Cina Bisa Jadi Racun Bagi Jokowi, Sebuah Opini Miftah H Yusufpati

IMB di Pulau Reklamasi: Goodbener Apa Gakbener? Oleh: Miftah H. Yusufpati,

Cina Bisa Jadi Racun Bagi Jokowi. Oleh: Miftah H. Yusufpati, Wartawan Senior.

Dunia media sosial (medsos), macam Facebook, WhatsApp Group, Twitter, dan Instagram, belakangan ini diwarnai isu mengenai tenaga kerja asal Cina. Salah satu video diisi dengan penggalan narasi tenaga kerja asing berambut cepak mulai berdatangan di Batam dan Soekarno-Hatta sangat viral. “Kedatangan TKA dengan rambut cepak di Soeta sudah ditunggu dengan E-KTP dan video tata cara memilih paslon presiden 2019-2024 dengan menggunakan Bahasa Mandarin” begitu narasi video itu.

Lalu, viral juga berita tentang adanya warga negara Cina yang masuk daftar pemilih tetap di Cianjur dan Pangandaran. Kasus ini diungkap Badan Pengawas Pemilu Kabupaten dua kabupaten di Jawa Barat itu. Jagad medsos kian ramai setelah Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membenarkan pemberian E-KTP kepada para TKA itu.

Sampai di sini, kita menyadari bahwa masalah tenaga kerja Cina amatlah menarik perhatian publik. Pekerja Cina adalah isu yang seksi. Namun dalam tulisan ini, kita tidak hendak membahas video dan berita itu. Kita tidak sedang ingin menguji video itu hoaks atau bukan. Kita akan membahas soal tenaga kerja Cina. Mengapa?

Sejatinya, saat membicarakan soal tenaga kerja Cina, kita tengah menyorot tentang ketidakadilan. Paling tidak, ketidakadilan bagi para pengangguran di negeri ini yang jumlahnya 6,87 juta orang. Menyoal tentang tenaga kerja Cina juga sebagai upaya mengetuk kepedulian pemerintah bahwa masih ada 25,95 juta penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka butuh perhatian lebih serius lagi.

Hadirnya tenaga kerja Cina di sini, juga mengingatkan publik tentang ketimpangan di negeri ini. Mengingatkan kepada banyak orang tentang para taipan yang menguasai aset-aset negeri ini. Juga kesenjangan yang kian mengangga. Ini bisa dilihat dari rasio gini yang tetap kukuh bertengger di angka 0,40an. Kue ekonomi yang ternyata 25% dikuasi hanya oleh 0,02% jumlah penduduk, dan kepemilikan aset yang menggangga lebar karena separuhnya lebih hanya dikuasai oleh 1% elit kaya.

Dalam artikel ini, Cina sengaja ditulis Cina bukan China, merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sedangkan pilihan penamaan Cina, bukan Tionghoa, didasarkan pada resolusi “Seminar Angkatan Darat ke II” tahun 1966. Latar belakang usul seminar AD itu sendiri untuk menghilangkan rasa inferior pada bangsa kita sendiri, sebaliknya menghilangkan rasa superior pada golongan yang bersangkutan (orang Tionghoa lokal) dalam negara kita.

Masalah Cina sudah disuarakan sejak lama. Soal ini memang sensitif. Wajar saja, jika banyak pihak bertanya berapa sebenarnya TKA Cina yang mengais rejeki di Tanah Air kita? Data resmi dari pemerintah sangat diragukan kebenarannya. Soalnya, tidak sedikit TKA yang masuk ke sini secara illegal.

Di sisi lain, angka-angka yang beredar dari lembaga tidak resmi pun sulit dipertangung jawabkan. Ada yang menyebut sejuta, dua juta bahkan 10 juta. “Kalau 10 juta TKA Cina datang, datangnya dari mana? Turun dari langit!” ledek Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, mempertanyakan beredarnya data TKA dari Cina di Indonesia sebanyak 10 juta.

