Tapera Menambah Beban Masyarakat? Oleh: Dian Sefianingrum, Pemerhati Sosial.
Setelah lama tidak terdengar kabarnya, pemerintah kembali mematangkan rencana program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Hal ini ditandai dengan penandatanganan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. Ada pun gaji yang harus dipotong untuk program ini sebesar 3 persen dengan alokasi 2,5 persen pekerja dan 0,5 persen pemberi kerja. Rencananya program ini diadakan untuk memudahkan masyarakat dalam mendirikan hunian. Namun, tidak hanya fasilitas kemudahan membuat rumah Tapera pun diperuntukkan bagi yang telah memiliki rumah pribadi.
Dilansir kompas.com (04/06/2020), Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) DKI Jakarta Sarman Simanjorang menyampaikan bahwa justru Tapera dianggap semakin membebani para pengusaha dan pekerja terlebih bisnis saat ini sedang terpuruk. Padahal untuk membayar tanggungan BPJS para karyawan sudah susah. Apalagi jika ditambah Tapera, mereka angkat tangan.
Mirisnya, sebagian besar gaji para pekerja digunakan untuk memenuhi kebutuhan primer mereka. Sebagaimana pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus menuturkan bahwa mayoritas pekerja menggunakan 90 persen gaji mereka untuk memenuhi kebutuhan primer seperti konsumsi, pendidikan anak, dan sebagainya. Dengan demikian, jika gaji mereka kembali dipotong untuk iuran Tapera sementara harga kebutuhan pokok makin melambung maka kondisi ini tentunya akan menekan finansial masyarakat. Apalagi, jumlah iuran Tapera lumayan besar yakni 3 persen dari gaji.
Rezim Pemalak Didikan Kapitalis
Pandemi Covid-19 telah membawa dampak besar ekonomi dunia maupun nasional. Akibatnya, negara pun perlu cari suntikan dana sana sini untuk menutupi defisit anggarannya. Setelah sebelumnya ada wacana penggunaan dana haji untuk menutupi kesulitan keuangan. Apakah nantinya ada jaminan Tapera tidak digunakan?
Berbagai macam kemungkinan bisa terjadi saat ini. Bahkan di negeri yang korupsinya nomor 4 di Asia Tenggara ini, tidak bisa menjamin Tapera akan aman-aman saja. Karena banyak sekali tikus-tikus berdasi berkeliaran mencari mangsa. Jadi bisakah rakyat percaya 100% pengelolanya akan amanah?
Jika Tapera diwajibkan untuk semua kalangan khususnya Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), maka baik yang sudah punya rumah maupun belum punya akan dikenakan potongan yang sama. Bagi mereka yang telah punya rumah, tentu mereka bisa tetap mengajukan pinjaman untuk merenovasi. Pinjaman ini lewat bank. Meskipun penawaran suku bunganya rendah, tetap yang diuntungkan pihak tertentu. Mereka para kapitalis.
Situasi semacam ini pastilah membebani dompet rakyat. Beginilah jika aturan dibuat sesuai kebutuhan dan kepentingan. Atas nama kesejahteraan rakyat, justru mereka yang dikorbankan. Sudahlah harus membayar pajak A-Z, ditambah Tapera yang belum ada kepastiannya menguntungkan rakyat. Tapera merupakan bentuk didikan sistem kapitalisme. Dimana pemerintah bukan sebagai pelayan rakyat, melainkan pemalak rakyat.
Sangat berbeda dengan Islam. Islam menjadikan kepemimpinan sebagai periayah (pengurus) urusan rakyat, sebagaimana sabda Rasulullah Saw : “Imam itu adalah pemimpin dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Muslim)
Amanah itu harus dijalankan karena tanggungannya dunia dan akhirat. Seorang pemimpin yang bertakwa tak akan menyalahi tugasnya. Ia bahkan tak akan berani membebani rakyat dengan beban sekecil apa pun. Mereka akan mengelola keuangan sesuai dengan pandangan Islam. Tak akan berani bermain-main dengan riba. Apalagi menjerumuskan rakyatnya pada dosa besar itu. Pemimpin yang beriman akan mencari uang dengan cara halal. Ia akan mendapatkan pemasukan utama dari mengelola SDA yang ada. Dari fa’i dan kharaj seperti ghanimah, jizyah, kharaj, fa’i, status kepemilikan tanah, dan dharibah. Bukan hanya dengan mengandalkan pajak dan pungutan lainnya.
Itulah kepemimpinan Islam. Yang hanya bisa dimiliki saat sistem Islam yang dipakai. Atas dorongan takwa kepada Allah. Dalam sebuah kepemimpinan bernama khilafah. Bukan atas nama kepentingan dan kekuasaan.
Wallahua’lam bishowab