HARIANNKRI.COM – Koordinator Jaringan Aktivis Kemanusiaan Internasional (Koordinator JAKI) Yudi Syamhudi Suyuti mempertanyakan pemerintahan Jokowi yang terkesan tidak independen. Banyaknya masyarakat sipil yang dihukum atas tuduhan-tuduhan yang tidak relevan adalah salah satu indikasinya.
Sejak era kekuasaan Jokowi hingga saat ini, telah terjadi banyak indikasi bahwa Jokowi, jaringan kekuasaan dan pemodalnya telah menjalankan praktek imperialisme gaya baru pada rakyat. Mereka melakukannya dengan memaksa dan menggunakan instrumen negara demi kekuasaannya.
Tentu hal ini tidak terlepas dari kepentingan Cina Komunis (RRC) untuk menguasai kekayaan Indonesia. Caranya melalui proyek OBOR (One Belt, One Road) dengan memaksakan prinsip Belt Road Initiave.
“Kita sebagai bagian dunia internasional tentu saja kita tidak berhak membenci bangsa lain seperti Cina. Tapi kita anti dengan Imperialisme.” demikian disampaikan oleh Yudi Syamhudi Suyuti, Koordinator JAKI, di Hotel Gren Alia Cikini, Jakarta Pusat, Selasa, (15/01/2019).
Yudi menambahkan, problemnya adalah kita perlu bertanya kepada presiden Indonesi.
”Tahukah Jokowi bahwa kita ini sedang dijajah Cina? Lalu, kenapa kita mau dikuasai mereka. Boleh saja kita bekerja sama dengan siapapun selama menguntungkan untuk rakyat dan negara kita. Tapi untuk apa bekerjasama jika kita hanya menjadi terjajah,” kata Koordinator JAKI ini.
lanjut Yudi, sejauh ini JAKI telah mendapatkan banyak data bahwa jumlah masyarakat sipil yang dihukum atas tuduhan bermacam-macam. Seperti tuduhan makar, penyalahgunaan UU ITE dan pencemaran nama baik. Jumlahnya sangat banyak, paling tidak hampir mencapai ratusan.
“Dan ini termasuk yang terjadi pada isteri saya, Nelly Siringoringo. Yang jelas sekali terjadi kriminalisasi atas tuduhan UU ITE melalui tangan Lippo Group, yang saat ini sedang didakwa negara sebagai korporasi jahat. Ternyata dalam persidangan Lippo, juga diungkap dugaan terjadi intervensi para pembantu Jokowi,” ungkap Yudi.
Banyaknya kasus kriminalisasi ini begitu berbahaya bagi kehidupan bangsa Indonesia. Karena ada sekelompok kecil berkuasa yang menggunakan negara sebagai instrument kekuasannya. Jika inimemang terjadi, maka negara, termasuk ”Criminal Justice System” (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) yang ada didalamnya tentu akan menjadi lemah.
Aparatur dan penegak hukumnya pun pada akhirnya tidak akan mampu menegakkan keadilan. Dan jika keadilan telah mati, maka negara, demokrasi dan hak asasi manusia juga menjadi mati.
Untuk menyikapi hal tersebut, resolusi JAKI menyatakan. Pertama, mendesak negara untuk mengeluarkan Amnesti Nasional. Dan membebaskan semua tahanan korban Hak Azasi Manusia dan Kriminalisasi oleh Rezim Jokowi tanpa syarat.
“Kedua, jika negara tidak melakukan, maka kami akan segera menindak lanjuti hasil kaukus yang berada di dalam Piagam Cikini 2019. Untuk dilaporkan ke lembaga-lembaga internasional,”tegas Koordinator JAKI.
Lanjut Yudi, ketiga, segera membawa masalah ini untuk didaftarkan secara resmi ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal of Justice), dalam waktu segera. Yudi mengaku saat ini pihak Mahkamah lnternasional telah menghubungi JAKI. Untuk siap mengadili kasus-kasus yang ada, dengan mekanisme yang berlaku di lembaganya.
Sementara itu, Nelly Rosa Yulhiana Siringoringo, salah satu korban HAM dan kriminalisasi rezim Jokowi, menyatakan dirinya berbicara di seminar tersebut bukan untuk kepentingannya pribadi. Namun untuk kepentingan yang lebih luas. Ia tidak ingin rakyat Indonesia yang lain ikut dikriminalisasi.
Nelly Siringoringo dikriminalisasi dengan tuduhan UU ITE melalui tangan Lippo Group. Saat ini Lippo Group sedang diindikasi sebagai korporasi jahat dengan dugaan melakukan kejahatan korporasi.
“Saya berdiri disini bukan saja demi kepentingan saya pribadi. Yang bagi saya tidak berarti bagi rakyat, bangsa, negara dan umat manusia. Jadi saya bersama saudara-saudara saya dari banyak kalangan. Mulai dari ulama, aktivis, ibu rumah tangga, guru sekolah, kepala desa, dokter, mahasiswa, ilmuwan, petani, buruh dan rakyat masyarakat biasa. Telah ditindas oleh kekuasaan dengan cara kriminalisasi,” tutur Nelly Siringoringo. (FRI)