Simalakama Pedagang di Masa Pandemi. Opini Chusnatul Jannah

Simalakama Pedagang di Masa Pandemi. Opini Chusnatul Jannah

Simalakama Pedagang di Masa Pandemi. Oleh: Chusnatul Jannah, Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban.

Pasar sebagai tempat pertemuan penjual, pembeli, barang, dan uang memang rentan resiko penularan. Mobilitas masyarakat yang tinggi, pengunjung yang bergonta ganti, serta rawan kerumunan menjadikannya salah satu tempat penunjang penularan covid-19.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi), 573 orang positif dan 32 orang meninggal dunia yang tersebar di 110 pasar seluruh Indonesia. Untuk itu, Ketua DPP IKAPPI Bidang Keanggotaan Dimas Hermadiyansyah berharap semua pihak baik itu relawan, BUMN, Pemda/BUMD, Organisasi Masyarakat, Kepemudaan dan perusahaan swasta untuk bersama-sama menyelamatkan pasar dari penyebaran COVID-19. (Detikfinance, 16/6/2020)

Dengan resiko penularan tinggi, ditambah temuan kasus positif covid-19 di pasar tradisional, mata pencaharian 12 juta lebih pedagang bisa hilang. Sudah banyak pasar-pasar ditutup lantaran temuan kasus baru. Seperti pasar di Cileungsi, Bogor, tercatat ada 16 orang yang terkonfirmasi positif setelah menjalani tes swab. Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, juga bakal ditutup setelah 14 pedagang pasar tersebut terkonfirmasi positif covid-19. Terdapat 64 pedagang positif covid-19 di 9 pasar tradisional Jakarta.

Di Jawa Timur, ada 136 pedagang yang terkonfirmasi positif covid-19. Angka yang tidak kecil dan berpotensi membesar. Sebagai anak pedagang, saya sendiri menyaksikan, betapa dilemanya pedagang di masa pandemi. Tidak berjualan tak dapat pemasukan. Berjualan beresiko tinggi tertular virus covid-19. Sehingga para pedagang cenderung memilih tetap bekerja meski virus corona masih berkeliaran. Itulah yang dialami sebagian pedagang yang diceritakan bapak saya sebagai sesama pedagang. Nampaknya slogan #dirumahsaja tidak berlaku untuk pedagang pasar, kata bapak.

Dilematisasi pedagang pasar terjadi karena beberapa alasan berikut:
Pertama, kebijakan yang longgar dan berubah-ubah. Longgar karena selama PSBB di Surabaya Raya misalnya, tempat-tempat umum seperti mal dan pasar tetap buka. Barulah ditutup jika ditemukan kasus positif corona. Masyarakat menilai kelonggaran ini sebagai bentuk kebolehan beraktivitas seperti biasa asalkan mematuhi protokol kesehatan. Belum lagi kebijakan pemerintah pusat berubah-ubah membuat pemerintah daerah bingung. Sebentar PSBB, besoknya mau new normal. Sebentar pasar/mal ditutup, besoknya dibuka lagi karena warga tak tahan terus berada di rumah. Hal inilah yang memicu abainya masyarakat mengikuti anjuran pemerintah. Infonya simpang siur dan serba bingung. Tidak ada kejelasan mekanisme pelaksanaan kebijakan yang hendak diberlakukan pada masyarakat.

Kedua, tak ada jaminan penghidupan selama pandemi. Salah satu alasan pedagang nekat berjualan adalah faktor ekonomi. Sengkarut penyaluran bansos harusnya dievalusi total. Meski Pemerintah mengklaim penyaluran bansos sudah terlaksana. Faktanya, banyak masyarakat yang mengeluhkan terkait bansos. Ada yang tidak tepat sasaran. Ada yang tidak kebagian. Ada pula yang menelan ludah lantaran bantuan tak kunjung datang. Belum lagi di beberapa daerah, dana bansos itu dipotong sehingga tak sesuai dengan janji pemerintah di awal kebijakan. Banyak yang kecewa. Tak jarang pula yang marah. Karena merasa kena ‘prank’ dengan bansos yang dijanjikan itu.

