Konflik Warga Terdampak PLTU Batang Dengan PT BPI, Pemkab Hanya Bisa Fasilitasi

Konflik Warga Terdampak PLTU Batang Dengan PT BPI, Pemkab Hanya Bisa Fasilitasi
Pj Bupati Batang Lani Dwi Rejeki didampingi kapolres Batang saat menerima kedatangan warga terdampak PLTU Batang di Kantor Bupati setempat, Kamis (21/7/2022)

HARIANNKRI.ID – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Batang mengakui hanya bisa memfasilitasi warga terdampak pembangunan PLTU Batang dalam mencari keadilan ke PT Bhimasena Power Indonesia (BPI). Pengadilan adalah tempat yang tepat bagi masyarakat untuk mencari keadilan berdasarkan hukum perundangan di Indonesia.

Sikap ini dijelaskan oleh Pj Bupati Batang Lani Dwi Rejeki saat menerima kedatangan warga terdampak PLTU Batang di Kantor Bupati setempat, Kamis (21/7/2022). Pada pertemuan tersebut, Lani sempat menanyakan kepada warga terdampak tentang keinginan, masalah yang ada melibatkan siapa saja dan permasalahan lainnya.

“Maunya apa, yang terkait siapa dan sebagainya, ini memang harus diudhari (dijabarkan-red). Dicarikan solusi yang terbaik yang kalau bisa tidak merugikan siapapun,” kata Lani didampingi Kapolres Batang.

Ia menegaskan, atas nama Pemkab, dalam permasalahan tersebut dirinya harus berada di tengah-tengah. Tidak membela PT BPI, tidak juga membela warga yang mengeluhkan permasalahan. Lani menjelaskan, Pemkab bukanlah lembaga yang berkecimpung di bidang pengadilan yang punya hak untuk mengadili.

“Ada ranahnya sendiri nanti di bidang hukum. Mungkin ini memang, bayangan kami gambaran kami, nantinya memang untuk mencari keadilan yang benar-benar adil sesuai hukum perundangan yang ada, itu yang memutuskan dari pihak hukum. Yang menangani hukum. Entah di Pengadilan entah di lembaga lain yang menangani masalah hukum,” ujar Pj Bupati Batang.

Lanjutnya, ia mengaku khawatir jika menjadi pihak yang memberikan solusi, karena merasa bukan bidangnya. Namun ia menegaskan, Pemkab akan memfasilitasi warga dalam mencari keadilan. Pihaknya hanya bisa menerima kedatangan warga yang mengeluhkan permasalahan dan menampung aspirasi.

“Namun demikian, untuk meminta keadilan, kami juga harus berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait. Kepolisian, Kejaksaan dan pihak-pihak lain yang terkait dalam masalah ini. Nanti akan saya coba untuk memfasilitasi, bukan kami yang memutuskan atas permasalahan ini. Kami hanya memfasilitasi, berada ditengah-tengah antara BPI dan warga,” tegasnya.

Kesaksian Warga Terdampak PLTU Batang Terkait Selisih Harga Ganti Lahan

Pada pertemuan tersebut, salah satu warga desa Ponowareng, Mukadar menceritakan kronologis permasalahan dengan PT BPI. Ia menuturkan, awal PT BPI masuk ke daerahnya terjadi pada tahun 2012. Mukadar sendiri mengaku, dirinya sempat menjadi tim pembebasan lahan untuk pembangunan Proseyek Strategis Negara (PSN) PLTU Batang.

Saya hanya berkapasitas memberi kesaksian tentang keterkaitan harga tanah yang bergelombang. Pada tahun 2012 dengan adanya BPI masuk ke daerah kami, itu datang mengadakan sistem pembebasan lahan yang sifatnya bergelombang.

“Kebetulan saya sendiri pada waktu awal itu menjadi tim, dengan harga 35 ribu rupiah. Berjalannya waktu mendapat berapa persen mungkin saya lupa. terus mentok tidak ada pengajuan lagi. Terus kami berembuk, mengadakan tawaran lagi dengan harga 50 ribu. Berjalannya waktu, kami dapat lahan lagi,” katanya.

Mukadar menjelaskan, upaya pembebasan lahan sempat mentok lagi karena banyaknya orang yang tidak setuju. Adanya pro kontra warga dituturkannya sempat membuat situasi daerahnya menjadi genting. Aparat penegak hukum pun sempat diterjunkan untuk meredam kericuhan yang ada. Akhirnya penawaran pembebasan tanah warga dengan harga 50 ribu kembali berhenti, tidak ada pengajuan lagi.

“Setelah itu ada moderator lagi yang mengajukan dengan harga 100 ribu rupiah. Sehingga harga 100 ribu itu langsung banyak yang masuk dari orang-orang mempunyai lahan. Sehingga jadi gejolak antara warga yang menjual 35, 50, mengacu ke harga 100,” imbuhnya.

