Gubernur Konten Dedi Mulyadi On This Week

Gubernur Konten Dedi Mulyadi On This Week
Gubernur Konten Dedi Mulyadi On This Week.  Tajuk Rencana hariannkri.id, Amrozi, Pemimpin Redaksi.

Gubernur Konten Dedi Mulyadi On This Week.  Tajuk Rencana hariannkri.id, Amrozi, Pemimpin Redaksi.

Seminggu ini, nama Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi kembali mencuat di berbagai kanal media sosial. Tentu saja utamanya di platform X (sebelumnya Twitter). Dari adu argumen dengan pelajar SMA, ancaman dari ormas, hingga kebijakan kontroversial seperti barak militer untuk siswa nakal. Termasuk wacana vasektomi untuk peserta bantuan sosial.

Tak heran jika  Gubernur Kalimantan Timur Rudy Mas’ud menyebut Dedi Mulyadi dengan “gubernur konten”. Mungkin karena setiap langkahnya memantik reaksi publik luas.

Pekan ini dibuka dengan viralnya video perdebatan Sang Gubernur Konten dengan seorang siswi SMA bernama Aura Cinta yang mempertanyakan larangan kegiatan wisuda di sekolah negeri. Sayangnya, alih-alih menjadi diskusi sehat, rekaman itu malah mengundang polemik. Pasalnya, netizen menganggap, pada diskusi tersebut Dedi Mulyadi menekan seorang remaja yang masih sangat muda. Apalagi unggahan video tersebut memicu hujatan pada Aura di jagat maya. Dalam dunia yang kian sensitif terhadap cara pejabat berkomunikasi dengan rakyat, terutama generasi muda, peristiwa ini menjadi pengingat bahwa kehadiran pemimpin tak hanya diukur dari ketegasan, tetapi juga empati dan kepantasan dalam bersikap.

Tak berhenti di situ, KDM (Kang Dedi Mulyadi) juga menarik perhatian nasional karena berani menyuarakan agar negara “menghilangkan premanisme sampai nol”. Tanggapan keras ini muncul pasca insiden pembakaran mobil polisi oleh anggota ormas GRIB Jaya di Depok. Di tengah kebimbangan publik terhadap sepak terjang ormas, pernyataan Gubernur Konten ini memang patut diapresiasi.

Namun, ketika ultimatum dari juru bicara GRIB muncul, justru ketegasan KDM diuji. Ia tak gentar dan tetap keuhkeuh bahwa sikap ini adalah langkah penting yang perlu dijaga dan harus didukung aparat keamanan agar supremasi hukum benar-benar berdiri di atas segalanya.

Pada Rabu, Dedi Mulyadi meluncurkan dua wacana besar sekaligus. Yakni membina siswa bermasalah melalui pendidikan militer dan mewajibkan vasektomi bagi penerima bantuan sosial pria. Dua langkah yang sama-sama dianggap keras dan beraroma “militeristik”. Meski semangat membentuk karakter disiplin patut dihargai, namun pendekatan barak militer terhadap remaja dikhawatirkan akan dampak psikologis dan stigma jangka panjang. Sejumlah pihak, termasuk anggota DPR dan pengamat pendidikan, mengingatkan bahwa penanganan siswa nakal harus berbasis pendekatan psikososial, bukan hukuman kolektif ala militer. Demikian pula soal vasektomi, yang jika dipaksakan, berpotensi melanggar hak asasi, norma agama, dan prinsip keadilan sosial.

Puncaknya terjadi pada Jumat, 2 Mei 2025, saat program pendidikan militer bagi siswa bermasalah benar-benar dimulai di dua lokasi di Jawa Barat. Meski kurikulumnya menjanjikan pembinaan karakter yang komprehensif, kekhawatiran akan dampak buruk jangka panjang tetap membayangi. Pendidikan harus membebaskan dan membina, bukan menundukkan dan menciptakan trauma baru.

Pekan ini seperti menunjukkan betapa Dedi Mulyadi bukan hanya bertindak sebagai kepala daerah, tapi juga sebagai aktor utama dalam panggung opini publik digital. Namun perlu disadari: menjadi “gubernur konten” bukan berarti setiap kebijakan dan tindakan harus viral. Ketika komunikasi publik mendahului pertimbangan etis dan ilmiah, kebijakan bisa berakhir bukan sebagai solusi, melainkan sumber masalah baru.

Apakah gaya kepemimpinan “viral first, reflect later” ini akan terus berlanjut dan memberi hasil positif jangka panjang bagi Jawa Barat?

Loading...