HARIANNKRI.ID – Langkah pemerintah melibatkan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Kasad) Jendral Dudung Abdurachman untuk mengendalikan harga dan ketersediaan minyak goreng (migor) di pasaran mendapat kritik keras Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto. Menurutnya, dibutuhkan di lapangan adalah pengawasan dengan pendekatan keamanan, bukan pengawasan dengan pendekatan pertahanan.
Mulyanto menuturkan, keputusan pemerintah tersebut dianggapnya terlalu berlebihan dan salah sasaran. Bukannya menyelesaikan masalah, masuknya unsur militer pada permasalahan minyak goreng diyakininya justru membuat rakyat merasa terintimidasi.
“Terlalu berlebihan kalau Kasad ikut campur soal migor. Selain bukan tupoksinya keterlibatan Kasad dalam hal ini bisa membuat pedagang kecil takut dan terteror,” kata Mulyanto di Jakarta, Kamis (2/6/2022).
Selain diyakini bakal nerdampak negatif ke rakyat, pelibatan militer justru menimbulkan kesan ketikberdayaan birokrat sipil. Padahal, menurut Mulyanto, masalah sebenarnya tidak rumit, hanya butuh ketegasan saja.
“Kalau sudah melibatkan militer kesannya birokrat sipil sudah tidak mampu. Padahal masalahnya tidak seperti itu. Pemerintah hanya kurang tegas berhadapan dengan mafia-mafia migor,” tegas Mulyanto.
Ia meminta pemerintah agar tidak kalap mengatasi masalah kemahalan dan ketersediaan minyal goreng. Cukup libatkan pihak kepolisian untuk menindak pihak-pihak tertentu yang dianggap menjadi penyebab mahal dan langkanya minyak goreng di pasaran.
“Pedagang di pasar mana bisa memainkan harga di pasaran. Mereka hanya jual berdasarkan harga yang ditetapkan produsen dan distributor besar. Jadi salah sasaran kalau pemerintah menerjunkan pasukan TNI, apalagi dipimpin Kasad langsung, ke pasar-pasar,” ujar Mulyanto.
Mulyanto pun meminta pemerintah menerapkan pendekatan integratif tata niaga, perdagangan, industri dan pengamanan berbasis wilayah untuk mengendalikan ketersediaan dan kemahalan migor ini.
“Bukan dengan pendekatan pertahanan keamanan yang memunculkan ketakutan,” tegasnya.
Ia menambahkan, pengawasan perlu dilakukan terhadap produsen dan distributor berbasis wilayah. Dimulai dari daerah yang rawan seperti Jambi, DKI Jakarta, dan Kalimantan Selatan.
“Baru daerah yang cukup rawan seperti Sumut, Riau dan Sumatera Barat,” tutupnya. (OSY)