Lanjutnya, pihak PT BPI pun akhirnya menyetarakan harga, yang 35 ribu dan 50 ribu disamakan menjadi harga 100 ribu rupiah per meter.

“Itu dari Bapak Efendi Pimpinan Presiden komisaris BPI menyatakan bahwa harga final itu di angka 100. Sehingga akhirnya mencapai dengan volume 80 hektar-an. Sekitar 80 persen dari jumlah yang dibutuhkan 260 hektar,” ungkap Mukadar.

Perjalanan tim pembebasan lahan yang melibatkan Mukadar cs sempat terhenti dan diganti oleh tim terpadu yang diisi oleh jajaran pemerintahan, kepolisian, pegawai kecamatan, perangkat desa. Tim terpadu, menurut Mukadar, mendapatkan hasil bagus karena penawan harga final adalah 100 ribu.

Upaya pembebasan lahan PLTU Batang pun disebutnya sempat vakum. Padahal, lahan yang dibutuhkan menurut informasi yang didapat Mukadar masih butuh sekitar 30 hektar.

“Sehingga kami berasumsi lagi punya pimpinan untuk memberi informasi dengan harga 400 ribu rupiah. Dengan dalih yang 100 ribu harganya, yang 300 ribu kompensasinya. Spontan orang mengajukan sehingga mencapai 90 persen lahan, Kebetulan saya jadi tim juga, membebaskan dengan harga 400. Walaupun sampai saat ini masih ada kurang lebih 12 hektar yang belum terjual dan akhirnya kena perundang-undangan konsinasi, sampai saat ini juga masih proses. Mungkin hanya itu yang bisa saya sampaikan strategi pembebasan lahan,” tutup Mukadar.

Ada Tekanan Dari Bupati Batang Saat Melepas Lahan Ke PT BPI?

Selain Mukadar, salah satu warga terdampak PLTU Batang yang sempat menyampaikan keluhannya adalah Marsono. Ia memaparkan di Kabupaten Batnag ada beberapa proyek besar yang berjalan hampir bersamaan pada tahun 2012. Diantara proyek tersebut adalah proyek double track, proyek pembangunan tol dan proyek PLTU Batang. Ia sendiri mengaku ikut terlibat dalam ketiga proyek tersebut.

“Kebetulan tiga-tiganya saya dapat semua. Jadi pendopo ini jadi saksi bisu buat saya. Jadi waktu saya jual tanah 3 hektar itu dipanggil oleh Pak Bupati waktu itu, beserta Direktur Utamanya waktu itu pak Ari Sigit,” ujar Marsono.

Saat itu, ia mengaku ditunjukkan bahwa harga 100 ribu per meter untuk pembebasan lahan adalah harga final, tidak akan pernah berubah. Karenanya, ia mengaku sempat ditekan untuk menjual lahannya dengan beberapa alasan.

“Karena kamu itu tokoh masyarakat dan kamu harus mendukung program pemerintah. Akhirnya kan wong namanya masyarakat, dengar itu harga final dan tidak ada lagi. Dan saya juga diiming-imingi, nanti pak Marsono dapat kerja khusus, pokonya keluarganya bisa terjamin. Akhirnya kan dengan harga itu saya lepas,” kata Marsono.

Kurang lebih satu bulan kemudian, lanjutnya, harga 400 ribu per meter pun muncul. Marsono mengaku, jika tidak ada penegasan dari Bupati Batang pada saat itu, dirinya tidak akan melepas lahannya.

“Sebelumnya kami belum yakin dengan harga 35, 50 kemudian 100. Karena kami diundang kesini oleh Bapak Bupati waktu itu, akhirnya saya lepas. Yang terakhir muncul harga 400. Makanya kalau bicara masalah PLTU, itu jadi bingung. Karena harga itu tidak ada harga yang mapan,” tegasnya.

Ia pun membandingkan pembeasan lahan yang terjadi saat proyek pembangunan tol. Menurutnya, untuk proyek tol, ada semacam proses aprisal dimana harga tanah ditentukan dengan kondisi tanah dan ditentukan dengan klasifikasi tanah. Pada pembebasan lahan untuk PLTU Batang, baik tanah produktif maupun tidak, semua dihargai 100 ribu permeter.

Ini sebagai gambaran saja. Kita tidak ingin menangnya sendiri. Tapi tolong, kami warga Desa Ujungnegoro, Desa Karanggeng dan Desa Ponowareng itu pada saat menjual itu tidak bisa beli lagi. Karena pada saat menjual itu tidak bisa beli lagi. Karena harganya lebih dari 100 ribu. Inilah pengalaman dari saya sendiri. Artinya bukan saya pengen dikasihani, tapi itu jeritan dari semua warga yang menjual tanah dengan penetapan harga 100 ribu rupiah,” tutup Marsono. (OSY)

Loading...