HARIANNKRI.ID – Beberapa kejanggalan pada proses pengadilan di kasus pembunuhan Vina tahun 2016 lalu memunculkan indikasi praktek peradilan sesat. Hakim yang bertugas dianggap tidak menjalankan tupoksi dengan benar atau paling tidak lalai dalam menjalankan tugasnya sebagai pengadil.
Kepada hariannkri.id, Sekretaris Bidang Kajian Hukum dan Undang-undang Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Nicholay Aprilindo menjelaskan, posisi organisasi pada kasus pembunuhan Vina karena merespon permintaan keluarga 5 terpidana dan 4 saksi. Perwakilan mereka diantar Dedi Mulyadi mendatangi Peradi Tower, Jakarta Timur, tanggal 10 Juni 2024.
Menurut Nicho, para saksi yang bersaksi di kasus pembunuhan Vina juga datang dan menceritakan permasalahan yang terjadi sebenarnya. Mereka menceritakan bagaimana mereka terpaksa dan dipaksa untuk melakukan sesuatu yang tidak mereka lakukan.
“Ini sangat naif bagi kami. Karena di era sekarang ini masih ada perilaku dari oknum tertentu dari penyidik yang merekayasa suatu kasus, sekan-akan pelakunya itu pelaku yang dihadapan mereka. Padahal anak-anak ini sekitar 9 atau 11 orang itu bukan pelaku. Mereka orang-orang yang tidak tahu menahu mengenai kasus ini,” kata Nicho melalui sambungan seluler, Kamis (20/07/2024).
Lanjutnya, berdasar hasil wawancara DPN Peradi terhadap mereka, disimpulan terjadi beberapa kejanggalan. Hal ini juga didukung hasil investigasi DPN Peradi yang turun ke lapangan untuk melihat kebenaran kasus ini.
“Kami mendapatkan beberapa kejanggalan. Sedikitnya ada 8 kejanggalan yang kami dapatkan. Kasus ini harus segera diungkap tuntas. Tapi menurut saya, tidak perlu dibentuk Tim Pencari Fakta (TPF-red), tetapi saya minta supaya kasus ini diambil alih oleh Bareskrim Mabes Polri,” imbuhnya.
Dari dokumen resmi yang dibaca, ungkapnya, ternyata surat perintah penyelidikan kasus pmbunuhan Vina diterbitkan oleh ayah almarhum Eki, Iptu Rudiyana. Seharusnya wewnang tersebut adadi tangan Kapolres setempat.
“Dia membuat Surat Perintah Penyelidikan, penangkapan juga dia,” tegas salah satu pengacara Prabowo-Gibran ini.
Dugaan Praktek Peradilan Sesat Pada Kasus Pembunuhan Vina
Terkait dengan proses pengadilan pada kasus ini, Nicholay Apriliando menyayangkan kinerja Hakim yang bertugas. Seorang haikm seharusnya menggali data dan fakta lebih dalamsaat proses pengadilan berlangsung. Hakim tidak boleh mempercayai berkas yang telah dinaikkan oleh Jaksa Penuntut Umum begitu saja.
“Dia harus menggali, ada kesesuaian tidak, persesuaiannya ada atau tidak antara keterangan saksi, terdakwa dan alat bukti yang lain, termasuk visum. Ini yang sangat kami sayangkan. Yang kami sayangkan pula, tidak pernah dihadirkan saksi yang meringankan. Ini kan sama dengan peradilan sesat kalau saya melihat,” ujar Nicho.
Ia mengingatkan tragedi pengadilan Sengkon dan Karta pada tahun 1974. Nicho menerangkan, Sengkon dan Karta dituduh melakukan pembunuhan dan perampokan. Beberapa tahun kemudian muncul pembunuh aslinya. Pada tingkat Kasasi Sengkon dan Karta dinyatakan bersalah. Namun akhirnya Mahkamah Agung menganulir setelah ada Peninjauan Kembali (PK) setelah muncul pembunuh aslinya.
“Sekarang, semuanya dibebankan pada Pegi alias Perong. Kita tidak tahu apakah pembunuhnya si Pegi alias Perong itu Pegi Setiawan yang saat ini ditangkap. Menurut keterangan anak-anak ini, mereka tidak mengenal Pegi Setiawan dan tidak pernah melihat Pegi ini dalam perkumpulan mereka saat itu,”ungkapnya.
Nicho mencontohkan, hakim seharusnya melihat, siapa orang yang pertama kali melakukan pertolongan atau menemukan Vina dan Eki itu siapa orangnya? Harus kejar itu. Karena tidak menutup kemungkinan orang yang melapor adalah pelaku yang sesungguhnya
“ Untuk menutupi dia pelakunya, diamembuat alibi seolah dia yang menemukan itu. Ini juga harus digali. Ini tidak pernah digali oleh hakim yang menyidang, maupun dalam BAP kepolisian maupun kejaksaan,” tutup Nicholay Aprilindo. (OSY)