HARIANNKRI.COM – Diskusi Mingguan dengan tema “Menyongsong Pemilu Serentak Tahun 2019” digelar oleh Center for Election and Political Party Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (CEPP FISIP UI), Rabu (27/3/2019) di Ruangan JK Gedung B Fisip Universitas Indonesia. Tema yang diagkat adalah “Bawaslu pada Pemilu Serentak tahun 2019”. Dengan kesimpulan diskusi ialah harus segera dilakukan supermasi Bawaslu pada pengawasan pemilu.
“Supermasi pengawasan penyelenggaraan pemilu oleh Bawaslu. Didasarkan pada dalil bahwa pemilu yang demokratis harus free and fair (bebas dan adil-red),” kata Chusnul Mar’iyah, Ph.D.
Narasumber utama pada Diskusi Mingguan ini juga menuturkan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu tidak hanya peserta dari parpol dan perseorangan, dan KPU sebagai pelaksana. Akan tetapi petahana di esekutif dan incumbent di legislatif juga harus diawasi.
Petahana harus diawasi karena memiliki kuasa terhadap beberapa instrumen penting. Diantaranya Badan Intelejen Negara (BIN) TNI dan kepolisian, anggaran (APBN/APBD), dan juga menguasai data statistik.
“Petahana disini tidak hanya presiden. Namun juga gubernur, wali kota, dan bupati di tingkat lokal,” ujar Presiden Direktur CEPP FISIP UI ini.
Sementara itu Dr. Mulyadi La Tadampali menyambut argumentasi Chusnul Mar’iyah. Ia mengingatkan kembali maksud dan tujuan pembentukan Bawaslu.
“Maksud pembentukan Bawaslu adalah untuk menjamin proses dan hasil pemilu sesuai azas dan prinsip pemilu. Tujuan Bawaslu dibentuk yaitu untuk mengontrol dan mengendalikan seluruh kekuatan politik non-demokratis yang potensial merusak proses dan hasil pemilu, seperti oknum personil birokrasi, polisi, militer, intelijen, elit oligarkis, dan penyelenggara pemilu.
Tugas pengawasan Bawaslu melalui metode pencegahan dan penindakan. Diharapkan dapat mencapai maksud dan tujuan itu,” kata pengajar di Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia ini.
Akan tetapi menurut Mulyadi, hingga saat ini maksud dan tujuan tersebut masih jauh dari harapan. Mengingat sejumlah faktor internal dan eksternal tengah menghadang Bawaslu. Diantaranya faktor regulasi, struktur, kultur, personil, anggaran, sarana dan prasarana, serta kemitraan fungsional dengan lembaga lain.
Dari aspek regulasi, Mulyadi melihat Bawaslu sengaja dibuat lemah. Dengan cara tidak membekalinya pasal tentang kewenangan memaksa dan bela diri. Dalam melakukan klarifikasi dan penelusuran, misalnya. Bawaslu tidak diberi kewenangan untuk memanggil paksa para saksi dan pelaku.
“Selain itu, dulu ada pasal dalam undang-undang yang berisi ancaman pidana. Bagi pihak yang menghalang-halangi tugas dan fungsi pengawasan Bawaslu. Sekarang pasal ‘perisai dan perlindungan’ tersebut menghilang dari undang-undang,” terang Mulyadi.
Secara kultural, Bawaslu belum tegas pada kulturnya sebagai pengawas. Ukuran keberhasilan pemilu bagi Bawaslu bukan karena berjalan tertib, aman, dan lancar. Melainkan pada pelaksanaan azas dan prinsip pemilu.
“Tak ada gunanya pemilu berjalan tertib, aman dan lancar. Jika dalam proses dan hasilnya dipenuhi kecurangan, pelanggaran, ketidakjujuran dan ketidakadilan,” kata pengajar matakuliah partai politik dan pemilu ini.
Mantan Tenaga Ahli Bawaslu RI ini juga mengatakan bahwa di bagian struktur Bawaslu secara kelembagaan terinferior dari KPU. Dimana KPU Eselon 1A, sementara Bawaslu yang Eselon 1B. Jelas posisi tersebut menekan psikologi Bawaslu dalam pengawasan penyelenggaraan pemilu.
Mengenai masalah personil, anggaran, sarana dan prasarana yang dialami Bawaslu, Mulyadi tegas mengatakan, semua itu tidak hanya signifikan dalam mendorong dan meningkatkan kinerja Bawaslu. Fungsi pencegahan dan penindakan, tapi juga celah yang lebar yang bisa jadi pintu masuk pengaruh kaum oligarkis.
“Personil penting birokrasi Bawaslu yang umumnya pinjaman dari instansi lain jelas mereka memiliki loyalitas ganda. Begitu pula Honor Pengawas TPS 500 ribu per bulan, jauh di bawah UMR. Dan proses revisi anggaran yang memakan waktu, sudah pasti berpengaruh terhadap kinerjanya. Termasuk sarana dan prasarana yang masih pinjaman dari instansi lain,” tutur Mulyadi.
CEPP FISIP UI mendorong 2 poin penting untuk mewujudkan supermasi Banwaslu untuk mengawasi pemilu dan mewujudkan pemilu yang berintegritas. Pertama, mendorong Regulasi Tentang Penyelenggara Pemilu. Yang isinya mengatur kedudukan, kekuasaan, wewenang, tugas, fungsi, peran, hak, kewajiban, tanggung jawab, dan sanksi penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP).
Kedua, regulasi tentang penyelenggaraan pemilu. Yang seluruh isinya hanya dibuat oleh penyelenggara pemilu secara bebas, otonom, dan mandiri.
KPU yang buat PKPU-nya, Bawaslu dengan Perbawaslunya, dan DKPP dengan Peraturan DKPP-nya, tanpa perlu minta persetujuan DPR dan atau Pemerintah. Kalau ada pihak yang tidak setuju isinya, silahkan gugat ke Mahkamah Komstitusi. Itu penting untuk mencegah kepentingan oligarki partai, anggota legislatif dan petahana menyusup untuk mengacak-acak demokrasi, pemilu, dan hak-hak politik warga negara. Kedudukan penyelenggara pemilu harus diletakkan sebagai otoritas sipil pengganti MPR. Yang bergerak atas mandat kedaulatan rakyat,” tegasnya dalam diskusi CEPP FISIP UI. (ARF)