Bansos Tidak Tepat Sasaran, Salah Siapa? Oleh: Djumriah Lina Johan, Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial Ekonomi Islam.
Pemerintah menggelontorkan anggaran ratusan triliun untuk penanggulangan dampak ekonomi wabah Covid-19. Dari total anggaran Rp 405,1 triliun, bantuan sosial atau bansos mendapat porsi Rp 110 triliun. Sayangnya, ada beberapa kasus penyaluran bansos ini tak tepat sasaran. Seperti yang dialami salah satu keluarga tak mampu di Serang.
Selama dua hari, Yuli Nuramelia dan keluarganya bertahan hidup dengan meminum air galon isi ulang. Ibu rumah tangga berusia 43 tahun itu kelaparan karena tak memiliki uang untuk membeli makanan. Di wilayah ibu kota, penyaluran bantuan sosial menyasar pada sejumlah keluarga di perumahan elit. Sunter Indah, RW 012 Kelurahan Sunter Jaya, Jakarta Utara. Sadar diri, warga perumahan mewah itu menyerahkan bansos ke warga lain yang membutuhkan.
Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kementerian Sosial, Pepen Nazaruddin, mengatakan pemerintah daerah harus aktif memverifikasi dan memperbarui data penerima bansos yang terdampak Covid-19. “Karena kewenangan pembaruan data ada pada pemerintah kota dan kabupaten,” kata Pepen. (Tempo.co, Minggu, 26/4/2020)
Di saat yang sama, Menteri Sosial (Mensos) Juliari P. Batubara meminta masyarakat penerima bantuan sosial (bansos) mengedepankan kejujuran, agar penyaluran bantuan bisa tepat sasaran. Saat meninjau pembagian bantuan sosial tunai (BST) di kantor PT Pos Indonesia Curug, Tangerang, Provinsi Banten, Juliari mengingatkan agar warga penerima bantuan untuk jujur apakah masih layak menerima bantuan atau tidak, sehingga jangan sampai menerima bantuan ganda.
Imbauan untuk jujur ini disampaikan, karena masih banyak masyarakat terdampak pandemi virus corona (Covid-19) yang membutuhkan bantuan, baik berupa sembako maupun BST. Adapun, untuk BST pemerintah akan memberikan bantuan tunas sebesar Rp 600.000 per kepala keluarga (KK) per bulan. Bantuan diberikan bagi warga yang sudah terverifikasi terdampak pandemi Covid-19.
Bansos tersebut akan disalurkan selama tiga bulan berturut-turut, yang akan dibagikan langsung ke rumah warga. Untuk awalnya, bantuan diberikan melalui Pos Indonesia, bagi warga yang tidak memiliki rekening di bank, namun selebihnya akan langsung dibagikan dari rumah ke rumah. (Katadata.co.id, Minggu, 26/4/2020)
Miris melihat bagaimana seorang Menteri meminta kejujuran masyarakat demi bantuan pemenuhan kebutuhan hidup. Seakan-akan ketidaktepatan bantuan hingga ada yang memperoleh bansos ganda adalah kesalahan individu masyarakat. Lantas bagaimana dengan keluarga yang tidak mendapat sokongan tersebut sampai menderita kelaparan dan berujung kematian? Apakah salah mereka? Bagaimana pula dengan jaminan pengaman sosial yang menyasar perumahan elit? Jelas ini bukan kesalahan rakyat. Ini bukan karena ketidakjujuran. Ini jelas kesalahan Pemerintah dalam mengurusi hajat penduduk negeri ini.
Ajaib memang jika membahas kebijakan demi kebijakan penguasa. Mulai dari kebingungan membedakan mudik dan pulang kampung, kebijakan tidak satu arah, tumpang tindih aturan, hingga ketidakmampuan mendistribusikan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Padahal jika melihat struktur administrasi negara yang memiliki camat, lurah, hingga RT tentunya aktivitas penyaluran dana dan bantuan tak akan menemui kendala tertentu. Namun, birokrasi yang sulit, syarat-syarat untuk menerima bantuan yang tidak mudah, serta terlalu banyak bagian-bagian dalam struktur administrasi negara menyebabkan banyak orang digaji tetapi tidak fungsional. Akhirnya malah pintu korupsi yang terbuka.
