HARIANNKRI.COM – Alumni Lembaga Bantuan Hukum (LBH YLBHI) meminta presiden Jokowi agar mencopot Kapolri dan Wiranto. Keduanya dianggap membiarkan aparat beritindak represif kepada demonstran dalam rangkaian aksi 22 Mei.
Dalam siaran persnya Kamis (23/5/2019), alumni LBH YLBHI menyoroti gelombang aksi unjuk rasa terus berlangsung. Benturan dengan aparat keamanan (Kepolisian) dan Tentara (TNI) terus terjadi. Benturan ini menimbulkan korban pada masyarat sipil.
“Mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencopot Kapolri Tito Karnavian dan Menkopolhukam Wiranto. Yang membiarkan aparat represif terhadap demonstran. Menerapkan gaya militeristik ala Orde Baru, anti demokrasi dan mengabaikan perlindungan HAM,” jelas Abdul Fickar Hajar, salah satu alumni LBH YLBHI.
Kepada Aparat Keamanan Polri dan TNI yang diperbantukan, alumni LBH YLBHI juga meminta dengan agar mengedepankan cara-cara persuasif dan manusiawai dalam menghadapi massa aksi atau demonstran. Polri diharapkan tidak melakukan tindakan yang represif dan kontra produktif. Bagi penegakan dan pemenuhan Hak Azasi Manusia.
Menurutnya, dari informasi timbulnya korban pada masyarakat sipil, mengindikasikan Polri telah melakukan tindakan diluar batas kewajaran, tindakan diluar prosedur penanggulangan aksi massa. Padahal seharusnya Polri mengedepankan pola-pola yang humanis dan tidak represif. Sebagaimana Peraturan Kapolri No. 16 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengendalian Massa.
Alumni LBH YLBHI ini juga meminta kepada massa aksi unjuk rasa untuk menyampaikan aspirasinya secara baik dan bertanggungjawab. Tidak melakukan perbuatan yang berpotensi melanggar hukum, apalagi tindakan kekerasan. Tindakan kekerasan hanya akan merugikan diri sendiri dan tidak tersalurkannya aspirasi secara benar.
“Kami menyarankan agar kekecewaan atas hasil Pemilu atau Pilpres disalurkan sesuai kanal – kanal hukum yang tersedia. Penyelesaian sesuai mekanisme yang telah disepakati dalam sistem Demokrasi. Mekanisme Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi adalah cara yang telah kita sepakati dalam sistem Pemilu kita. Itu semua diciptakan agar demokrasi berjalan dengan baik dan terus menjadi baik,” tuturnya.
Abdul Fickar Hajar mengajak semua pihak untuk melakukan evaluasi sistem pemilu ke depan. Terutama pemilihan Presiden agar berjalan dengan jurdil, sebagaimana saat ini dicurigai adanya ketidaknetralan aparatur negara. Serta keberpihakan aparat penegak hukum, pemanfaatan fasilitas oleh patahana serta ketidakadilan lainnya akibat adanya presidensial treshold. Alumni LBH YLBHI juga meminta Komnas Ham untuk segera membentuk Tim Investigasi meninggalnya para pengunjukrasa.
“Kepada Presiden RI, agar tidak diam pada situasi seperti ini. Berikan kepastian keamanan dan perlindungan HAM pada rakyatnya. Jika situasi bentrok terus terjadi, maka sesungguhnya korbannya adalah rakyat, dan presiden harus bertanggungjawab,” tegasnya. (AMN)