“Data kita 1 juta seluruh data lintas imigrasi,” ungkapnya. Pernyataan kader PDI Perjuangan ini disampaikan saat menjadi pembicara pada kuliah umum dengan tema “Pengawasan Keimigrasian Terhadap Tenaga Kerja Asing di Sumut” di Universitas HKBP Nomensen di Medan, 1 Maret lalu.

Angka-angka pastinya memang belum ada yang bisa menjawab. Bahwa banyak tenaga kerja Cina yang mengais penghidupan di sini sepanjang Jokowi berkuasa tak bisa dibantah. Tengok saja pegawai rendahan di hotel-hotel Bali yang kini sudah banyak diambil alih orang-orang yang hanya fasih berbahasa Mandarin. Orang-orang Cina juga berkerumun pada proyek-proyek yang dibiayai Cina. Morowali juga telah menjadi Pecinan baru.

Kini, Cina telah menjadi investor terbesar ketiga Indonesia. Poyek-proyek infrastruktur baru yang mencakup pembangkit listrik dan taman industri, pelabuhan, dan infrastruktur lainnya di provinsi Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, dan Bali digarap Cina. Para investor ini membawa tenaga kerja dari negeri leluhurnya. Hal ini juga terjadi pada proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.

Ke depannya, tampaknya akan tambah ramai lagi. Straits Times melansir Indonesia telah membuka serangkaian proyek infrastruktur baru bernilai hingga US$60 miliar untuk investasi Cina, dalam rangka meningkatkan partisipasi Indonesia dalam program Sabuk dan Jalan (Belt and Road) Cina. Sebelumnya, Deputi III Bidang Koordinasi Infrastruktur Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Ridwan Djamaluddin, juga mengatakan bahwa Jakarta telah melakukan “komunikasi struktural” dengan Cina sejak tahun 2017 mengenai proyek-proyek infrastruktur yang mungkin bernilai total US$50 miliar hingga US$60 miliar.

Persoalannya, Cina menerapkan aturan proyek turnkey. Maknanya, Cina masuk dalam proyek infrastruktur dengan catatan menggunakan produk, alat mesin, dan tenaga kerja dari mereka. Dan kesepakatan inilah yang disetujui Presiden Joko Widodo. Itulah mengapa sejak empat tahun berkuasa, Jokowi terkesan telah memutar poros ekonomi dan politik ke Beijing. Dampaknya, impor dari Cina meroket drastis, diikuti banjir tenaga kerja Cina ke Indonesia.

Jokowi dengan ambisi infrastrukturnya telah menafikkan risiko yang bakal terjadi. Padahal banyak analis mengingatkan, skema pembiayaan Cina disertai dengan risiko. Cina masuk di negara-negara yang rentan dengan perangkap utang, dan menyediakan jalan bagi Negeri Panda itu untuk mendapatkan pijakan di daerah-daerah strategis di seluruh dunia.

Pengalaman Sri Lanka harusnya mengirimkan peringatan yang jelas. Karena ketidakmampuan membayar utangnya, Sri Lanka harus menyerahkan pelabuhan Hambantota yang gagal ke Cina selama 99 tahun. Sri Lanka telah memberikan pangkalan bagi Cina yang dekat dengan saingan terdekatnya India, dengan akses ke perairan komersial dan militer Indo-Pasifik yang strategis.

Para pemimpin negara lain juga telah menyuarakan kekhawatiran atas proyek-proyek di negara mereka. Presiden Pakistan, Imran Khan, mengkritik proyek Koridor Ekonomi Cina-Pakistan senilai US$60 miliar. Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad telah meminta Cina untuk mempertimbangkan kembali proyek kereta api pantai timur di semenanjung itu. Di sisi lain, Pemerintah Myanmar meminta Beijing untuk mengurangi secara signifikan proyek pelabuhan laut dalam di Kyaukpyu.

Keith Loveard, analis senior dari perusahaan risiko bisnis yang berbasis di Jakarta, Concord Consulting, kepada South China Morning Post juga mengingatkan akan risiko itu. “Hubungan dengan Cina bisa menjadi racun bagi (Jokowi),” katanya.

Loading...