HARIANNKRI.ID – Sejumlah warga eks pemilik lahan yang dikini digunakan untuk pembangunan PLTU Batang mengadukan ketidakadilan PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) yang mereka alami ke anggota DPR RI dapil Batang Profesor DR Hendrawan Supratikno SE MBA PhD. Mereka meminta kesetaraan harga ganti rugi lahan antara warga yang dibebaskan pada tahap pertama dengan tahap kedua.
Aduan warga tersebut disampaikan dalam acara sosialisasi 4 pilar kebangsaan di Hotel Sendangsari Batang Jawa Tengah, Minggu (5/6/2022). Sekitar 200 orang yang hadir pada acara tersebut mewakili 893 orang eks pemilik lahan PLTU Batang. Mereka berasal dari 3 desa, yakni Karanggeneng, Ujungnegoro dan Ponowareng.
“Masyarakat tiga desa menuntut keadilan pada PLTU Batang dimana pada pembebasan lahan terjadi diskriminasi. Ada yang harga 100 (ribu rupiah-red) dan ada yang harga 400. Itu yang dituntut warga dari 3 desa tersebut,” kata salah satu warga yang bernama Darsani.
Salah satu koordniator desa tersebut mengungkapkan, tuntutan yang warga minta diyakini sudah final dan tidak bisa ditawar-tawar. Keseriusan itu diwujudkan dengan sepakat menguasakan penyelesaian masalah tersebut kepada penasehat hukum. Darsani menjelaskan, ketiga warga desa sepakat mempercayakan masalah mereka kepada Marthen H Toelle beserta rekan-rekannya yang tergabung dalam kantor hukum “Toelle dan Sahabat”.
Ia pun menceritakan mengapa masyarakat merasa tidak diperlakukan adil oleh PT BPI. Secara umum, pembebasan lahan pembangunan PLTU Batang dilakukan dalam dua tahap. Pada tahap pertama, PT PBI melakukan pembebasan lahan dengan harga tanah 100 ribu per meterpersegi. Tahap tersebut PT BPI berhasil membayar 749 orang pemilik lahan seluas 1.910.742 m2 dengan total nilai sekitar 191 miliar rupiah. Adapun tahap kedua, sebanyak 144 orang dengan total luas 258.685m2 , dihargai dengan nilai 400 ribu/m2
Warga 3 Desa Eks Pemilik Lahan PLTU Batang Merasa Dibuhungi Oleh PT BPI
Ia menekankan, adanya Surat Keterangan PT BPI nomor BPI/MES/1/II/2013 tanggal 8 Pebruari 2013 yang membuat 749 orang pada tahap pertama bersedia melepas lahannya seharga 100 ribu per meterpersegi. Pada akhirnya mereka pun merasa tertipu dengan surat keterangan tersebut.
“Jadi pada waktu itu PT BPI selaku konsorsiumnya mengeluarkan surat edaran pada tanggal 8 Februari 2013. Yang intinya bahwa harga tanah PLTU itu final. Sampai lahan itu terpenuhi semua dan tidak akan berubah. Tapi berjalannya waktu itu ada pembelian yang harganya 250 dan 400,” kata Darsini.
Ia menjelaskan, data yang ia ungkapkan bukanlah asumsi belaka. Karena mereka mendapatkan data tersebut dari sumber yang dipercaya. Bahkan data tersebut muncul pada proses mediasi sebelumnya yang diprasaranai oleh pemerintah daerah setempat.
“Sebab kami tanyakan itu BPK difasilitasi oleh Pemda, PT BPI itu menolak. (Mengaku-red) tidak pernah membayar dengan harga 400 ribu. Itu yang kami usut, yang kami pertanyakan terus. Dengan alasan karena cek yang PT BPI keluarkan itu dari BRI Semarang. OK itu bisa mengelak. Tapi untuk tanah yang 400 ribu, itu transaksinya ada di BRI Batang,” tegasnya.
Terkait keluhan tersebut, Hendrawan menampung aspirasi disampaikan warga. Anggota DPR RI dari PDIP ini mengaku mendukung dan akan bersama-sama masyarakat terdampak PLTU Batang dalam menuntut keadilan, kesetaraan pembebasan lahan. Ia juga berjanji akan melanjutkan permohonan masyarakat terdampak PLTU Batang kepada fraksi DPR RI serta Kementerian terkait.
Saat dihubungi hariannkri.id, Hendrawan mengaku sudah berkoordinasi dengan kuasa hukum warga untuk mencari solusi keluhan tersebut. Ia akan terus memonitor setiap perkembangan yang ada, bahkan sudah menunjuk orang untuk menangani masalah tersebut secara langsung.
“Sudah ada lawyernya. Dari kami sudah dihandle oleh Dr. Heriyono Tarjono. Biar lebih fokus. Surat lawyer sudah diterima Gubernur dan DPR. Kita lihat saja nanti,” katanya melalui pesan WA, Rabu (8/6/2022). (OSY)