Tiga Pejabat Dari Tiga Kementerian Datang ke Lapas Cirebon, Ada Apa Dengan Kasus Vina Cirebon?

Tiga Pejabat Dari Tiga Kementerian Datang ke Lapas Cirebon, Ada Apa Dengan Kasus Vina Cirebon?
Wamenko KumHAM Imipas Profesor Otto Hasibuan berdialog dengan 7 terpidana kasus Vina Cirebon di salah satu ruangan Lapas Cirebon Jawa Barat, Jumat (07/02/2025)

HARIANNKRI.ID – Lapas Cirebon Jawa Barat dikabarkan kedatangan tiga pejabat dari tiga kementerian terkait 7 terpidana kasus Vina Cirebon. Benarkah sakit yang diderita di punggung salah satu terpidana, yakni Sudirman karena ditembak?

Pada tanggal 7 Februari sekira 11.45 WIB, Lapas Kelas I Cirebon kedatangan Direktur Jenderal Instrumen dan Penguatan Kementerian Hak Asasi Manusia (Dirjen IP KemenHAM) Dr Nicholay Aprilindo. Tak berselang lama, Wakil Menteri Koordinator Hukum dan Hak Asasi Manusia, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Wamenko KumHAM Imipas) Profesor Otto Hasibuan juga datang. Sekira 15.00 WIB, Wakil Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Wamen Imipas) Silmy Karim juga mendatangi tempat yang sama.

Ada Apa Dengan Sudirman dan 7 Napi Kasus Vina Cirebon?

Pimpinan tim advokat 7 Terpidana Kasus Vina Cirebon, Jutek Bongso membenarkan ada pertemuan di Lapas Cirebon pada tanggal 7 Februari 2025. Hari itu, tim yang terdiri 20 0rang Advokat dari Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) ini bertemu dengan Wamenko KumHAM Imipas dan Dirjen IP KemenHAM di salah satu ruangan Lapas Cirebon.

“Kemarin (07/02/2025-red) Wamenko KumHAM Prof Otto Hasibuan dan Dirjen IP KemenHAM Dr Nicholay datang untuk melakukan kunjungan. Pak Wamenko KumHAM khusus untuk bertemu dengan 7 terpidana selain melihat kondisi Lapas. Sedangkan pak Dirjen IP KemenHAM melakukan inspeksi ke Lapas,” kata Kang Jutek melalui sambungan selular, Jumat (14/02/2025).

Lanjutnya, pertemuan tersebut bukan terjadi secara kebetulan. Sebelumnya, mereka sudah berkomunikasi membahas 7 terpidana kasus Vina Cirebon, khususnya Sudirman. Kang Jutek cs pada tanggal 4 Februari 2025 sudah mendatangi Kementerian Hak Asasi Manusia (KemenHAM) RI. Mereka mengadukan adanya dugaan pelanggaran HAM serius pemeriksaan awal di Polres Cirebon. Kedatangan mereka diterima oleh Dirjen IP KemenHAM.

“Kami juga sudah lama bersurat kepada Kemenko KumHAM Imipas, minta Sudirman untuk dilakukan pemeriksaan kesehatan. Itu kita minta di bulan antara Juli Agustus. Karena Sudirman mengaku kurang sehat. Karena ada dugaan bahwa itu adalah bekas dari 2016 lalu. Menurut penuturan Dirman di persidangan, bahwa terjadi penganiayaan yang berat dan luka di punggung. Pengakuan dia adalah luka tembak. Itu yang membuat Sudirman gak bisa berdiri lama, gak bisa duduk lama. Intinya terganggulah kondisi dia,” ungkapnya.

Kang Jutek mengingatkan, terkait kesehatan Sudirman, ada beberapa informasi yang tidak akurat. Bahkan informasi tersebut didapat dari orang yang pernah membelanya. Karenanya, sangat beralasan jika harus dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh.

“Bahwa Sudirman ini kan tidak sehat secara mental, agak keterbelakang lah. Kita mau cek benar tidak, saat itu. Tapi ternyata kita cek, ternyata tidak. Karena kita sudah berkirim surat, itulah mengapa pemeriksaan kesehatan itu dilakukan kemarin, hari Senin Selasa (10-11/02/2025), dua hari di Rumah Sakit Permata Cirebon. Hasilnya belum kami dapat,” ujarnya.

