Revitalisasi Good Governance di Pilpres 2019. Analisis Tema Debat Capres Putaran Ke Lima 13 April 2019. Oleh: M Aminudin, Direktur Institute for Strategic and Development Studies (ISDS), Peneliti di Institute Madani Nusantara (IMN), Pengurus Pusat Alumni Universitas Airlangga Dept. Organisasi.
KPU telah menetapkan Debat kandidat putaran terakhir pada 13 April dengan tema ”Ekonomi dan kesejahteraan sosial, keuangan dan investasi, serta perdagangan dan industri”. Tema ini sangat sentral, karena akan menjadi forum yang tepat bagi publik untuk mengapresiasi keluasan wawasan dan penguasaan masalah dua kandidat Presiden di bidang ekonomi. Persoalan ekonomi hampir selalu menjadi isu yang paling diminati Pemilih di waktu Pemilu di semua negara demokrasi, termasuk Indonesia. Ibarat tangga lagu-lagu musik, isu ekonomi berada di tangga paling atas.
Persoalan ekonomi di Indonesia saat ini sangat kompleks. Tetapi yang paling jadi sorotan kalangan ekonomi adalah rendahnya pertumbuhan ekonomi yang stagnan di kisaran 5%. Angka pertumbuhan itu tertinggal dengan Kamboja dan Vietnam yang tumbuh di atas 7% pada tahun 2018.
Rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia mencerminkan banyak persoalan. Seperti penyerapan tenaga kerja, tingkat penghasilan perkapita, Volume produksi barang jasa, arus investasi dan sebagainya. Siapapun Presiden yang terpilih, harus bekerja keras menggenjot pertumbuhan ekonomi yang bisa menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya dan tidak semakin tertinggal dengan negara lain terutama dengan sesama negara ASEAN.
Selain dari segi ekonomi harus memaksimalkan penyerapan belanja negara untuk sektor produktif. Meningkatkan investasi dan daya beli masyarakat. Yang perlu direvitalisasi adalah praktek good governance dalam praktik pemerintahan.
Mengacu pada laporan World Bank yang ditulis oleh Kaufman, Kraay dan Zoido- Lobatón (2009), terdapat hubungan langsung antara good governance, stabilitas pemerintahan dan ekonomi yang lebih baik. Selain tata kelola pemerintahan yang baik, akan mendorong iklim yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi. Juga aspirasi besar rakyat Indonesia ketika menggulirkan gerakan reformasi 1998. Yang kemudian diantaranya dimasukkan ke dalam Ketetapan MPR No. XI/ MPR/ 1998 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Good Governance merupakan Tata Kelola yang berorientasi pada kepentingan rakyat banyak yang menekankan pentingnya kekuasaan yang amanah. Nilai ini sejalan dengan UUD 1945 terutama pembukaan. UNDP merumuskan karakteristik pemerintahan yang baik (good governance) sebagaimana dikutip oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN), (Sedarmayanti, Good Governance Dalam Rangka Otonomi Daerah, Bandung, Mandar Maju, 2003, hlm.7-8). Meliputi:
Pertama, partisipasi. Yang berarti seluruh bagian dalam masyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan. Melalui organisasi yang terbuka dengan jaminan hak untuk berasosiasi serta mengekspresikan pendapat. Kedua, aturan hukum. Yang bermakna ditegakkannya hukum secara adil dan tidak memihak. Aparat hukum independen, aparat kepolisian tidak korup, serta perlindungan HAM. Ketiga, transparansi. Yang berarti keputusan dan pelaksanaannya dilakukan dengan mengikuti aturan. Serta ketersediaan informasi yang dapat diakses semua pihak.
Keempat, keresponsifan. Yang berarti semua institusi dan proses yang melayani kepentingan semua pihak dijalankan dalam kerangka waktu yang jelas. Kelima, berorientasi pada konsensus. Yang bermakna ada mediasi bagi kepentingan-kepentingan yang beragam dalam masyarakat, sehingga tercapai kesepakatan. Keenam, kesederajatan dan keinklusifan. Yang mengandaikan seluruh elemen masyarakat terlibat serta memiliki peluang setara untuk mengambil keputusan. Ketujuh, keefektifan dan keefisienan. Kedelapan, pertanggungjawaban. Yang berarti lembaga-lembaga pemerintahan, sektor swasta, dan organisasi masyarakat sipil harus memberikan pertanggungjawaban kepada publik.
Kriteria Good Governance itu merupakan parameter yang baik untuk mengukur kinerja dan visi Para Kandidat Presiden Indonesia dalam era Demokrasi ini. Untuk kriteria pertama, yakni partisipasi masyarakat dan jaminan hak untuk berasosiasi serta mengekspresikan pendapat. Dalam era sekarang, nampaknya mengalami ujian berat pasca dikeluarkannya PERPPU ORMAS No. 2 tahun 2017.
