Normalisasi Penyimpangan: Bahaya Laten Kehidupan Sosial

Normalisasi Penyimpangan: Bahaya Laten Kehidupan Sosial
Ilustrasi artikel tajuk rencana berjudul "Normalisasi Penyimpangan: Bahaya Laten Kehidupan Sosial"

Normalisasi Penyimpangan: Bahaya Laten Kehidupan Sosial. Tajuk Rencana hariannkri.id, Ramonda Rheza Yagisatria, Redaktur Senior.

Normalisasi penyimpangan? Ya, memaklumi hal yang salah. Hal-hal yang dulu dianggap tabu atau tercela kini pelan-pelan diterima sebagai rutinitas, bahkan kadang dibanggakan.

Contoh yang mudah ditemui ada di pelayanan publik. Uang rokok kecil-kecil yang diberikan supaya urusan cepat kelar, padahal itu suap, hampir-hampir dianggap hal biasa. Di ruang kelas, mencontek atau menjiplak tugas kuliah sering dibaca sebagai strategi bertahan hidup. Di jagat maya, menebar hoaks demi popularitas atau duit sesekali dibahas enteng, seolah tak ada rasa bersalah.

Semua praktek ini kini hampir-hampir tidak lagi menggugah kegelisahan bersama. Praktek semacam ini berlangsung tanpa ditutup-tutupi layaknya sebuah perilaku tidak normal. Parahnya, praktek ini justru “dilegalkan” sebagai aturan tak tertulis yang harus dilaksanakan dan dihormati bersama. Dihormati? Ya. Karena kalau tidak, masyarakat akan menuding pelanggar aturan tak tertulis tersebut sebagai orang yang tak punya etika.

Sangat jelas, normalisasi penyimpangan memberikan dampak negatif jangka panjang. Kepekaan moral kita terhadap kebenaran dan kesalahan perlahan memudar, bahkan bisa jadi hilang. Ketika aturan dilanggar terus menerus, integritas pun hancur sedikit demi sedikit.

Norma sosial dan hukum pun akan menjadi tumpul. Bagaimana tidak, masyarakat dipaksa hidup dengan lingkungan yang memaklumi berbagai pelanggaran. Pada akhirnya, norma sosial dan hukum awal pun jadi rancu karena pelanggaran yang terjadi sudah menjadi bagian hidup sehari-hari.

Kenyataan ini akan membuat anak-anak muda tumbuh di lingkungan yang longgar terhadap pelanggaran norma sosial dan hukum. Mereka akan meniru bahkan memperluas perilaku nyeleneh itu dengan alasan kreativitas atau kebebasan suara. Tak aneh jika dalam kehidupan maya, banyak konten kreator yang bahkan menjadikan normalisasi penyimpangan sebagai bahan untuk mendapat cuan.

Pada akhirnya, normalisasi penyimpangan akan menyuburkan ketimpangan. Misalnya, ketidakadilan dalam rekrutmen kerja karena praktik nepotisme atau “orang dalam” menyebabkan individu yang kompeten tersingkir. Kalau sudah begini, dalam jangka panjang pasti akan merusak meritokrasi dan menurunkan kualitas sumber daya manusia.

Mitigasi Normalisasi Penyimpangan

Kondisi ini tidak saja menunjukkan jatuhnya standar moral, tetapi juga jadi ancaman bagi ketertiban umum dan masa depan anak bangsa. Makin mudahnya masyarakat menormalisasi penyimpangan bukan tidak mungkin mampu menghilangkan nilai moral dan kepatuhan hukum.

Karenanya, mitigasi harus dilakukan dengan menguatkan pendidikan karakter, tidak hanya dalam lingkungan sekolah, tetapi juga dalam keluarga dan media. Nilai-nilai integritas, tanggung jawab, dan empati harus ditanamkan sejak dini.

Peran media massa menjalankan fungsi kontrolnya menjadi sangat vital. Media massa harus menjadi agen perubahan, bukan justru menormalkan penyimpangan melalui tayangan yang glamorisasi pelanggaran norma. Kampanye sosial yang masif dan edukatif dapat menjadi alat penyadaran kolektif.

Terakhir, masyarakat perlu menghidupkan kembali kontrol sosial. Sikap saling mengingatkan dan tidak diam terhadap penyimpangan menjadi kunci dalam membangun budaya yang sehat.

Penting disadari, normalisasi penyimpangan bukan sekadar masalah etika, tetapi juga persoalan struktural yang bisa menghancurkan fondasi bangsa jika dibiarkan. Kesadaran kolektif untuk kembali menegakkan nilai dan norma sosial harus segera dibangkitkan.

Loading...