Alasan kedua terjadinya pertemuan tersebut karena tim advokat ini menemukan fakta bahwa Lapas Kesambi (Lapas Kelas I Cirebon) selama dua tahun berturut, sudah mengusulkan kepada 7 terpidana remisi perubahan. Usulan tersebut dilakukan atas penilaian dan kebijakan Kalapas dan petugas terkait di Lapas. Mereka menganggap 7 terpidana kasus Vina Cirebon berkelakuan baik dan sudah menjalani hukuman selama 8 tahun lebih dari hukuman seumur hidup.

“Remisi perubahan ini diusulkan dari seumur hidup menjadi waktu tertentu. Sampai saat ini belum direspon. Itulah ketika kami mendengar itu, kami langsung mengusulkan untuk segera ditindaklanjuti. Karena langkah hukum yang sedang kami lakukan (Peninjauan Kembali/PK kedua-red) itu memerlukan waktu. Prosesnya panjang,” kata Kang Jutek.

Ia menjelaskan, untuk mengajukan PK 2, tim harus menemukan novum (bukti) baru. Diantara bukti baru adalah Laporan Polisi yang tim advokat 7 terpidana layangkan ke Bareskrim Mabes Polri beberapa waktu lalu. Itu pun, menurut Kang Jutek, harus menunggu keputusan inkracht (berkekuatan hukum tetap).

“Dan itu butuh waktu tahunan. Sedangkan mereka ada di dalam. Kita bermohon untuk segera dilakukan entah namanya remisi menjadi waktu tertentu atau melalui amnesti. Terserahlah pemerintah. Yang jelas kedua cara itu tidak memerlukan pengakuan. Walaupun memerintah memberikan itu dengan asumsi mereka itu terpidana. Artinya secara hukum kan mereka ini terpidana dalam menjalani masa hukumannya. Pemerintah dapat mengampuni,” tegasnya.

Jutek Bongso menekankan, upaya tersebut tidak memerlukan pengakuan bersalah dari 7 terpidana kasus Vina Cirebon.

“Dibanding dengan grasi. Kalau grasi kan mereka harus mengaku bersalah. Kalau amnesti adalah di mata pengadilan mereka sudah bersalah dan pemerintah mengeksekusi atas putusan pengadilan. Di mata pengadilan, yang inkracht mereka itu sudah bersalah. Makanya mereka menjadi terpidana. Status terpidana inilah nilah yang dimintakan berubah seumur hidup menjadi waktu tertentu. Atau diberikan pengampunan yang diijinkan oleh pemerintah, namanya amnesti,” katanya.

Kabar Wamen Imipas Datang ke Lapas Cirebon

Kepada hariannkri.id, Jutek Bongso mengaku tidak mengetahui pada hari yang sama Wamen Imipas juga datang ke Lapas Cirebon. Ia hanya membenarkan adanya pertemuan dirinya dengan dua pejabat dari dua kementerian.

“Kalau itu saya tidak tahu. Kami tidak ketemu dan tidak monitor. Yang ketemu itu dengan pak Wamenko KumHAM Imipas Otto Hasibuan dengan pak Dirjen Instrumen dan Penguatan KemenHAM Nicholay Aprilindo,” tegas Pimpinan tim advokat 7 terpidana kasus Vina Cirebon ini.

Tiga Pejabat Dari Tiga Kementerian Datang ke Lapas Cirebon, Ada Apa Dengan Kasus Vina Cirebon?
Wamenko KumHAM Imipas Profesor Otto Hasibuan saat mengunjungi 7 terpidana Kasus Vina Cirebon dihadiri Jutek Bongso (kiri Wamenko KumHAM Imipas) dan rekan tim advokat lain di salah satu ruangan Lapas Cirebon, Jumat (07/02/2025)

Dugaan Terjadi Pelanggaran HAM Serius Pada Pemeriksaan Awal Kasus Vina Cirebon

Kang Jutek menjelaskan, saat pihaknya sedang mengawal proses hukum LP dugaan terjadi pelanggaran HAM serius. Dugaan pelanggaran tersebut terjadi pada pemeriksaan awal yang terjadi di Polres Cirebon tahun 2016 lalu.

“Ya sudah. Kami sudah ajukan ke Kementerian HAM, kami sudah bersurat ke DPR RI khususnya ke Komisi III. Kami juga sudah berkirim surat ke Kapolri, untuk audiensi. Artinya secara proses hukumnya, kami akan kawal,” ungkapnya.

