Republik Indonesia Bab Dua (7): Criminal of War. Oleh: Sri Bintang Pamungkas, Aktivis.
Saya mencoba mengingat kembali berbagai peristiwa pada 1998/99. Menjelang Mei 1998, beberapa hari sebelum Soeharto pada akhirnya mundur. Jatuh korban tewas 4 Mahasiswa Trisakti ditembus peluru-peluru panas. Lalu Habibie menjadi Presiden RI pada 21 Mei 1998. Sebetulnya, sesuai dengan Pasal 8 UUD 1945, Habibie bisa memegang terus jabatan Presiden sampai 2002 dan sendiri tanpa harus mengangkat Wakil Presiden.
Tapi entah dari mana datangnya pikiran atau siapa yang membisiki, Habibie mau membikin Pemilu 1999. Mungkin untuk mengukuhkan dirinya sebagai Presiden dengan mengambil Wakil Presiden pilihannya, agar dirinya semakin yakin dan percaya diri! Dia telah menetapkan Wiranto sebagai Calon Wakil Presidennya.
Entah pula yang dipikirkan Habibie ketika memutuskan perlunya Sidang Istimewa MPR pada 10 November 1998. Sebulan sebelumnya, Habibie menerbitkan UU Unjuk Rasa Nomor 9/1998. SI-MPR yang tidak jelas tujuannya itu justru menjadi sumber malapetaka, bahkan sampai hari ini.
Entah kabar burung dari mana pula, konon SI-MPR itu akan diserang oleh Kelompok Komunis. Karena itu, Habibie memerintahkan Wiranto menjaga kelangsungan SI-MPR dengan merekrut Pengaman (Pam) Swakarsa. Anggaran 10 milyar Rupiah diambilnya dari Bulog. Anggota Pam Swakarsa direkrut dari para Mujahiddin di Jawa Barat dan Banten, tentu lewat ajakan palsu.
Pada saat bersamaan, muncullah kelompok yang menolak Habibie sebagai Presiden dengan alasan Habibie adalah orangnya Soeharto yang tidak mungkin bisa melakukan Perubahan. Maklumat Penolakan, antara lain, diprakarsai oleh Kemal Idris dan Ali Sadikin, keduanya adalah Purnawirawan TNI. Betullah dugaan banyak orang, Habibie tidak mampu menjalankan UU, khususnya UU Unjuk Rasa yang dibuatnya sendiri.
Lalu terjadi Peristiwa Semanggi-1, di mana 16 orang pemuda dan mahasiswa tewas, pula oleh peluru-peluru ABRI. Habibie memerintahkan Wiranto agar para pengunjuk rasa yang dituduhnya telah ditunggangi para penyeru Maklumat dihadapi secara keras! Belum lagi belasan anggota Pam Swakarsa yang tewas amat menyedihkan, karena bentrok dengan masyarakat.
Juga satu korban Mahasiswa tewas dalam Semanggi-2. Tentu Wiranto sebagai Panglima ABRI harus bertanggungjawab dalam Pembantaian-pembantaian tersebut. Sangat mungkin janji Habibie menjadikannya Wapres membuatnya gelap mata.
Habibie pun memberikan Otonomi Penuh kepada Timor-Timur yang sudah menjadi Provinsi Indonesia yang ke 27, pada bulan Juli 1998. Akan tetapi, ketika Sekjen PBB Kofi Annan menyambut baik perkembangan baru yang melegakan dunia itu, dan belum sempat menindak lanjuti lebih jauh, tiba-tiba pada Januari 1999 Habibie memberikan persetujuan untuk Referendum di Timor-Timur. Beberapa Jenderal tidak memberikan jawaban pasti sebelum Habibie memutuskan itu, antara lain, adalah Wiranto sendiri.
Akhirnya Timor Timur pun lepas, sekalipun Referendum dilakukan secara curang oleh Australia dan lain-lain yang menjadi anggota Komisi mewakili PBB. Lagi-lagi Wiranto bertanggungjawab atas bumi hangus dan pembantaian masal yang dilakukan terhadap orang-orang Timor-Timur sewaktu Pasukan TNI mundur pada September, pasca Referendum. Padahal, secara etnis, orang-orang Timor-Timur itu termasuk Bangsa Indonesia juga. Wiranto terancam sebagai Criminal of War.
Sulit diragukan, bahwa orang macam Wiranto sesunggihnya adalah tentara yang haus darah. Peristiwa Pembantaian terhadap pengunjuk rasa 22 Mei 2019 tentulah tidak terlepas dari tanggungjawabnya sebagai Menteri Polhukam.
Konon ada 8 orang terbunuh serta beberapa belas hilang dalam peristiwa unjuk rasa yang tiba-tiba berubah menjadi kerusuhan itu. Ini mengingatkan lagi psda Peristiwa Mei 1998 di mana puluhan, kalau tidak ratusan, orang tewas dalam Kebakaran Jakarta 13-14 Mei. Pada saat Wiranto justru sengaja meninggalkan gelanggang. Ketika Gus Dur ada di Davos, Swiss, dia dituntut untuk memecat Wiranto. Menhan Wiranto benar-benar dipecat Gus Dur sepulang dari Davos.