LPG 3 Kg Diprediksi Bakal Langka, Ini Penyebabnya

LPG 3 Kg Diprediksi Bakal Langka, Ini Penyebabnya
Ilustrasi artikel berjudul LPG 3 Kg Diprediksi Bakal Langka, Ini Penyebabnya

HARIANNKRI.IDWakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan Mulyanto mengingatkan pemerintah naiknya harga LPG non subsidi hingga tiga kali akan berdampak pada kelangkaan LPG 3 kg. Tingginya harga non subsidi serta minimnya pengawasan distribusi gas melon diyakini membuat pelanggan non subsidi “pindah ke lain hati”.

Anggota Komisi VII ini menuturkan, saat ini harga LPG non subsidi mengalami kenaikan berturut-turut dalam tiga bulan terakhir. Yakni bulan November 2021, Desember 2021, dan Februari 2022.

Ia pun meyakini, pelanggan yang tadinya menggunakan LPG non subsidi diperkirakan beralih membeli LPG 3 kg yang bersubsidi. Dan kalau ini terjadi maka gas melon tiga kg dapat mengalami kelangkaan yang mengakibatkan harga di tingkat pelanggan melebihi HET (harga eceran tertinggi).

“Hal tersebut sangat mungkin terjadi. Sekarang ini saja sekitar 12 juta pelanggan gas melon 3 kg adalah mereka yang tidak berhak,” kata Mulyanto di Jakarta, Kamis (3/3/2022).

Mantan peneliti di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) ini mengingatkan, pandemi Covid-19 belum pulih. Omicron masih tinggi dan ekonomi masyarakat masih tertatih-tatih. Maka saat mendapat tekanan harga, pelanggan LPG non-subsidi ini akan mencari jalan keluarnya sendiri yaitu membeli LPG 3 kg yang lebih murah.

Hal ini dimungkinkan, karena distribusi LPG 3 kg masih bersifat terbuka. Dijual bebas dengan pengawasan Pemerintah yang sangat minim. Semua orang dapat membeli secara mudah LPG bersubsidi di agen, pangkalan atau warung-warung.

“Tidak ada pembatasan khusus. Karenanya LPG bersubsidi ini terbuka untuk dibeli oleh pelanggan yang selama ini menggunakan LPG non subsidi,” imbuhnya.

LPG 3 kg Akan Langka Karena Salah Kebijakan Menaikkan Harga LPG Non Subsidi?

Mulyanto mendesak Pemerintah meninjau ulang kebijakan yang memberatkan masyarakat tersebut.

“Harga LPG non subsidi ini tidak mesti naik. Karena kenaikan defisit transaksi berjalan sektor migas, akibat melonjaknya harga migas dunia, sebenarnya dapat dikompensasi dari penerimaan ekspor komoditas energi lainnya. Seperti batu bara, gas alam dan CPO yang harganya juga melejit menuai wind fall profit,” jelasnya.

Sebagai contoh, lanjutnya, penerimaan negara dari ekspor batubara dan CPO pada tahun 2021 sebesar USD 55 milyar.  Sementara defisit transaksi berjalan sektor migas, karena impor BBM dan LPG, pada tahun 2021 hanya sebesar USD 13 milyar. Karenanya, kenaikan penerimaan ekspor batubara dan CPO mestinya dapat mengkompensasi kenaikan defisit transaksi dari impor migas.

Jadi, menurut Mulyanto, melonjaknya harga energi dunia, tidak otomatis harus diikuti dengan kebijakan kenaikan harga BBM dan LPG domestik.

Mulyanto juga meminta Pemerintah untuk mengembangkan berbagai opsi kebijakan yang inovatif, yang tidak memicu inflasi dan membebani rakyat di saat pandemi Covid-19 yang belum usai ini.

Misalnya dalam jangka pendek, substitsui LPG dapat dilakukan dengan kompor listrik atau gas alam, apalagi kalau gas alam ini dijual dalam bentuk tabung. Juga peningkatan eksplorasi dan produksi migas di lapangan eksisting, karena dengan harga yang tinggi investasi migas menjadi semakin kondusif. Termasuk juga gerakan penghematan penggunaan LPG. (OSY)

Loading...