PKS: Biang Keladi Prahara Minyak Goreng Curah di Kementerian Perdagangan

PKS: Biang Keladi Prahara Minyak Goreng Curah di Kementerian Perdagangan
Ilustrasi artikel berjudul "PKS: Biang Keladi Prahara Minyak Goreng Curah di Kementerian Perdagangan"

HARIANNKRI.ID – Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan Mulyanto menuding, kelangkaan minyak goreng curah terjadi karena Kementerian Perdagangan tidak tegas terhadap pengusaha minyak goreng. Pemerintah dinilai tidak mampu memaksa produsen minyak goreng untuk memproduksi yang curah.

“Biang keladi soal minyak goreng curah ini ada di Kementerian Perindustrian,” kata Mulyanto di Jakarta, Kamis (28/4/2022).

Politisi PKS ini menyebut akar masalah harga minyak goreng curah yang tidak mencapai HET adalah karena produsen minyak goreng tidak memproduksinya sesuai dengan kuota komitmen mereka. Sehingga pasokan migor curah hanya setengah dari kebutuhan harian yang 8 ribu ton per hari.

Apalagi di bulan Ramadhan, menurutnya, kebutuhan akan minyak goreng diperkirakan meningkat. Padahal harga HET sebesar Rp 14.000 per liter tersebut sudah disubsidi Pemerintah, sehingga tidak merugikan produsen.

“Memang terlihat janggal. Untuk produksi migor (minyak goreng-red) kemasan, yang tata niaganya murni berdasarkan mekanisme pasar, pasokan migor ini lancar-lancar saja. Sementara pasokan migor curah masih langka, sehingga harganya masih jauh di atas HET,” ujar Mulyanto.

Misteri Prahara Minyak Goreng Curah

Ia menuturkan, data PIHPS (Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasiona) per Kamis 28 April 2022 menunjukkan bahwa rata-rata nasional harga minyak goreng curah masih bertengger di angka Rp. 19.700 per kg. Jauh di atas HET yang Rp. 15.500 per kg.

“Jadi jelas soalnya bukan pada ketersediaan bahan baku migor. Bahan baku melimpah. Buktinya untuk migor kemasan aman-aman saja,” terang Mulyanto.

Menurut Mulyanto, persoalannya pada keserakahan produsen minyak goreng ini. Negara dinilainya mandul untuk memaksa industri memproduksi minyak goreng curah.

“Masak negara kalah oleh pasar. Soal ini yang patut dipertanyakan dan didalami Pemerintah. Apakah penyebabnya adalah verifikasi dan pembayaran dana subsidinya yang tidak lancar, atau karena masalah lain,” tukas Mulyanto.

Di sisi lain, kebijakan pelarangan ekspor migor dan bahan baku migor, ternyata langsung menuai efek negatif berupa merosotnya harga TBS (tandan buah segar) sawit di tingkat petani rakyat. Padahal harga migor curah masih belum turun. Jadi menurut Mulyanto, akhirnya yang langsung menderita kerugian adalah petani sawit.

Ia juga mengomentari terkait upaya penanggulangan kemahalan harga minyak goreng. Mulyanto menilai pemerintah tidak fokus dan tidak berhasil mengidentifikasi akar masalah sebenarnya.

“Sehingga dalam pelaksanaannya kebijakan yang dibuat terkesan mencla-mencle,” imbuhnya.

Anggota Komisi VII ini mengingatkan, beberapa hari lalu pemerintah, melalui Presiden Jokowi melarang ekspor CPO. Kemudian, Menko Perekonomian meralat membolehkan ekspor CPO. Terbaru, resmi terbit Permendag No. 22/2022 yang melarang ekspor CPO dan seluruh turunannya. “Bila demikian cara membuat kebijakannya maka yang dirugikan adalah masyarakat kecil, dalam hal ini petani dan konsumen migor,” tutupnya. (OSY)

Loading...