HARIANNKRI.ID – Disparitas harga CPO (minyak sawit mentah), TBS (tandan buah segar) minyak goreng (migor) di wilayah timur Indonesia masih tinggi. Kebijakan pencabutan sementara Potongan Ekspor (PE) sawit dinilai salah sasaran karena jika hanya dinikmati oleh para eksporter CPO namun tidak untuk petani.
Hal ini diungkapkan Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, kepada hariannkri.id di Jakarta, Kamis (21/7/2022). Ia menuturkan, ada dua Provinsi di Pulau Sumatera yang harga minyak goreng curahnya masih jauh di atas HET (harga eceran tertinggi), Lampung dan Bengkulu. Karenanya, pemerintah harus segera membanjiri Lampung dan Bengkulu dengan minyak goreng (migor) curah rakyat (MGCR).
“Kondisi tersebut agak janggal. Karena secara teritorial, dua provinsi ini lebih mudah dijangkau ketimbang Wilayah Timur Indonesia,” katanya.
Berdasarkan data PIHPS (pusat informasi harga pangan strategis) nasional (21/7), harga migor curah di Lampung dan Bengkulu masing-masing sebesar Rp.16.900,- dan Rp. 17.500 per kg. Sementara harga migor curah di NTB, Gorontalo, dan Kalimantan Utara adalah masing-masing sebesar Rp 17.100; Rp.18.000; Rp 18.750 per kg. Sedangkan harga migor di Maluku Utara dan Papua masing-masing sebesar Rp. 24.250 dan Rp 25.200 per kg.
Sementara, untuk wilayah Timur dengan harga migor curah jauh di atas HET adalah NTB, Gorontalo, Maluku, Papua, dan Papua Barat. Untuk wilayah ini migor kemasan sederhana MinyaKita menjadi penting untuk segera didistribusikan.
“Pemerintah sudah seharusnya menggesa distribusi migor curah ini ke wilayah-wilayah tersebut. Karena sangat kontradiktif. Di satu sisi harga CPO (minyak sawit mentah) dan TBS (tandan buah segar) terus melorot, namun harga migor di wilayah tersebut tidak turun-turun. Tentu ini ada yang salah. Pemerintah harus intervensi untuk menyelesaikan masalah ini,” ujarnya.
Antara Pencabutan PE Sawit, Harga CPO, TBS dan Minyak Goreng
Menurut Mulyanto, pencabutan sementara Potongan Ekspor (PE) sawit masih belum efektif mendongkrak harga TBS di tingkat petani. Dengan pencabutan PE tersebut, semestinya hitungan para praktisi, harga TBS akan naik sebesar Rp. 600 per kg. Namun sampai hari dilaporkan harga TBS naik hanya sebesar Rp. 50 – Rp. 125 per kg.
“Kita perlu cermati betul dinamika harga TBS ini. Jangan sampai pencabutan PE ini hanya dinikmati oleh para eksporter CPO dan tidak merembes kepada petani sawit. Kalau itu yang terjadi, maka kebijakan ini salah sasaran. Pemerintah harus memonitor dan mengevaluasi kebijakan ini secara cermat,” Tutup Mulyanto. (OSY)