Karena dominasi fraksi-fraksi pendukung pemerintah PERPPU itu disahkan jadi Undang-Undang. PERPPU (UU) ORMAS membuka peluang kepada Pemerintah untuk bertindak membubarkan Ormas yang secara subyektif tanpa melalui proses peradilan.
Hal ini bertentangan dengan Konstitusi RI yang telah memberikan jaminan bagi kemerdekaan berserikat dan berkumpul sebagai salah satu hak asasi yang diakui secara universal. Bahkan hak menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan juga menjadi salah satu yang dijamin hak konstitusionalnya sejak masa kemerdekaan RI. Ditiadakannya kewenangan Pengadilan untuk memutus bubar atau tidaknya suatu perkumpulan seperti ORMAS menunjukkan bergesernya Supremasi Hukum menjadi Supremasi Kekuasaan.
Selama 4 tahun Jokowi berkuasa telah menerbitkan sekurangnya 4 PERPPU yang berarti mengamputasi UU yang dibuat melalui proses Demokratis. Padahal PERPPU yang dibuat itu tak memenuhi ketentuan berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 yang membatasi PERPPU hanya dalam situasi kegentingan yang memaksa. Sementara PERPPU yang dikeluarkan Presiden Jokowi terutama tentang UU ORMAS itu justru memaksakan kegentingan.
Presiden Jokowi juga berulang-ulang mengatakan tidak menginginkan DPR membikin banyak UU karena Undang-Undang jadi hambatan kemajuan. Nampaknya Presiden Jokowi lebih menyukai machstaats, negara berdasarkan kekuasaan bukan Rechtsstaat, negara berdasarkan hukum.
Di tahun pertama pemerintahannya Pemerintah Jokowi juga mengintervensi dua partai yang bergabung di Oposisi. Melalui legalitas kepungurusan partai melalui SK MENKUMHAM. Sehingga sampai jelang akhir pemerintahannya cheks and balances parlemen pada pemerintah semakin lemah.
Untuk kriteria Kedua Good Governance bercirinya, aturan hukum yang bermakna ditegakkannya hukum secara adil dan tidak memihak. Ini beberapa juga dirasakan publik ada masalah. Penangkapan para aktivis Demokrasi dan Oposisi era Pemerintah sekarang terasa paling massif dibanding semua pemerintahan pasca reformasi setelah 1999, seperti pernah ditangkapnya Rahmawati Soekarno (putri Bung Karno), Sri Bintang Pamungkas, Ahmad Dhani, pemeriksaan Rocky Gerung (Aktivis FORDEM yang didirikan Gus Dur) dan sebagainya.
Tetapi pada saat yang sama, jika yang melakukan hate speech adalah di pihak Status quo tidak diproses. Mengecualikan kasus Romahurmuzy PPP, tapi Rommy ditangkap lembaga independen KPK kasus suap bukan hate speech. KPK bukanlah aparat Organic Presiden seperti Kejagung dan Polisi.
Untuk Good Governance kriteria Ketiga dan Ketujuh, transparansi kepatuhan pada aturan dan keefektifan, keefisienan. Ini juga ada kemunduran dibanding pemerintah SBY. Selama semester I tahun 2018 saja BPK menemukan 15.773 permasalahan senilai Rp11,55 triliun. Permasalahan tersebut meliputi kelemahan sistem pengendalian intern (SPI), ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan senilai Rp10,06 triliun, serta permasalahan ketidakhematan ketidakefisienan, dan ketidakefektifan senilai Rp1,49 triliun.
Temuan BPK ini menambah deretan bukti empiris semakin menjauhnya pemerintahan sekarang dengan praktik Tata Kelola Pemerintahan yang baik. Temuan besar BPK yang lain di 2018 kemarin juga di kebijakan impor pemerintah yang banyak tak mematuhi aturan atau prosedur. Akibatnya impor di tahun 2018 melonjak sangat drastis sampai menimbulkan defisit neraca dagang RI mencapai 8,57 miliar dollar AS hingga November 2018 yang merupakan terburuk dalam sejarah Indonesia.
