HARIANNKRI.ID – Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan Mulyanto menuding rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik sangat tidak beralasan. Pasalnya, alasan penyesuaian tarif listrik tersebut karena kenaikan harga migas internasional disebutnya tidak berhubungan dengan biaya pokok pembangkitan (BPP) listrik PLN di Indonesia.
Dijelaskan, rencana pemerintah menaikan tarif dasar listrik (TDL) pada tahun 2022 disampaikan Menteri ESDM dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI pada Rabu 13 April 2022 lalu. Menurutnya, logika untuk menaikan tarif PLN sebagai akibat kenaikan harga migas global kurang kuat. Karena masalah ini tidak seberapa berpengaruh bagi biaya pokok pembangkitan (BPP) listrik PLN. Kontribusi sumber energi BBM untuk pembangkit listrik PLN secara nasional sangat kecil.
Alasan Kenaikan Tarif Dasar Listrik Mengada-ada
Doktor lulusan Tokyo Institute of Technology, Jepang tahun 1995 ini menjelaskan sumber energi primer pada pembangkit listrik PLN secara nasional. Ia menyebut, kontribusi utama adalah dari batubara dan gas dengan total kontribusi sebesar 84 persen. Dimana masing-masing 66 persen dari batubara dan 18 persen dari gas. Sementara kontribusi dari air dan panas bumi sebesar 13 persen.
“Kontribusi dari sumber BBM pada pembangkit listrik PLN hanyalah sebesar 4 persen. Jumlah yang sedikit, terutama ada di Indonesia bagian timur,” kata Mulyanto di Jakarta, Sabtu (16/4/2022).
Sementara itu, lanjutnya, di sisi lain, harga batubara dan gas untuk pembangkit listrik dipatok tetap melalui regulasi DMO (domestic market obligation). Harga masing-masing USD 70 per ton untuk batubara dan USD 6 per MMBTU untuk gas. Karenanya, tidak ada kenaikan harga batubara dan gas untuk PLN.
“Kalau kita ingin mendorong kinerja PLN, yang penting dilakukan Pemerintah justru adalah dengan membayar tunggakan dana kompensasi listrik. Untuk tahun 2021 tunggakan dana kompensasi listrik Pemerintah sebesar Rp 24,6 triliun,” ungkapnya.
Pemerintah juga, menurutnya, bisa melakukan moratorium pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar BBM dan program dedieselisasi. Ia pun menuding, pembangkit listrik berbasis BBM ini bukan hanya mahal, namun juga “kotor”. Di dalam draft RUU EBT mutakhir dedieselisasi harus tuntas dilakukan Pemerintah sampai tahun 2024.
“Namun sayang, prakteknya masih kontradiktif. Karena baru saja kemarin (jum’at 15/4), PLN meresmikan pembangkit listrik terapung pertama buatan Indonesia yang diberi nama Barge Mounted Power Plant (BMPP) Nusantara-1 berkapasitas 60 MW, yang berbahan bakar fosil. Ini yang harus kita evaluasi terus,” tutupnya. (OSY)