Amanah Reformasi Tentang Bubarkan Dwi Fungsi ABRI Perlu Direformasi?

Amanah Reformasi Tentang Bubarkan Dwi Fungsi ABRI Perlu Direformasi?
Ilustrasi artikel tajuk rencana hariannkri.id berjudul "Amanah Reformasi Tentang Bubarkan Dwi Fungsi ABRI Perlu Direformasi?"

Amanah Reformasi Tentang Bubarkan Dwi Fungsi ABRI Perlu Direformasi? Tajuk rencana hariannkri.id, Amrozi, Pemimpin Redaksi.

Kehadiran figur-figur militer aktif maupun purnawirawan dalam jabatan sipil strategis mengingatkan publik pada sejarah panjang dwifungsi ABRI di masa Orde Baru. Paling tidak hal ini nampak pada penunjukan dan munculnya regulasi belakangan ini.

Penunjukan Letjen (Purn) Djaka Budhi Utama sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai (meski saat pelantikan disebut sudah purnawirawan). Sejarah seorang Djaka tidak dapat dilepaskan dari latar belakangnya sebagai bagian dari Tim Mawar yang terlibat penculikan aktivis pro-demokrasi 1997-1998. Ia pernah divonis bersalah namun tetap melanjutkan karier militer hingga pangkat Letnan Jenderal. Lalu kini diangkat dalam jabatan sipil strategis. Hal ini dapat menjadi pesan simbolik yang tidak bisa dianggap remeh dalam demokrasi pascareformasi.

Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Pelantikan Irjen Pol Muhammad Iqbal sebagai Sekjen DPD RI melanggar UU Kepolisian dan UU ASN yang mengatur batasan jabatan sipil bagi personel aktif kepolisian. Begitu pula penempatan prajurit TNI di berbagai Kejaksaan Tinggi dan Negeri sebagai bentuk kerja sama dengan Kejaksaan Agung, serta penerbitan Perpres No. 66 Tahun 2025 yang memberi ruang keterlibatan TNI dalam perlindungan jaksa—semua ini membentuk pola yang serupa: militer dan kepolisian merambah ruang-ruang sipil secara sistematis.

Kritik dari berbagai elemen masyarakat sipil, termasuk FITRA, LIMA Indonesia, dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, menegaskan bahwa tren ini mengancam prinsip meritokrasi, profesionalisme birokrasi sipil, dan lebih luas lagi, demokrasi itu sendiri. Masuknya figur militer ke dalam institusi sipil bukan sekadar persoalan administratif, tetapi menyangkut kultur komando yang bertolak belakang dengan prinsip partisipatif dan akuntabilitas publik.

Secara spesifek, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, mengkritik Peraturan Presiden (Perpres) No. 66 Tahun 2025 tentang Perlindungan Negara Terhadap Jaksa Dalam Melaksanakan Tugas dan Fungsi Kejaksaan. Mereka menilai, Perpres yang diteken Presiden Prabowo pada 21 Mei 2025 itu tidak memiliki urgensi, serta membuka ruang bagi kembalinya peran ganda militer. Perpres itu mengatur perlindungan keamanan kepada personal jaksa, keluarganya dan rumahnya, juga perlindungan kepada properti kejaksaan di seluruh Indonesia

Yang lebih mengkhawatirkan adalah jika upaya mengingatkan dan mengkritisi kebijakan tersebut berujung pada persekusi. Seorang penulis opini yang mempertanyakan penempatan jenderal dalam jabatan sipil dikabarkan mengalami intimidasi fisik. Kejadian ini membuat penulis memaksa media tempat tulisannya dimuat mencabut artikel tersebut. Jika benar intimidasi ini berkaitan dengan isi tulisannya, maka ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi juga serangan langsung terhadap konstitusi yang menjamin kebebasan berekspresi.

Fenomena ini menempatkan kita pada persimpangan: apakah bangsa ini akan kembali ke era ketika militerisme mengatur kehidupan sipil dan kebebasan berpendapat? Bukankah ini adalah Amanah reformasi 98? Ataukan Amanah reformasi tersebut sudah saatnya untuk direformasi?

Pemerintah, khususnya Presiden Prabowo, harus menyadari benar bahwa demokrasi bukan sekadar soal pemilu. Ini soal akuntabilitas, keterbukaan, dan penegakan hukum secara adil. Ketika aturan dilanggar demi kenyamanan politik atau loyalitas personal, dan ketika kritik dibalas dengan kekerasan, maka yang tengah dipertaruhkan bukan hanya wajah demokrasi, tapi masa depan republik.

Parlemen, lembaga penegak hukum, dan publik selayaknya berani bersuara lebih keras. Aturan harus tetap tegak dan hak warga negara untuk bersuara harus dilindungi. Sebab diam ditengah pembungkaman adalah bentuk keberpihakan pada penindasan.

Tidak masalah jika figur militer aktif maupun purnawirawan masuk ke jabatan sipil selama memenuhi aturan yang ada. Tidak ada yang memungkiri kedisplinan dan dedikasi mereka terhadap negara. Namun tidak dapat dipungkiri juga jika masalah akan timbul manakala militerisasi terjadi dalam menjalankan jabatan sipil yang diemban.

Loading...