Logika Mangkrak & Sikap Egoistis Yang Bisa Bikin Negara Gagal! Ditulis oleh: Andre Vincent Wenas, Pemerhati Ekonomi Politik.
Entah apa kriteria Negara Gagal versi Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), sang Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR-RI. Dalam pemberitaan yang beredar tidak jelas disebutkan.
Hanya dikatakan bahwa Ibas mengkritik cara pemerintah menangani pandemi Covid-19 yang telah berjalan hampir dua tahun. Bahkan Ibas dikabarkan khawatir jikalau RI dianggap menjadi negara gagal atau failed nation dalam menangani Covid-19 yang kian mengganas akhir-akhir ini. Cuma itu saja.
Argumen yang terlalu sumir. Maaf. Walau pernyataan Ibas ini toh mendapat puja-puji… dari sesama politisi Partai Demokrat tentunya. Katanya sebagai bentuk kecintaan kepada rakyat. Hmm…
Karena sebetulnya, index negara gagal (failed states), atau yang sekarang disebut sebagai ‘fragile states’ setiap tahun ada diterbitkan oleh The Fund for Peace.
Walau memang ada penurunan posisi akibat tantangan internal yang luar biasa, dalam Annual Report 2021 FFP (Fund For Peace) di sub-judul “Most Improved Countries” ada disebutkan bahwa,
“…among the ten most improved over the decade are Indonesia and Timor-Leste, tied for sixth most improved, demonstrating the success the two neighbors have had in moving past their history of conflict.”
Jadi, Indonesia termasuk dalam 10 negara yang dipantau telah melakukan perbaikan-perbaikan dalam dekade (sepuluh tahun) terakhir ini.
Walau memang, sekali lagi, di tengah situasi pandemi global yang melanda seluruh dunia ini, Indonesia bersama dengan semua negara lainnya sedang bergelut keras untuk bisa keluar dengan selamat. Mengatasinya dalam spirit solidaritas mondial.
Perlu ditekankan bahwa pandemi global ini bukan perkara satu negara saja! Maka penanganannya perlu kerjasama lintas bangsa-bangsa. Sementara di dalam negerinya masing-masing juga tidak bisa terpecah-belah dalam faksionalisasi egosentris yang hanya mementingkan diri sendiri atau kelompoknya masing-masing.
Ingat, virus corona ini sama sekali tidak demokratis, ia tidak punya kartu anggota Partai Demokrat atau parpol apa pun. Dia juga tidak menganut agama tertentu, dan juga tidak memuja atau memberhalakan tokoh agama mana pun. Jadi, siapa saja yang kepala batu akan dilabraknya tanpa peduli dan tanpa permisi.
Manusia-manusia egoistis yang hanya mementingkan kelompok dan dirinya sendiri inilah yang menjadi batu penghalang solidaritas penanganan pandemi Covid-19 ini.
Memang, Soren Kierkegaard pernah bilang, bahwa suatu perubahan sosial tak akan pernah terjadi dari perubahan masyarakat, tetapi dari perubahan pribadi. Dan untuk menjadi seorang pribadi adalah merupakan tugas paling sulit di antara tugas-tugas lainnya.
“Knowledge and ego are directly related. The less knowledge, the greater the ego,” begitu kata Albert Einstein. Maka kita tak bisa berhenti juga untuk terus melakukan proses penyadaran (konsientisasi) ini. Juga demi mengikis sifat egosentris yang berawal dari kebodohan itu.
Kembali ke soal indeks ‘the fragile states’. Dalam kajian tahunannya, FFP menggunakan 12 indikator yang terbagi dalam 5 bagian. Keduabelas indikator ini bisa saja kita manfaatkan sebagai acuan untuk menghindarkan diri kita dari bencana negara gagal.
Bagian pertama, Cohesion Indicators (Indikator Kohesi). Terdiri dari 3 indikator: 1) Security Apparatus, 2) Factionalized Elites, 3) Group Grievance.
Bagian kedua, Economic Indicators (Indikator Ekonomi). Terdiri dari 3 indikator juga: 4) Economic Decline, 5) Uneven Economic Development, 6) Human Flight and Brain Drain.
Bagian ketiga, Political Indicators (Indikator Politik). Terdiri dari 3 indikator: 7) State Legitimacy, 8) Public Services, 9) Human Rights and Rule of Law.
Bagian keempat, Social Indicators (Indikator Sosial). Terdiri dari 2 indikator: 10) Demographic Pressures, 11) Refugees and IDPs (Internally Displaced Persons).
Bagian kelima, Cross-Cutting Indicators (Indikator Lintas-Batas). Terdiri dari 1 indikator: 12) External Intervention.
Masing-masing dari ke-12 indikator itu dirinci lagi dengan beberapa pertanyaan yang cukup komprehensif. Intinya, metodologi ini jelas lebih tidak sumir ketimbang mengatakan bahwa administrasi suatu pemerintahan bisa gagal lantaran secara subyektif dipandang gagal menangani pandemi Covid-19.
Bagi yang tertarik untuk mendalami kajian FFP ini bisa browsing di internet dengan mudah.
Index ini adalah suatu alat kritis yang bisa menyoroti tidak hanya tekanan-tekanan yang biasa dihadapi suatu negara. Tapi juga ditengarai mampu mengidentifikasi manakala tekanan-tekanan itu mengarah pada bahaya gagalnya suatu negara.
Dulu juga Noam Chomsky pernah menulis (bukunya: Failed States, The Abuse of Power and The Assault on Democracy, 2006), bahwa negara gagal “…are identified by the failure to provide security for the population, to guarantee rights at home or abroad, or to maintain functioning (not merely formal) democratic institutions.”
Jadi soal rasa aman bagi penduduk, hak-asasi manusia dan berfungsinya institusi-institusi demokrasi.
Sekedar contoh pertanyaan dalam index itu adalah di bidang ekonomi yang menyangkut soal pembangunan infrastruktur. Begini beberapa pertanyaannya,
Are roads adequate and safe? (apakah jalan raya tersedia dan aman?). Are there adequate airports for sustainable development? (Apakah bandara tersedia secara memadai untuk pembangunan yang berkelanjutan?). Are there adequate railroads for sustainable development? (Apakah rel kereta api tersedia dengan memadai untuk pembangunan yang berkelanjutan?). Is there an adequate supply of fuel? (Apakah pasokan bahan bakar tersedia secara memadai?).
Di samping tentunya banyak pertanyaan lain untuk bagian dan indikator selanjutnya.
Nah kalau begitu jelas bahwa segala upaya pembangunan infrastruktur yang signifikan itu sangat perlu. Dan bukankah itu juga yang selama ini dikejar mati-matian oleh administrasi Presiden Joko Widodo?
Justru yang mesti dihindari adalah mangkraknya pembangunan infrastruktur itu. Dan soal mangkrak ini kiranya Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) dan rekan-rekannya di Fraksi Partai Demokrat DPR-RI bisa memahaminya dengan mudah bukan?