Vonis Hukuman Juliari Batubara Diringankan: Lantaran Sering Di-Bully Publik? Ditulis Oleh: Andre Vincent Wenas, Pengamat Ekonomi-Politik.
“Terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat. Terdakwa telah divonis oleh masyarakat telah bersalah padahal secara hukum terdakwa belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” tutur hakim.
Itulah salah satu pertimbangan majelis hakim yang meringankan hukuman bagi Juliari P. Batubara. Alasan meringankan yang lainnya sih klasik, seperti biasanya saja.
Vonisnya 12 tahun penjara, dari tuntutannya yang “cuma” 11 tahun. Seolah ada bonus setahun. Apakah ini semacam ‘psychological-game’ semata? Ya wallahualam, silahkan ditimbang-timbang sendiri, andai saja kita masih menganggap bahwa korupsi itu adalah kejahatan luar biasa.
Lebih luar biasa lagi dilakukannya semasa ada bencana kesehatan nasional, situasi negara sedang krisis, kesulitan ekonomi dan di tengah penderitaan rakyat yang lagi menunggu bantuan sosial dari pemerintahnya sendiri.
Kembali ke soal pertimbangan majelis hakim yang rada aneh tadi. Lantaran katanya sudah di-bully habis-habisan oleh publik maka hukumannya pun dipertimbangkan untuk keringanannya.
Jadi logikanya, jika saja publik tidak mencerca, tidak memaki dan tidak menghina Juliari Batubara setelah ia ketahuan korupsi, apakah hukumannya bakal dipertimbangkan oleh majelis hakim untuk tidak diringankan?
Apakah supaya pertimbangannya jadi memberatkan terdakwa maka publik malah justru mestinya memuji-muji dan mengelu-elukan Juliari? Duh… puciiiing!
Rupanya penderitaan lahir dan batin dari masyarakat luas (yang haknya telah dicuri oleh Juliari Batubara) itu tidak menjadi pertimbangan. Hanya penderitaan lahir dan batin dari terdakwa Juliari Batubara saja yang jadi pertimbangan.
Lalu apakah semangat supaya ada efek-jera dari setiap vonis hukuman pidana korupsi cuma terdampar hanya sebagai sloganisme belaka?
Publik pun banyak yang bertanya dan berseru, kenapa tidak penjara seumur hidup? Miskinkan saja para koruptor itu! (bahkan sempat ada wacana hukuman mati segala).
Kali ini kita mau singgung yang soal memiskinkan koruptor itu saja. Perkara hukuman lainnya sudah banyak dibahas rekan lainnya.
Miskinkan koruptor itu! Sebetulnya memang inilah hukuman yang paling bikin gentar para koruptor. Motif keserakahan.
Tapi bukankah untuk memiskinkan mereka itu maka hartanya mesti dirampas dulu oleh negara? Lalu apa landasan hukum bagi aparat hukum untuk perampasan aset (harta) para koruptor itu?
Jawabnya sederhana. Mesti ada Undang-Undang yang melegalisasi tindakan negara untuk bisa merampas aset (harta) para koruptor itu. Kalau tidak, nanti negara bisa dituduh sebagai perampok lho.
Apakah UU itu sudah ada? Belum! Apakah Rancangan UU-nya sudah ada konsepnya? Ya sudah ada. Bahkan konsepnya sudah sejak tahun 2012, sudah 9 tahun lalu. Ada di mana, nyangkutnya dimana sih? Ada di gedung parlemen, alias di DPR-RI, ya nyangkut di situ.
Kenapa belum dibahas oleh DPR-RI dan lalu disahkan jadi UU? Nah, itu pertanyaan yang bagus.
Mari sama-sama kita tanyakan ke parlemen. Bukankah mereka adalah wakil-wakil rakyat yang kita pilih sendiri dalam pileg kemarin itu?
Ada 575 orang wakil rakyat di DPR-RI saat ini. Komposisinya terdiri dari 9 parpol, dengan rincian sebagai berikut:
PDIP (128 orang), Golkar (85), Gerindra (78), Nasdem (59), PKB (58), Demokrat (54), PKS (50), PAN (44), PPP (19).
Sudah sampai dimana pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset para koruptor itu? Kabarnya RUU ini cukup luas cakupannya.
“People have become disillusioned with parliament, and that threatened democracy.” – John Rhys-Davies.