Kesalahan ini tidak terlepas dari polemik sistemik kapitalistik. Di mana negara sejatinya tidak berperan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang keluar dari lisan penguasa tak mengandung kemaslahatan umat. Karenanya wajar jika penyaluran bantuanpun setengah hati. Berbeda jika berbicara mengenai utang luar negeri, investasi, dan penyederhanaan impor yang secara terang-terangan hanya menguntungkan lingkaran oligarki. Baru kemudian pembahasan dan upayanya serius dan penuh perhatian.
Hal ini jelas berbanding terbalik dengan bagaimana Islam mewujudkan pemerataan pemenuhan kebutuhan umat. Apalagi di masa pandemi seperti sekarang. Di dalam surat Al Hasyr ayat 7, Allah SWT berfirman, “Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
Berangkat dari ayat tersebut, peradaban Islam memiliki tujuan yang mengharuskan beredarnya harta kekayaan di antara seluruh umat dan tidak terbatas pada golongan tertentu saja. Agar tidak menyebabkan ketimpangan sosial dalam masyarakat muslim dan memperkaya orang-orang yang sudah kaya serta menjadikan semakin miskin orang yang menderita.
Dengan demikian, negara Islam memiliki struktur negara bernama Baitul Mal. Baitul Mal digunakan untuk menyebut tempat penyimpanan berbagai pemasukan negara dan sekaligus menjadi tempat pengeluarannya. Baitul Mal juga digunakan untuk menyebut lembaga yang bertugas memungut dan membelanjakan harta yang menjadi milik kaum muslimin.
Dari sini maka dapat diketahui bahwa Baitu Mal terbagi menjadi dua bagian :
Pertama, bagian pemasukan yang meliputi tiga diwan, yakni pos fa’i dan kharaj yang meliputi ghanimah, kharaj, tanah-tanah, jizyah, fa’i, dan pajak. Pos kepemilikan umum yang meliputi minyak bumi, gas, listrik, barang tambang, laut, dan sebagainya. Serta pos zakat yang meliputi zakat uang, komoditas perdagangan, pertanian dan buah-buahan, unta, sapi, dan domba.
Kedua, bagian pembelanjaan yang meliputi delapan diwan, yakni pos dar al-khilafah, pos kemaslahatan negara, pos subsidi, pos jihad, pos pengelolaan zakat, pos pengelolaan kepemilikan umum, pos keperluan darurat, dan pos anggaran, pengontrolan, serta pengawasan umum.
Dari pemaparan di atas tampak jelas bahwa sistem perekonomian yang terperinci dan mendetil merupakan inovasi dan dikembangkan umat Islam. Hal ini dimaksudkan agar pendapatan dan pendistribusian harta tepat sasaran sehingga kemaslahatan penduduk negeri mudah teraih.
Dengan demikian, ketika negara mengalami wabah dan bencana semisal sekarang. Negara Islam sudah memiliki persiapan yang matang dari segi pendanaan dan pendistribusian.
Pihak yang berwenang untuk mengelola pemasukan dan pembelanjaan Baitul Mal adalah Khalifah. Dalam pendistribusian harta kepada masyarakat, Rasul saw telah mencontohkan sendiri bagaimana beliau terjun langsung untuk membagikan harta Baitul Mal. Begitupula di masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin.
Akan tetapi, kadang-kadang Rasulullah saw mengangkat salah seorang sahabat Beliau untuk membagikan harta atau mengangkatnya menjadi amil untuk mengurus sebagian urusan harta. Hal ini sebagaimana hadis yang dituturkan oleh Uqbah menurut riwayat Imam Bukhari, Rasul saw pernah bersabda, “Aku ingat akan emas yang belum dicetak yang ada pada kami, sementara aku tidak suka untuk tetap menyimpannya. Karena itu, aku memerintahkan agar harta itu dibagi-bagi.”
Para Khalifah sesudah Beliau tetap menempuh metode Beliau itu. Mereka mengangkat orang untuk mengurusi harta dan menangani berbagai urusan harta tersebut. Sehingga tak ditemukan pada masa kekhilafahan Islam adanya pendistribusian harta tidak tepat sasaran.
Inilah bukti keagungan penerapan Islam. Tanpanya, rakyat negeri ini akan terus berada dalam genangan kezaliman. Hak-haknya tak terpenuhi dan jaminan pemenuhan kebutuhan hidup terbengkalai. Kini sudah saatnya kita kembali pada naungan sistem Islam yang menyejahterakan. Wallahu a’lam.