HARIANNKRI.ID – Sekretaris Bidang Kajian Hukum dan Undang-undang Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Nicholay Aprilindo menilai argumen Polda Jabar dalam sidang praperadilan Pegi sangat dangkal. Kedangkalan argumen ini terlihat nyata pada alat bukti dan barang bukti yang tidak dapat menguatkan Polda Jabar.
Demikian penuturan Nicho mengulas jawaban termohon Penyidik Polda Jabar pada sidang praperadilan kasus pembunuhan Vina di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Selasa (02/06/2024). Ia menyebut, argumen yang diajukan dalam memaknai alat bkti yang ada terlihat jelas sumir.
“Termohon telah sumir dalam pemaknaan 2 alat yang sah secara hukum. Sumir atau dangkal dalam istilah hukum artinya tidak didasari penjelasan berdasarkan fakta dan bukti yang akurat dan valid secara hukum,” kata Nicho kepada hariannkri.id melalui pesan WA,Kamis (04/02/2024).
Menurutnya, alat bukti yang dipergunakan berupa surat oleh Polda Jabar selaku termohon praperadilan Pegi ada dua. Yakni putusan pengadilan 2016 berikut keterangan saksi 2016.
“Sedangkan alat bukti surat tersebut adalah alat bukti surat “Post Vactum” dan tidak terdapat kesuaian alat bukti,” tegasnya.
Nicho menjelaskan, Post factum secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai “setelah peristiewa” atau “setelah fakta”. Ungkapan ini merujuk pada keadaan di mana kebenaran atau relevansi suatu pernyataan atau tindakan baru dikonfirmasi atau diakui setelah peristiwa atau fakta tersebut terjadi atau terungkap.
“Terkonfirmasi benar setelah terjadi. Begitu sederhananya,” ujar Nicho.
Kedangkalan argumen Polda Jabar juga terlihat dalam menghadirkan barang dipergunakan Pegi untuk membunuh Vina. Menurut Nicho, tidak pernah ada bukti inafis/forensik tentang “sidik jari” yang melekat di barang bukti.
“Tidak pernah ada sidik jari tersangka Pegi yang melekat pada barang-barang bukti. Padahal barang bukti tersebut dicantum termohon dalam jawaban prapid, maupun BAP Pegi atau daftar bukti surat,” tutup Nicho. (OSY)