Apa Artinya Status WTP Kalau Masih Korupsi Juga? Ditulis oleh: Andre Vincent Wenas, Pemerhati Ekonomi Politik & Pelintas Alam.
Dua fenomena menarik. Pertama, KPK baru saja mengeksekusi mantan Anggota BPK Rizal Djalil masuk penjara di Lapas Cibinong Bogor, Kamis 6 Mei 2021 kemarin.
Kedua, sementara itu, beberapa waktu terakhir ini di berbagai pemda dan instansi pemerintahan ramai memamerkan hasil audit BPK terhadap instansinya yang dapat status WTP (Wajar Tanpa Pengecualian).
Ya, tentu saja instansi itu boleh berbangga, tidak ada salahnya dengan itu. Tapi di atas status WTP itu ada hal yang jauh lebih substantif, yaitu pengelolaan anggaran yang jujur dan transparan!
Ingat khan dulu, Ahok pernah “ribut” dengan BPK juga.
Waktu itu bulan April 2016, Ahok sempat dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait proses pembelian sebagian lahan Rumah Sakit (RS) Sumber Waras di Jakarta Barat pada 2014, yang menurut BPK terindikasi menyebabkan kerugian negara sampai Rp 191 miliar.
Ahok berada di Gedung KPK sekitar 12 jam, dan akhirnya ia keluar tanpa rompi oranye! Waktu itu peristiwa Ahok diinterogasi di KPK pun diliput juga dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) yang dulu sangat legendaris itu.
Dipandu langsung oleh Karni Ilyas, acara ILC pun ikut merekam bagaimana Ahok keluar dari Gedung KPK dengan tertawa bahkan sambil berceloteh,”Yang pasti saya kira BPK menyembunyikan data kebenaran!” Wah!
Katanya, BPK juga meminta Pemprov DKI membatalkan pembelian lahan RS Sumber Waras, dan Ahok menilai permintaan itu tidak mungkin bisa dilakukan.
“Karena pembelian tanah itu terang dan tunai. Kalau dibalikin harus jual balik. Kalau jual balik mau enggak Sumber Waras beli harga baru? kalau pakai harga lama kerugian negara. Itu aja,” ujar dia. Nah khan!
Begitulah inti kisah ributnya Ahok vs BPK waktu itu. Faktanya sampai sekarang Ahok melenggang terus sampai jadi Komut Pertamina. Sementara Rizal Djalil, pejabat BPK yang dulu pernah berpolemik dengan Ahok soal kasus RS Sumber Waras itu sudah pakai rompi oranye.
Kasus yang menjerat Rizal Djalil ini soal korupsi proyek pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Kementerian PUPR.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja mengeksekusi mantan Anggota BPK Rizal Djalil ke Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Cibinong Bogor pada Kamis 6 Mei 2021 kemarin. Eksekusi ini sesuai putusan PN Tipikor pada PN Jakarta Pusat Nomor : 66 /Pid.Sus-TPK/2020/PN. Jkt. Pst tanggal 26 April 2021.
Kita kembali ke soal status WTP. Apakah memperjuangan status WTP itu perlu? Ya tentu saja perlu. Tapi apakah itu berarti sudah tidak ada korupsi? Haha… itu sama sekali tidak dicerminkan dalam opini WTP itu!
Tidak ada hubungan langsung antara status WTP dengan kenyataan praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di suatu instansi.
Lho kok begitu?
Kalau BPK memberi status opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau ‘unqualified opinion’ itu artinya bahwa secara prinsip akuntansi dinyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa telah menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material.
Ya, yang material saja. Yaitu posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Jadi, laporan-laporan keuangannya saja yang semata-mata sudah memenuhi prinsip-prinsip akuntansi.
BPK (atau BPKP) sebagai auditor keuangan akan memberikan opininya yang merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan.
Ini yang perlu kita pahami bersama, bahwa opini auditor itu adalah berdasar informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Itu saja.
Kriterianya adalah: kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern.
Kemudian, hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK disusun dan disajikan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) segera setelah kegiatan pemeriksaan selesai.
Pemeriksaan keuangan akan menghasilkan opini. Pemeriksaan kinerja akan menghasilkan temuan, kesimpulan, dan rekomendasi, sedangkan pemeriksaan dengan tujuan tertentu akan menghasilkan kesimpulan.
Lalu, setiap laporan hasil pemeriksaan BPK akan disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya untuk ditindaklanjuti, antara lain dengan membahasnya bersama pihak terkait. Begitulah, prosesnya bisa berjalan tuntas, tapi bisa juga berputar-putar tanpa ujung. Tapi ini soal lain lagi.
Bagi kita saat ini yang terpenting adalah agar anggaran negara, atau anggaran di setiap daerah itu sungguh-sungguh bisa dipakai untuk pembangunan yang riil. Bukan praktek KKN yang ditutupi lewat propaganda kehumasan tentang status WTP.
Status WTP itu hanya bermakna bagi administrasi pemda dihadapan BPK. Sedangkan rakyat tidak butuh disuguhkan berita kehumasan yang cuma pencitraan tentang betapa ‘wajar tanpa pengecualian’-nya laporan keuangan daerah.
Itu bagi rakyat tidak ada maknanya sama sekali. Apalah artinya status WTP kalau toh masih korupsi juga?
Sebetulnya, paling tidak Pemda khan bisa membuka secara transparan bagaimana mereka mengelola keuangan daerah (uang rakyat) itu dengan mengunggahnya secara rinci (sampai satuan harga barang) ke laman (website) resmi pemda masing-masing.
Janganlah cuma koar-koar soal transparansi, tapi ujungnya hanya bikin bingung rakyat dengan propaganda soal WTP.
“If you can’t convince them, confuse them!” – Harry S. Truman.