HARIANNKRI.ID – Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita didesak untuk membuka data utilitas dan produksi minyak goreng nasional kepada publik. Meski kebijakan kebijakan domestic market obligation (DMO) crued palm oil (CPO) sudah berjalan 3 minggu, namun kelangkaan salah satu bahan pokok ini masih juga terjadi.
Kebijakan DMO diberlakukan mulai akhir Januari 2022. Aturan ini mengharuskan eksportir CPO dan olein untuk mengalokasikan 20% ekspornya ke dalam negeri dengan harga Domestic Price Obligation (DPO). Pemerintah menetapkan harga DPO untuk CPO sebesar Rp 9.300 per kg dan Rp 10.300 per kg untuk olein. Penetapan ini dalam rangka menstabilkan harga minyak goreng yang naik tinggi.
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan Mulyanto menyebut, saat ini adalah titik krusial kebijakan DMO CPO dengan DPO. Bila pada titik ini, aman maka secara logika turunannya di sisi distribusi akan kembali lancar.
Ia menegaskan, sangat penting bagi pemerintah untuk membuka data produksi dan utilitas minyak goreng nasional kepada publik. Hal tersebut perlu dilakukan agar publik tahu berapa banyak kapasitas produksi minyak nasional dan digunakan untuk keperluan apa saja.
“Termasuk juga data kelancaran aliran bahan bakunya, yakni CPO dengan harga DMO. Hal ini penting untuk memastikan bahwa suplai minyak goreng dari industri memang benar dalam kondisi aman,” tegas Mulyanto kepada hariannkri.id di Jakarta, Kamis (24/2/2022).
Tiga Minggu Kebijakan DMO CPO Berjalan, Minyak Goreng Masih Langka
Ia pun minta Kementerian Perindustrian pro-aktif membuka data produksi minyak goreng masing-masing industri ini ke publik. Dengan demikian masyarakat jadi tahu perusahaan apa dan mana saja yang mengalami penurunan produksi, serta apa penyebab masalahnya.
“Pasalnya sudah tiga minggu kebijakan DMO CPO ini berjalan, namun masih saja terjadi kelangkaan minyak goreng. Baik di pasar tradisional maupun pasar ritel modern dan dengan harga yang masih melampaui HET (harga eceran tertinggi-red),” tegasnya.
Ia menekankan, publik sekarang ini ribut. Karena ditemukan berbagai penyimpangan di bagian distribusi migor baik dugaan adanya penimbunan, pengalihan kuota untuk pasar tradisional ke industri, termasuk perhotelan dan lain-lain.
“Itu semua tidak akan menjadi masalah berlarut-larut kalau memang di sisi produksi minyak goreng memang benar-benar dalam kondisi stabil dan mencukupi,” seru Mulyanto.
Menurutnya, produsen minyak goreng semestinya juga bisa membuka akses langsung industri atau perhotelan sebagai konsumen besar. sehingga mereka tidak terpaksa membeli migor (yang dialokasikan untuk pasar tradisional) di atas HET dari distributor nakal.
Mulyanto tidak yakin ada masalah di sisi produksi bahan baku migor. Sebab selama ini tidak pernah terdengar ada masalah iklim atau masalah sosial yang mengakibatkan terganggunya produksi bahan baku migor.
“Yang ada justru kabar melonjaknya harga jual internasional CPO. Sehingga bukan tidak mungkin ada eksportir CPO nakal yang tetap ingin memaksimalkan marjin keuntungan mereka dengan tidak mengindahkan kewajiban DMO,” tukas Mulyanto.
Ia menambahkan, analisis tersebut berdasarkan pengalaman dengan DMO untuk kasus komoditas batubara seperti itu. Pengusaha yang serakah berpotensi tergiur dengan harga CPO internasional yang sedang bagus-bagusnya. Sehingga mereka mengabaikan kuota 20 persen untuk kebutuhan pasar domestik dengan harga DPO.
“Akibatnya, industri minyak goreng kesulitan mendapat CPO sesuai harga DMO tersebut di atas. Sehingga mereka tidak mampu memproduksi migor seharga HET dan terpaksa mengurangi produksinya,” tutup Mulyanto. (OSY)