Ia menekankan, isi pelaporan ke Bareskrim Mabes Polri sebenarnya tidak jauh dari rekomendasi KomnasHAM dan telaah LPSK. Berdasarkan rekomendasi KomnasHAM, ada tiga temuan. Diduga terjadi penganiayaan pada proses pemeriksaan dan BAP tahun 2016, diduga tidak didampingi pengacara, dan dugaan terjadi penangkapan sewenang-wenang.

“Itu kan rekomendasi KomnasHAM. Kami ajukan untuk menjadi bukti PK (pertama-red), itu gak diterima. Katanya telaah itu kan belum diuji. Itukan telaah KomnasHAM. Dari LPSK juga kurang lebih sama,” tegasnya.

Padahal, lanjutnya, dugaan adanya penganiayaan pada pemeriksaan awal dan BAP, secara institusi polisi sudah diakui. Kepada para pelaku, mereka dijatuhi sanksi etik.

“Menurut kami, yang dijatuhkan sanksi etik itu hanya beberapa orang dan bukan menyentuh pelaku utama. Karena setelah kami dalami, ternyata ada pelaku utama. Nah itu yang kami laporkan. Supaya Bareskrim periksa, jangan hanya dilakukan pemeriksaan etik kepada mereka pada tahun 2016 lalu. Hanya itu,” ujarnya.

Jutek Bongso mengakui memang sudah ada sanksi etis. Tapi ia menekankan, sanksi diberikan kepada sebagian anggota APH tersebut tidak menyentuh seluruh anggota yang terlibat. Bahkan diantaranya ada nama APH yang selalu dikaitkan dengan kasus Vina Cirebon

“Ternyata setelah penelaan dan pendalaman kami selaku tim hukum, ternyata ada pelaku lain. Kami kan melaporkan Rudiyana dan kawan-kawan. Yang melaporkan itu adalah terpidana loh. Kami mewakili mereka melaporkan. Kami melaporkan oknum, karena mereka (7 terpidana-red) secara spesifik menyebutkan salah satunya adalah Aiptu Rudiyana, maka kami laporkan dan kawan-kawan. Itu kami mewakili para terpidana karena kami kuasa hukum,” jelas Kang Jutek.

Sikap Tim Advokat 7 Terpidana Kasus Vina Terhadap Pengadilan Negeri Cirebon

Jutek Bongso menambahkan, hingga saat ini, tim advokat kasus Vina Cirebon secara resmi belum menerima menerima salinan putusan PK pertama. Padahal permintaan sudah dilayangkan oleh pihaknya karena Salinan putusan tersebut sangat menentukan kelanjutan langkah hukum yang akan ditempuh kliennya.

“Sudah 4 kali kami bersurat. Dua kali ke PN Cirebon, sampai hari ini sudah dua bulan diputuskan, kami belum menerima. Itu belum yang terhitung secara informil. Entah ada pelanggaran etik atau apapun terhadap majelis pemeriksa, mau mengambil langkah apapun, itu kan kami harus mempelajari. Kenyataannya sampai hari ini kami belum menerima salinan putusan dimaksud,” kata Jutek Bongso.

Terkait apakah ada tanda-tanda Mens Rea (niat perbuatan jahat dari seorang pelaku kejahatan) Majelis Hakim saat persidangan PK pertama, Kang Jutek mengisyaratkan membenarkan hal tersebut. Bahkan pihaknya sudah melaporkan hal tersebut ke ke instansi terkait, seperti Komisi Yudisial (KY).

“Bahkan itu dibuktikan di persidangan PK kemarin. Makanya kami memaknainya sesuai dengan KUHAP yang namanya kekhilafan. Ternyata hal itu tidak diterima oleh Mahkamah Agung. Kami melihatnya itu khilaf, tetapi setelah setelah kami kaji lebih dalam, ternyata ini gak khilaf sepertinya. Apakah ada unsur kesengajaan, silahkan aja dilakukan pemeriksaan oleh Mahkamah Agung,” tegasnya.

Namun, menurutnya, untuk mengungkap hal tersebut, saat ini dirasa belum tepat.

“Perkara pokoknya sendiri belum diputus benar atau salah, saya pikir itu belum saatnya kami kawal, tunggu aja dulu. Kami akan tunggu putusan PK 2 ini. Yang pasti, langkah ke depan adalah mengawal LP yang ada di Bareskrim supaya inkracht dulu supaya terjadi pertentangan keputusan. Kami meminta bantuan ke KemenHAM untuk mengawal kasus ini,” tutup Jutek Bongso. (OSY)

Loading...