HARIANNKRI.ID – Pakar hukum nasional DR Marthen H Tolelle Bc.Hk SH MH menyesalkan kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi di Surabaya 9 tahun lalu belum juga berkekuatan hukum tetap (inkracht). Menurutnya, kunci untuk mendapatkan keadilan adalah komunikasi aktif antara korban dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada perkara tersebut.
Menurut doktor hukum lulusan S3 Universitas Airlangga ini, dalam hukum, untuk mendapatkan keadilan, korban sudah diwakili negara melalui JPU pada perkara yang disidangkan. Karenanya, JPU dapat menerima putusan pengadilan atas perkara yang dituntutnya tanpa persetujuan korban. Selain itu, JPU juga bisa melakukan upaya hukum Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK) jika merasa tidak setuju dengan keputusan yang sudah ditetapkan.
“Korban sudah diwakili negara dalam hal ini JPU. JPU juga bisa melakukan upaya hukum, Banding, Kasasi dan PK,” katanya melalui sambungan selular, Rabu (11/8/2021).
Pria yang akrab dipanggil DR Marthen ini menjelaskan, Banding adalah salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri (PN). Para pihak mengajukan banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan PN kepada Pengadilan Tinggi (PT) melalui PN dimana putusan tersebut dijatuhkan.
Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan PT. Para pihak dapat mengajukan Kasasi bila merasa tidak puas dengan isi putusan PT kepada Mahkamah Agung (MA).
Adapun PK adalah suatu upaya hukum yang dapat ditempuh oleh terpidana (orang yang dikenai hukuman) dalam suatu kasus hukum terhadap suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam sistem peradilan di Indonesia. Permohonan PK dapat dilakukan dalam kasus perkara Perdata maupun perkara Pidana.
“Istilah ini berbeda penggunaannya. Bergantung kepada siapa salah satu pihak berperkara mengajukan keberatan atas putusan yang dikeluarkan. Berbeda dengan PK, yang mana terdakwa pada saat minta hukumannya ditinjau kembali, statusnya sudah terpidana (menjalani hukuman-red),” imbuhnya.
Tanggapan DR Marthen Terhadap Perkara Kekerasan Terhadap Jurnalis Surabaya
Terkait dengan peristiwa kekerasan terhadap jurnalis Surabaya yang terjadi 9 tahun lalu, menurutnya, yang perlu dicermati adalah Kasasi-nya. DR Marthen mengingatkan, putusan PN Surabaya tertanggal 8 April 2017 menetapkan terdakwa divonis 7 bulan penjara. Terdakwa pun mengajukan Banding ke PT Surabaya. Pada 16 November 2017, PT Surabaya mengeluarkan putusan yang diantara isinya menguatkan putusan PN Surabaya.
“Artinya, jika terdakwa menerima putusan PT, maka terdakwa harus menjadi terpidana sesuai putusan PN Surabaya. Jika terdakwa tidak menerima putusan PT tersebut, terdakwa bisa melakukan Kasasi. Makanya yang harus dicermati adalah terdakwa melakukan Kasasi atau tidak” ujar DR Marthen.
Ia mengingatkan, ada batas waktu bagi terdakwa untuk mengajukan Kasasi. Batas waktu yang dimaksud disebutkan dalam Pasal 245 ayat (1) KUHAP. Pasal tersebut berbunyi: “Permohonan Kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa”.
Pentingnya Korban Kekerasan Terhadap Jurnalis Membangun Komunikasi Dengan JPU
Menurut DR Marthen, sangat penting bagi Slamet Maulana untuk menjalin komunikasi aktif dengan JPU pada perkara yang menimpanya. Pasalnya, tidak ada kewajiban bagi pihak pengadilan untuk menyampaikan setiap putusan kepada saksi korban.
“Karena itu tadi, korban dalam berperkara diwakili oleh JPU. Jadi selain institusi terkait, pengadilan hanya berkewajiban memberitahukan setiap putusan kepada JPU dan terdakwa. JPU sendiri tidak punya kewajiban untuk memberitahu korban,” tegas DR Marthen.
Karenanya, jika Slamet Maulana ingin tahu apakah perkara tersebut sudah inkracht atau belum, langkah yang paling sederhana adalah bertanya kepada JPU yang bersangkutan.
“Coba tanya ke JPU. Apakah terdakwa melakukan Kasasi atau tidak. JPU wajib memberikan informasi tersebut kepada korban. Selain itu adalah hak korban, juga terkait keterbukaan informasi,” tuturnya.
Langkah lain yang dapat ditermpuh oleh korban adalah mendatangi PN tempat berperkara dan menanyakannya ke Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Ia menegaskan, pihak PTSP wajib memberikan informasi kepada korban atau kuasa hukumnya terkait terkembangan perkara dimaksud.
“Tunjukkan KTP, sampaikan nomor perkara, nomor banding, tanyakan apakah terdakwa melakukan Kasasi atau tidak. Jika Kasasi, apa putusannya. Tidak lama kok, mungkin sekitar 15 menit hasilnya sudah keluar. Ini era keterbukaan informasi. Coba tanya ke JPU atau datang langsung ke PTSP PN Surabaya,” kata DR Marthen.
Ia menambahkan, sistem di institusi pengadilan dari PN hingga MA sudah tersusun dengan rapih. Ia meyakini, semua proses mencari keadilan relatif tidak memakan waktu lama.
“Kalau Kasasi ke MA, setahu saya sekitar 6 bulan sampai satu tahun. Jadi kalau dalam perkara ini putusan PT keluar tahun 2017, mestinya sekarang sudah turun itu Kasasi. Itu kalau terdakwa mengajukan Kasasi. Kalau tidak, ya semestinya sejak tahun 2017 terdakwa sudah jadi terpidana,” tutupnya.
Tanggapan JPU Kasus Kekerasan Terhadap Jurnalis Surabaya
Seperti yang diberitakan sebelumnya, hariannkri.id menghubungi pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya. Ferry Rachman yang pada kasus kekerasan terhadap jurnalis tersebut bertindak sebagai JPU, saat diminta kesediaan wawancara melalui sambungan selular mengaku harus meminta ijin pimpinan terlebih dahulu.
“Kami konfirmasikan ke pimpinan apakah boleh menjawab lewat WA. Kalau boleh langsung saya telpon,” katanya, Senin (9/8/2021) pukul 06:50 WIB.
Namun JPU Ferry Rachman tidak memberikan konfirmasi hingga hariannkri.id menurunkan berita dengan judul “Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan di Surabaya, 9 Tahun Putusan Belum Inkracht”. Tak berselang lama usai hariannkri.id mengirim link berita tersebut kepada Ferry, Sang JPU pun mengirim pesan WA kepada hariannkri.id.
“Besok (10/8/2021-red) ya. Saya yang telpon saja. Tadi saya sudah konfirmasi ke pimpinan kalau saya boleh menjawab ,“ tulisnya, Senin (9/8/2021) pukul 19:44 WIB.
Hingga berita ini diturunkan, hariannkri.id belum menerima telpon dari yang bersangkutan. (OSY)