HARIANNKRI.ID – Sebanyak 893 orang pemilik lahan yang kini digunakan untuk pembangunan PLTU Batang Jawa Tengah mengirimkan surat somasi kepada PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) selaku leader korporasi pembangunan dan pengelola pembangkit listrik tersebut. Mereka menganggap PT BPI telah melakukan wanprestasi atas perjanjian pengalihan hak kepemilikan tanah tersebut.
Somasi tersebut disampaikan 893 eks pemilik lahan dengan luas total 2.169.446 m melalui Kantor Hukum Toelle & Sahabat. Kepada hariannkri.id, Dr. Marthen H.Toelle, Bc.Hk, S.H,. M.H mengatakan somasi yang pertama telah dilayangkan dengan nomor 16.V.MHT.2022 tertanggal 16 Mei 2022.
“Betul. Somasi pertama sudah kami layangkan tertanggal 16 Mei 2022. Dengan permintaan tanggapan yang bersahabat dalam waktu 14 hari kerja. Terhitung semenjak diterimanya surat somasi pertama tersebut,” kata Marthen, Selasa (17/5/2022).
Ia menjelaskan, surat somasi tersebut ditujukan kepada PT BPI selaku leader korporasi yang nantinya menjadi pengelola PLTU Batang. Dikatakan leader korporasi, karena pembangunan tersebut juga melibat PT. Adaro Energi, J-Power Co dan Itochu Co, dimana ketiganya adalah perusahaan dari Jepang. Adapun pembiayaan pembangunan berasal dari Japan Bank for International Corporation (JIBC).
Marthen juga memaparkan, ke-893 orang mantan pemilik lahan ini pada proses transaksinya dibagi menjadi dua tahapan. Tahap pertama sebanyak 749 orang dan tahap kedua sebanyak 144 orang.
PT BPI Bebaskan Lahan Untuk Pembangunan PLTU Batang Secara Dua Tahap
Pada tahap pertama, lanjutnya, PT PBI melakukan pembebasan lahan dengan harga tanah 100 ribu per meterpersegi. Tahap tersebut PT BPI berhasil membayar 749 orang pemilik lahan seluas 1.910.742 m2 dengan total nilai sekitar 191 miliar rupiah.
Ia menekankan adanya Surat Keterangan PT BWI nomor BPI/MES/1/II/2013 tanggal 8 Pebruari 2013. Pada surat keterangan tersebut, dinyatakan bahwa harga tanah yang ditawarkan adalah final, yakni sebesar 100 ribu/m2.
“Harga tersebut berlaku untuk semua jenis lahan atau tanah. PT BPI menjamin harga tersebut tidak akan mengalami perubahan sampai dengan selesainya pembelian lahan-lahan yang akan digunakan untuk PLTU Batang,” jelas Marthen.
Namun ternyata, ujar doktor hukum lulusan Universitas Airlangga ini, pada tahap kedua, sebanyak 144 orang dengan total luas 258.685m2 , dihargai dengan nilai 400 ribu/m2. Teknisnya, PT BPI membayar dengan 2 cek, dimana cek pertama senilai 100 ribu/m2 kali luas lahan yang dibeli sebagai uang beli lahan. Sedangkan cek kedua senilai 300 ribu/m2 kali luas lahan yang dibeli sebagai success fee untuk pemilik lahan atau suami/istri pemililik lahan.
“Pada pembebasan tahap kedua ini, menurut saya, terindikasi adanya upaya PT BPI memanipulasi kewajiban membayar Bea Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB-red) sesuai peraturan-perundang-undangan yang berlaku. Diduga ada kejahatan korporasi pada transaksi tersebut,” ujarnya.
Marthen menekankan, yang menjadi perhatian utama kliennya, adalah pada tahap kedua PT BPI membayar ganti alih lahan dengan nilai 400 ribu permeter. Karena jelas tertulis pada Surat Keterangan PT BWI nomor BPI/MES/1/II/2013, hanya ada satu harga untuk ganti lahan, yakni 100 ribu.
“Kami menduga, istilah success fee pada tahap kedua tersebut hanya rekayasa saja agar terlihat nilainya sama. Jika memang ada, maka jelas seharusnya 749 orang pada tahap pertama juga mendapat privilage yang sama. Selain itu, istilah itu baru muncul pada saat pembayaran tahap kedua. Pada pembicaraan sebelumnya dengan 144 orang tahap kedua, istilah itu tidak muncul. Mereka tahunya, lahan mereka diganti dengan nilai 400 ribu per meter. Wajar dong yang tahap pertama meminta hak yang sama,” tegas Marthen.
PT BPI Dituding Eks Pemilik Lahan PLTU Batang Wanprestasi
Selain memberikan uang ganti lahan, menurut Marthen, berdasarkan janji Bupati Batang pada waktu sosialisasi sebelum terjadi peralihan lahan, PT BPI juga diwajibkan mengganti lahan mereka dengan lahan yang subur. Ia menekankan, para kliennya menjadikan janji tersebut sebagai salah satu faktor utama mengapa mereka bersedia melepaskan lahan tempat mereka mencari nafkah.
“Ya pastilah janji itu menjadi salah satu pertimbangan utama. Karena janji tersebut juga masuk dalam kesepakatan tertulis. Yang menggaransi adalah Bupati Batang dan pihak PT BPI juga mengiyakan. Yang terjadi saat ini, mereka mendapatkan lahan yang jelas-jelas tidak subur. Tidak produktif. Jadi bisa dikategorikan sebagai wanprestasi. Itu mengapa semua orang, baik yang menerrima uang pengganti lahan pada tahap pertama dan tahap kedua mensomasi PT BPI,” tutur Marthen.
Ia menambahkan, dalam somasi tersebut pihaknya berharap ada penyelesaian secara damai (Non Litigasi). Penyelesaian melalui pengadilan adalah jalan terakhir jika ternyata tidak ada niat baik untuk mencari solusi yang terbaik.
“Substansi tujuan pokok dari somasi ini adalah untuk menyelesaikan permasalahan kesetaraan harga tanah secara Non Litigasi. Duduk bersama dalam satu meja bersama kami untuk mendapatkan solusi penyelesaian yang terbaik,” tutup Marthen. (OSY)