Membaca Posisi Utang Negara, Tak Boleh Rabun Neraca. Ditulis oleh: Andre Vincent Wenas, Pemerhati Ekonomi-Politik.
Kita heran juga dengan mereka yang masih terus menerus ribut soal utang negara. Sudah tembus angka 6500 triliun rupiah katanya, begitu terus menerus disemprotkan seperti semprotan air pemadam kebakaran, firehose.
Tanpa lupa ditambah juga bumbu kalkulasi bahwa setiap orang Indonesia artinya menanggung utang sekitar Rp 24 juta.
Siapapun yang pernah belajar sedikit soal hitung dagang atau akuntansi dasar di tingkat sekolah menengah tentu faham, bahwa posisi Utang itu ada dalam Neraca Keuangan. Berbarengan dengan Ekuitas (modal) di sisi kanan, dan di sisi kirinya ada yang dinamakan Aset (harta/kekayaan).
Penjumlahan antara Utang (kewajiban) plus Ekuitas (modal) mesti seimbang (sama) dengan Asetnya. Itulah sebabnya dinamakan dengan neraca (balance-sheet), mesti seimbang. Maka pembahasan soal Utang juga tidak lepas dari pandangan kita soal Ekuitas dan Aset.
Kalau cuma menyoroti aspek Utang, pandangan kita menjadi rabun (myopic), berat sebelah, tidak seimbang, oleng, dan bisa berisiko jatuh dalam kubangan.
Dan kalau itu memang sengaja dilakukan dengan intensi untuk membutakan pandangan publik, maka itu disebut penyebaran hoaks, firehose of falsehood, menyemprotkan kabar bohong terus menerus (agitasi-propaganda)! Deviasi kebenaran.
Sebetulnya tidak sulit untuk melihat posisi neraca keuangan negara kita. Semuanya terbuka, open-bin-transparan. Bisa diakses mudah di laman kementerian keuangan (kemenkeu.go.id). Mbah Gugel juga bisa membantu kok.
Neraca itu bentuk atau formatnya seperti huruf T. Sisi kiri itu Aset, dan sisi kanan terdiri dari Utang (kewajiban) dan Ekuitas (modal). Sisi kanan dan sisi kiri mesti sama jumlahnya, lantaran prinsipnya, Aset itu dibiayai dari Ekuitas (modal) dan Utang (kewajiban).
Lalu gambaran neraca keuangan negara kita seperti apa?
Begini, laporan keuangan itu tutup buku setiap akhir tahun. Maka LKPP (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat) yang terakhir itu per tahun 2020 (audited) posisinya sebagai berikut:
Aset (sisi kiri): Rp 11.098,67 triliun. Rincian aset ini terdiri dari: Aset Lancar Rp 665,16 triliun, Investasi Jangka Panjang Rp 3.173,07 triliun, Aset Tetap Rp 5.976,01 triliun, Piutang Jangka Panjang Rp 59,32 triliun dan Aset Lainnya Rp 1.255,1 triliun.
Lalu Aset (harta/kekayaan) segede itu dibiayai dari mana? Ya dari sisi kanannya, yaitu Ekuitas (modal) dan Utang (kewajiban). Berapa besarnya masing-masing? Ekuitas (modal) Rp. 4.473,20 triliun ditambah Utang (kewajiban) sebesar Rp.6.625,47 triliun (terdiri dari 2 jenis, Utang Jangka Pendek Rp 701,60 triliun dan Utang Jangka Panjang Rp 5.923,87 triliun).
Itu tadi posisi di akhir tahun 2020, lalu bagaimana posisi di akhir tahun sebelumnya (2019) supaya kita bisa melihat pergerakan atau perkembangannya.
Posisi neraca keuangan negara di tahun 2019 adalah sebagai berikut: Aset Rp 10.467,53 trilyun. Sedangkan Ekuitasnya Rp 5.127,31 trilyun, dan Utang Rp 5.340,22 trilyun.
Siapa yang mengaudit LKPP (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat)? BPK-RI (Badan Pemeriksa Keuangan RI).
Jadi melihat LKPP yang sudah diaudit BPK ini nampak bahwa aset pemerintah pada 2020 meningkat 6% dibanding tahun 2019.
Adapun dari sisi Utang (kewajiban) hingga akhir tahun 2020 mengalami peningkatan juga, yaitu sebesar 24%. Peningkatan sebesar Rp 1.285,25 triliun. Dari (2019) Rp 5.340,22 triliun menjadi (2020) sebesar Rp 6,625,47 triliun.
Aspek Ekuitas (modal) pemerintah pusat tahun 2020 yang sebesar Rp 4.473,20 triliun adalah penurunan sebesar Rp 654,11 triliun dibandingkan tahun 2019 yang waktu itu tercatat mencapai Rp 5.127,31 triliun.
Catatan: kenaikan saldo Utang (kewajiban) sebagian besar terjadi karena peningkatan nilai Utang Jangka Panjang dalam negeri yang mencapai Rp 1.191,98 triliun.
Jadi kira-kira begitulah gambaran umum membaca neraca keuangan negara. Intinya tak hanya melihat aspek Utang (kewajiban) saja. Apalagi dengan dibumbui kalkulasi tanggungan utang setiap orang Indonesia yang dibilang besarannya sekitar Rp 24 juta/orang.
Lantaran kalau mau melihat secara seimbang, maka aspek Asetnya pun mesti dilihat, dengan besaran Aset yang juga naik, maka setiap orang Indonesia punya Aset yang besarannya sekitar Rp 41 juta/orang. Nah begitu baru balance!
By the way, per akhir Mei 2021 Kemenkeu mencatat jumlah utang pemerintah Indonesia sebesar Rp 6.418,15 triliun atau setara 40,49% dari Produk Domestik Bruto (PDB) per akhir Mei 2021.
Lain waktu kita telusuri lebih jauh soal kualitas masing-masing Aset dan Utang (kewajibannya), apakah utang itu untuk membiayai aset yang produktif? berjangka panjang?, dst. Juga soal dua laporan keuangan yang juga penting, yaitu laporan operasional (income statement) dan laporan arus kas (cash-flow). Ketiga laporan keuangan itu saling berkaitan satu sama lainnya.
Untuk sekarang kita hanya sekedar mengimbangi isu yang tidak seimbang soal Utang itu tadi.
Sebagai penutup, dalam masa sulit seperti ini, patut dicatat pernyataan Menkeu Sri Mulyani Indrawati soal utang ini,
“Kenapa kita harus menambah utang, seolah-olah menambah utang menjadi tujuan. Padahal, dia (utang) adalah merupakan instrumen whatever it takes, untuk menyelamatkan warga negara dan perekonomian kita.”
Utang untuk menyelamatkan warga negara dan perekonomian kita!