Andaikata pemerintah menjamin kebutuhan rakyat selama pandemi, tentu mudah membuat masyarakat taat aturan. Andaikata pemerintah memberi kepastian ekonomi bagi rakyat kecil, niscaya mereka juga bakal patuh untuk diam di rumah. Mereka keluar karena untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Nekat dan terpaksa. Sebab, negara belum hadir memenuhi kebutuhan mereka. Jadilah, rakyat sendiri yang sibuk dan mandiri mengais nafkah di tengah pandemi.

Ketiga, minimnya edukasi. Meski edukasi sudah dilakukan pemerintah, barangkali belum optimal dam maksimal dilakukan. Sebab, masih banyak yang belum paham apa dan bagaimana menyikapi corona. Minimnya edukasi dan sedikitnya informasi ini menjadi pemicu rendahnya kesadaran masyarakat terkait covid-19. Akibatnya, banyak yang abai terhadap protokol kesehatan. Tak jarang pedagang di pasar tak patuhi protokol kesehatan. Sehingga gelombang penularan membesar. Jika kita sidak ke pasar-pasar, untuk sekadar memakai masker saja hampir tak dilakukan penjual dan pembeli. Ada tidaknya corona seperti sama saja. Berkerumun tanpa jaga jarak.

Apatisnya masyarakat terhadap protokol kesehatan lantaran sejauh ini tak ada sanksi atas pelanggaran. Hanya berbekal imbauan dan peringatan, mana peduli mereka. Ya tetap cuek-cuek saja. Kadangkala kita perlu sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan. Tujuannya, agar mereka disiplin dan patuhi aturan. Tidak menyepelekan. Mungkin itu yang perlu dilakukan pemerintah. Beri edukasi menyeluruh dari hulu ke hilir. Dari tingkat provinsi hingga RT. Setelah itu, sampaikan sanksi tegas bila masyarakat melanggar protokol covid-19. Dengan pemberian sanksi, setidaknya aturan itu memaksa mereka tunduk dan terikat sehingga kebebalannya bisa diredam.

Bila memang diperlukan langkah-langkah preventif, maka pemerintah serta dinas kesehatan berjibaku melakukan tes lab pada pedagang. Bukan tes massal di pasar. Khawatir pedagang menolak seperti yang terjadi di Pasar Cileungsi, Bogor. Mengutip saran dari Dewan Pakar Ikatan Ahli Masyarakat, Hermawan Saputra, mengingatkan penanganan pasar berbeda dari tempat lainnya untuk mencegah penularan covid-19. Menurutnya, bila memang diperlukan tes, lakukan secara door to door. Bukan tes massal di pasar.Hal ini untuk mencegah penolakan para pedagang. Sebagian masyarakat kita banyak yang termakan berita hoax yang tersebar. Sehingga merasa parno dan takut bila diminta tes lab atau rapid test.

Selain itu, untuk penerapan social dan physical distancing, semestinya pemerintah terkait bisa membuat kebijakan dengan mengatur ganjil genap bagi pedagang. Diatur tidak setiap hari berjualan. Istilahnya berjualan secara bergantian dengan batas waktu yang ditentukan. Tentunya kebijakan ini juga harus menyerap aspirasi dan rasa keadilan bagi warga pasar. Untuk menghindari kecemburuan sosial antar pedagang.

Kebijakan selama masa pandemi corona memang semestinya dilakukan secara hati-hati. Agar tak ada yang terzalimi dan merasa tersakiti dengan kebijakan pemerintah. Pemerintah juga perlu mendengarkan aspirasi warga dan mememuhi kebutuhan mereka secara layak. Itulah sejatinya peran negara dalam mengayomi, melindungi, dan melayani tanpa pamrih. Setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Utamakan keselamatan dan kesehatan rakyat. Bukan penyelamatan ekonomi yang nilainya tak lebih berharga dari nyawa manusia.

Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “Diriwayatkan Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin umar r.a berkata : Saya telah mendengar rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan di minta pertanggung jawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggung jawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan di tanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang istri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggung jawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) dari hal-hal yang dipimpinnya.” (HR. Muslim)

Loading...