Ketidakpatuhan pada aturan juga terjadi sektor politik yang menimbulkan defisit demokrasi. Presiden Jokowi menempatkan para perwira aktif di jabatan sipil seperti kementerian yang lazim berlaku di negara Otoriter seperti ORBA. Langkah awal Presiden Jokowi menghidupkan militerisme atau dwifungsi TNI adalah menerbitkan Perpres No. 1/2019 dengan menempatkan perwira TNI sebagai Kepala BNPB. Kebijakan perwira aktif ke jabatan sipil melanggar banyak peraturan di atasnya. pasal 47 UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal 47 Ayat 1 UU TNI menyebutkan prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
TAP MPR No IV Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri telah secara tegas menyatakan peran sosial politik dalam dwi fungsi TNI menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi TNI dan Polri. Hal itu berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi.
Kemunduran besar demokrasi juga terjadi menjelang Pemilu 2019 dimana terjadi politisasi besar-besaran birokrasi melalui kepala-kepala daerah yang jadi timses Petahana. Padahal dalam negara demokrasi birokrasi mutlak harus netral dan apolitis. Merebaknya fenomena upaya membangkitkan Otoritarianisme di tanah air otomatis banyak menggerus sistem demokrasi Indonesia.
Perkembangan itu rupanya sebagian besar termonitor lembaga-lembaga Demokrasi internasional. Dari Indeks Demokrasi Tahun 2017 yang direlease The Economist Intelligence Units (The EIU) skor Indonesia merosot tajam dari peringkat ke-48 menjadi ke-68. Indonesia bahkan berada di bawah Timor Leste yang di peringkat 43 dalam skala global.
Demokrasi Indonesia semakin tergelincir jauh turun ke bawah. Di tingkat ASEAN saja peringkat Indonesia masih dibawah Filipina dan Malaysia. Philipina di peringkat ke 51, Malaysia di peringkat ke-59. Kemunduran besar pada Tata kelola pemerintahan yang baik yang sudah hampir menggerogoti fundamental demokrasi merupakan tantangan besar bagi Presiden terpilih 2019.
Lalu solusi macam apakah yang ditawarkan Pasangan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi untuk merevitalisasi Good Governance dan Demokrasi Indonesia Mealui Visi-Missi dan Program Unggulannya? Di dalam Program Aksi resmi pasangan 01 Joko Widodo dan K.H. Ma’ruf Amin masalah penataan birokrasi dan demokrasi diletakkan paling bawah alias bukan prioritas.
Di point 8. Disebutkan Pengelolaan Pemerintahan, Aktualisasi Demokrasi Pancasila, ASN yang Profesional, Akuntabilitas Birokrasi, Kelembagaan Birokrasi yang Efektif dan Efisien, dan Pelayanan Publik. Agak berbeda dengan pasangan 01, pasangan 02 Koalisi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang menamakan dirinya Indonesia Adil Makmur menempatkan pembangunan Demokrasi di posisi teratas di pada Pilar Program Unggulannya bidang Politik pemerintahan.
Di dalam Visi- Missi dan Pilar program Utama pasangan 02 tertulis: Membangun keadilan di bidang hukum yang tidak tebang pilih dan transparan, serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia melalui jalan demokrasi. Kemudian pada Pilar Politik, Hukum dan Hankam prioritas yang diajukan 1. Mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia melalui jalan demokrasi. 3. Mewujudkan penegakan hukum yang adil, tidak tebang-pilih, dan transparan. 4. Mewujudkan penerapan reformasi birokrasi yang berkualitas 5. Mencegah praktik korupsi dalam birokrasi melalui penerapan manajemen terbuka dan akuntabel, termasuk kerja sama dengan KPK, Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman.
Dari penyandingan program kedua pasangan Kandidat Presiden 2019 di atas sebenarnya sama-sama sudah mengakomodasi tentang program Good Governance dan Demokrasi. Tapi yang membedakan Pasangan 01 meletakkan di bawah bukan prioritas dan masih menimbulkan tanda tanya besar jika terpilih apakah program good governance akan dikesampingkan lagi?
Karena kenyataanya, pemerintahan yang sedang berjalan sekarang kurang memandang penting praktik Good Governance. Sementara dari pihak pasangan 02 menunjukkan concern yang besar masalah Revitalisasi Good Governance dan Demokrasi. Tapi kelemahan Pasangan 02 juga belum teruji konsistensi menjalankan good governance karena sebagai oposisi belum pernah memerintah.
Jika mendapat kesempatan memerintah itu adalah saat yang tepat public akan menilai konsistensinya menjalankan Visi-Missi yang dijanjikan. Tetapi disamping faktor program dan good will para CAPRES untuk menjalankan good governance yang tak kalah pentingnya adalah merevitalisasi checks and balance Pemerintah dan parlemen serta independensi media, agar kontrol politik pada pemerintah lebih efektif sehingga siapapun yang berkuasa akan dipaksa untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan karena kuatnya pengawasan parlemen dan media. Semoga!