra tentang retreat, terutama implikasi atas sejumlah kepala daerah yang menunda bahkan tidak ikut retreat. GTI menganalisis manfaat dan tujuan retreat yang dielaborasi dengan pencegahan tindak pidana korupsi.
Menurutnya, retreat ini penting. Antara lain karena bermanfaat untuk membekali kepala daerah berupa ilmu pengetahuan tentang sistem pengelolaan anggaran negara yang transparan dan akuntabel. Tujuannya, tiada lain agar anggaran yang dikelola benar-benar bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat. Hingga dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat dan pemerintah lebih atas serta DPR/DPRD. Anggaran dimaksud baik bersumber dari pusat, pendapan daerah, dan pendapatan lain-lain yang sah. Tentu juga tujuan lain, yakni untuk menjaga kekompakan para kepala daerah. Agar tindakannya satu visi dengan pemerintah pusat dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.
‘’Jika mengkaji manfaat dan tujuan inti retreat ini, kami melihat bahwa Presiden Prabowo Subianto sangat serius dan intensif menegaskan kepada kepala daerah. Agar terjauhkan dari praktik–praktik penyalahgunaan kewenangan. Yang bisa berujung pada munculnya tindak pidana korupsi,’’ ujar Ketua GTI Kabupaten Kabupaten Gianyar, asal Kelurahan Beng, Kecamatan Gianyar, Gianyar, Bali, ini.
Dalam sudut pandang anti korupsi dan mengacu manfaat dan tujuan retreat, lanjut Pande Mangku, sangat besar kemungkinan Bali akan menjadi fokus pencegahan dan penindakan pelaku anti korupsi oleh aparatur negara. Karena asumsi yang terbangun selama ini, yakni kepala daerah yang tidak ikut retreat dianggap telah teruji dalam sistem pengelolaan anggaran secara baik dan benar menurut aturan yang ada. Sebaliknya, kebenaran asumsi ini juga pasti akan diuji kembali oleh aparat penegak hukum, terutama bidang tindak pidana korupsi. Ujiannya, apakah betul para kepala daerah di Bali telah mengelola anggaran secara baik dan benar hingga terbebas dari unsur-unsur tindak pidana koruspi. ‘’Saya sangat yakin hal ini pasti akan didalami oleh para penegak hukum, terutama di Bali,’’ tambahnya.
Pascawacana tentang pembangkangan terhadap kebijakan presiden oleh para kepala daerah dengan tidak ikut retreat, menurut Pande Mangku, telah membuahkan sikap pesimisme masyarakat terhadap kepemimpinan Bali ke depan, termasuk kabupaten/kota yang bupati/walikotanya yang tidak ikut retreat. Pesimisme ini terutama terkait upaya daerah untuk mengakses anggaran ke pusat. Karena rakyat tahu bahwa presiden, gubernur, bupati dan walikota, adalah jabatan politik, selain sebagai kepala wilayah dan pimpinan administratif tertinggi di daerahnya.
Dalam Undang-undang tentang Pemerintah Daerah juga disebutkan kepala daerah adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Pertanyaaannya sekarang, bagaimana caranya para kepala daerah yang sedang mengalami gangguan konsolidasi politik dengan pusat ini dapat mengonsolidasikan kepentingan daerahnya secara optimal kepada pusat. Ada pihak yang menyebutkan bahwa soal anggaran dari pusat ke daerah sudah diatur undang-undang sehingga akan pasti cair. Namun, pengalaman empiriknya adalah dalam politik termasuk pengganggaran daerah dari pusat. Selain dilandasi undang-undang tentu dengan komunikasi intens oleh pejabat daerah kepada pusat.
‘’Biasanya, kata yang paling manjur dalam proses peningkatan anggaran daerah dari pusat, yakni lobi-lobi atau perluasan askes. Nanti kita lihat, seperti apa kekuatan lobi orang dari Bali kepada pusat,’’ sebutnya.
Pande Mangku menilai jika carut-marut politik pascaretreat ini tidak happy ending, maka ke depan Bali akan mengalami gangguan kronis dalam hal arus komunikasi politik. Namun, gangguan ini sangat kecil terjadi pada wilayah yang gubernur dan bupati/walikotanya telah mengikuti retreat dengan baik. Karena tegak lurus dengan komando pusat.
Seiring dengan kondisi itu, Bali juga akan mengidap political distress. Yakni sebuah kondisi psikologis yang timbul karena kebijakan politik yang tidak tepat atau merugikan rakyat. Belum lagi, gangguan komunikasi itu akan menimbulkan sejumlah pertanyaan. Misalnya tentang sejauh mana realisasi hibah bansos yang peruntukannya terlanjur dirancang oleh masyarakat, dan lain-lain.
Menyikapi kondisi itu ke depan, Pande Mangku mengharapkan agar para aparatur pemerintahan baik di kabupaten/kota dan provinsi di Bali, terutama yang bersentuhan langsung dengan penggunaan anggaran untuk bekerja dengan sikap tenang. Menurutnya, ketenangan baik untuk jangka pendek dan jangka panjang akan bisa diraih jika pengelolaan anggaran selalu didasari tata aturan yang ada.
‘’Dari banyak fakta tentang kasus korupsi hingga memenjarakan kepala daerah, tak sedikit yang menyeret aparat birokrasinya. Ini lantaran birokratnya takut menolak perintah pimpinan yang melanggar aturan hingga jadilah mereka ikut terpidana. Kasus ini, misalnya pernah ada di Kabupaten Jembrana, Klungkung, Bangli, dan daerah lain,’’ beber Pande Mangku. (OSY)