Konversi Kompor Gas LPG ke Kompor Listrik Yang Menyengat Orang Miskin

Konversi Kompor Gas LPG ke Kompor Listrik Yang Menyengat Orang Miskin
Opini Jacob Ereste berjudul "Konversi Kompor Gas LPG ke Kompor Listrik Yang Menyengat Orang Miskin"

Konversi Kompor Gas LPG ke Kompor Listrik Yang Menyengat Orang Miskin. Ditulis oleh: Jacob Ereste, Penulis Buku dan Wartawan Senior.

Uji coba yang tak perlu dilakukan oleh PLN (Perusahaan Listrik Negara) untuk mendorong konversi LPG ke kompor listrik yang hanya bisa digunakan dengan daya 1.000 watt. Karena masalahnya bukan saja soal kompor yang tidak mencukupi. Tapi daya pasang listrik milik rakyat miskin umumnya cuma dibawah 1.000 watt. Jadi kompor yang memerlukan daya listrik 1.000 watt itu hanya mungkin dimiliki orang kelas menengah ke atas.

Karena itu pemerintah lantas mewacanakan untuk menghapus data listrik 450 watt yang banyak dimiliki oleh rakyat miskin. Maka itu artinya akan menambah beban hidup rakyat yang sudah sulit untuk membayar rekening listrik yang pasti akan meningkat pula biaya maupun pemakaiannya.

Rencana pengadaan kompor listrik sebanyak 300.000 unit jelas amat sangat tidak memadai. Belum lagi kemudian rakyat masih harus ikut menanggung kenaikan biaya dan perakalan yang tidak murah untuk ukuran rakyat kelas menengah ke bawah.

Rencana Perusahaan Listrik Negara hendak mememenuhi keperluan 15.3 juta pelanggan yang diharap untuk tahun ini saja, suatu yang mustahil dapat dilakukan. Kecuali dengan cara pemaksaan yang terus mendapat perlawanan dari rakyat. Karena rakyat sudah tidak berdaya untuk menanggung beban hidup yang semakin berat.

Uju coba PLN memasyarakatkan kompor listrik dengan daya 1.000 watt itu dapat dipastikan mengalami hambatan berat dari penolakan warga masyarakat yang sudah tidak tidak mampu menambah daya. Dan tentu saja dananya juga untuk menggunakan kompor tersebut.

Maka itu, sungguh tidak adil untuk mengurangi beban Negara seperti yang dikatakan Dirut PLN Darmawan Prasodjo. Bahwa program kompor listrik ini sebagai salah satu upaya mengurangi beban Negara terhadap impor LPG yang terus naik. Seperti LPG 3 kg itu katanya adalah barang yang disubsidi oleh pemerintah, sehingga menjadi beban APBN.

Ikhwal beban APBN pun, pemerintah sudah mengeluhkan lebih dahulu lewat kecetiwisannya Sri Mulyani. Ia, mengatakan para Pensiunan itu juga dirasakan sekarang menjadi beban pemerintah juga.

Argumen pejabat pemerintah seperti itu jelas sangat melukai dan menyakitkan hati rakyat. Agaknya, pemerintah harus kebih bijak dan berhati-hati. Sebab kesabaran rakyat sudah mencapai titik penghabisan. Akibatnya, tentu saja tidak pernah kita harapkan terjadi sesuatu yang bisa berada di luar akal sehat, lantaran rakyat dipaksa nekat.

Kendati langkah yang dilakukan pemerintah sesuai dengan misi KTT G20 yang sepakat melakukan transisi energi. Atau bahkan, katena emisi gas buangan yang dihasilkan dari kompor induksi jauh lebih rendah dibanding buangan kompor gas LPG.

Kota Solo dan Bali akan menjadi tempat uji coba proyek migrasi penggunaan LPG ke kompor listrik. Dan uji coba yang lebih terkesan dipaksakan itu, pasti cukup sulit untuk segera dipraktekkan oleh warga masyarakat. Karena bukan hanya peralatan dapur itu tidak sederhana, tapi daya listrik warga miskin sudah menjadi masalah tersendiri

Upaya untuk memaksakan mengganti kompor gas LPG dengan kompor listrik itu, sungguh seperti sedang membuat rakyat terdengar oleh arus listrik yang menggigit. Atau, untuk membuka ladang bisnis baru untuk sejumlah peralatan dapur bagi pengusaha kuliner. Termasuk makanan keliling yang harus menciptakan tabung daya listrik yang juga baru.

Loading...