Antara Kemanusiaan dengan Hukum, Mana Harus Didahulukan? Catatan kecil pojok warung kopi ndeso. Oleh: Malika Dwi Ana, Pemerhati Sosial dan politik.
Beredar cerita di WAG (WathsApp Group) tentang Helen, wanita kulit hitam di Alabama yang tertangkap basah mencuri di supermarket. Denis, si polisi yang dipanggil untuk menahan menemukan kondisi bahwa yang dicuri Helen cuma 5 butir telor akibat anak-anaknya sudah dua hari tidak makan. Denis iba dan tidak jadi memproses Helen secara hukum. Bahkan ia justru membelikan Helen sekeranjang telor, lalu mengantar Helen pulang.
Keesokan hari, Denis dan beberapa kawan polisi mendatangi Helen dengan 2 mobil berisi bahan makanan serta keperluan sehari-hari. Helen menangis terharu dan berkata, “Engkau tak perlu melakukan ini. Terlalu berlebihan bagi kami .. ”
Denis menjawab, “Terkadang kebutuhan kita pada kemanusiaan lebih besar daripada kebutuhan kita pada hukum!”. Luar biasa. Hukum ditidurkan demi sebuah kemanusiaan.
Dan agaknya hari ini, di republik ini, ada seorang dokter yang bertugas melampaui tugasnya karena tanpa dibayar ia meneliti kematian massal anggota KPPS dalam pilpres 2019, justru dipanggil oleh polisi karena tindakannya malah dianggap menggiring opini publik tentang kematian misterius para KPPS. Anehnya negeri ini… bukannya mayat korban yang diperiksa, justru dokternya yang diperiksa dan terancam sepuluh tahun penjara.
Kemanusiaan harusnya sebagai pencapaian tingkat peradaban yang lebih maju dari sebelum-sebelumnya. Peradaban dengan kecerdasan sosial sebagai instrumen utama untuk menghadapi berbagai masalah yang mengancam kelestarian hidup umat manusia, sebuah bentuk kecerdasan yang tidak dipecahbelah oleh konsepsi bangsa, negara, dan ideologi (termasuk agama), sebuah konstruksi kecerdasan yang bahkan dapat menyatukan seluruh semesta dalam upayanya untuk terus lestari.
Karena tujuan final dari semua yang kita kerjakan, dari seluruh umat manusia adalah untuk mencapai perdamaian abadi yang berbasis keadilan sosial, tidak perduli agamanya, ideologinya, budayanya, dan peradabannya.
Tapi melihat fenomena pelaporan seorang dokter alumni UI, dr Ani Hasibuan, jadi punya kesimpulan begini;
“When exposing a crime is treated as comitting a crime, you are ruled by criminals.” tatkala pelapor kejahatan dihukum seperti penjahat, artinya kita sedang dipimpin oleh penjahat?