Ijazah Palsu Jokowi di “Tangan” Wartawan

Ijazah Palsu Jokowi di "Tangan" Wartawan
Ilustrasi Tajuk Rencana hariannkri.id berjudul "Ijazah Palsu Jokowi di "Tangan" Wartawan"

Ijazah Palsu Jokowi di “Tangan” Wartawan. Tajuk Rencana hariannkri.id, Amrozi, Pemimpin Redaksi.

Kontroversi ijazah palsu Jokowi kembali menjadi perbincangan hangat dengan perkembangan yang kian membingungkan publik. Jokowi akhirnya memutuskan untuk menunjukkan dokumen ijazahnya kepada sejumlah wartawan, namun melarang mereka mendokumentasikannya dalam bentuk gambar atau video. Keputusan ini menimbulkan tanya: apakah ini bentuk transparansi atau strategi untuk mengalihkan perhatian?

Sebelumnya, Jokowi sempat mengatakan bahwa ia hanya akan menunjukkan ijazahnya jika diperintahkan oleh pengadilan. Namun, tanpa ada tekanan dari hukum, ia memilih menunjukkan dokumen tersebut kepada media. Perubahan sikap ini menimbulkan dugaan bahwa ada usaha membangun citra atau permainan opini publik. Jika memang tidak ada hal yang dirahasiakan, mengapa melarang wartawan mengambil gambar? Bukankah dokumentasi adalah elemen penting dalam kerja jurnalistik?

Berdasarkan undang-undang, tugas wartawan adalah mengumpulkan informasi dan menyampaikannya secara lengkap kepada publik melalui media massa. Dalam praktiknya, jurnalis perlu mengumpulkan data dan bukti seakurat mungkin, termasuk dokumen visual, untuk memastikan informasi yang disampaikan bisa bertanggung jawab. Ketika wartawan tidak diperbolehkan mengambil gambar, ruang verifikasi dan pengujian keaslian dokumen menjadi terbatas, memunculkan kecurigaan jika ada sesuatu yang ingin disembunyikan.

Walaupun wartawan bukanlah ahli forensik dokumen atau pakar pendidikan, media mempunyai akses ke para ahli yang dapat memverifikasi keaslian ijazah berdasarkan bukti visual. Tanpa gambar atau video, proses uji publik tersebut menjadi timpang. Langkah Presiden yang terkesan setengah hati ini justru memperkuat keraguan di kalangan masyarakat yang sedari awal mempertanyakan keaslian ijazahnya.

Sebagai mantan kepala negara, Jokowi seharusnya menjadi contoh dalam hal keterbukaan dan akuntabilitas. Tindakan membatasi akses media terhadap bukti yang diklaim asli menjadi langkah ironis. Di satu sisi, ada usaha menunjukkan transparansi; namun di sisi lain, menutup kemungkinan publik untuk mengonfirmasi kebenaran secara objektif. Bukannya mendapatkan jawaban, justru berpotensi memunculkan “Ijazah Palsu Jokowi Jilid II”.

Apakah tudingan ini tanpa dasar atau ada fakta yang ditutupi? Waktu yang akan memberi jawaban. Satu hal yang pasti, selama verifikasi publik terhambat, kontroversi ini akan terus membayangi reputasi Jokowi, bahkan setelah masa jabatannya berakhir. Dalam era keterbukaan informasi, kejujuran dan transparansi adalah nilai yang paling berharga bagi mantan pemimpin negara.

Loading...