Pecepatan Reformasi Hukum Dalam Rangka Ketahanan Nasional. Ditulis oleh: Dr. Nicholay Aprilindo, S.H., MH., M.M, Alumnus PPSA XVII – 2011 LEMHANNAS RI., Seketaris Bidang Kajian Hukum & UU. DPN PERADI.
Pendahuluan
Hukum harus mengalami proses adaptasi sesuai dengan zamannya masing-masing. Inilah salah satu makna dasar dari hukum progresif. Hukum bukanlah sebagai sebuah sistem yang stagnan dan status quo, namun mengikuti jejak perkembangan sejarah sesuai dengan tuntunan perubahan sosial masyarakat.
Hukum yang selalu dinamis. Demikian itu berkaitan dengan konsepsi Ketahanan Nasional. Ketahanan Nasional adalah kondisi dinamis yang berisikan keuletan dan ketangguhan dalam menghadapi serta mengatasi segala bentuk ancaman, gangguan ataupun hambatan dari dalam maupun luar negeri.
Dalam rangka mewujudkan pembangunan hukum, pemerintah telah melakukan berbagai strategi dan upaya dalam rangka mewujudkan pembangunan hukum dimaksud. Namun, pada kenyataannya pembangunan hukum yang demikian dihadapmukakan pada tingkat kepercercayaan masyarakat yang selama ini memunculkan sinisme terhadap kinerja aparat penegak hukum.
Kondisi tersebut merupakan suatu hal yang tidak menguntungkan. Kondisi maraknya pelanggaran hukum seperti korupsi tidak terlepas dari melemahnya etika.2 Keberadaan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara demikian penting dan stategis. Dikatakan demikian oleh karena etika sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral merupakan cerminan jiwa bangsa (volksgeist). Hukum dilahirkan dari nilai-nilai etika.
Oleh karena itu penegakan etika demikian berpengaruh dalam bekerjanya hukum. Ketaatan etika mempunyai hubungan fungsional dengan ketaatan pada hukum. Dikatakan demikian, oleh karena semakin tinggi ketaatan terhadap etika, maka akan semakin tinggi pula ketaatan pada hukum.
Sebaliknya, semakin rendah ketaatan terhadap etika, maka akan semakin rendah pula ketaatan pada hukum. Banyak pejabat negara yang melakukan pelanggaran hukum akibat degradasi bahkan krisis etika (moral). Degradasi moral menunjuk pada perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai etika yang berlaku di masyarakat.
Degradasi moral dapat mempengaruhi kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Apabila penegakan hukum dapat berjalan dengan baik, maka akan berdampak positif pada Ketahanan Nasional. Sebaliknya, apabila penegakan hukum tidak berjalan dengan baik, maka akan dapat melemahkan Ketahanan Nasional.
Dalam kaitannya dengan penegakan hukum yang sesuai dengan cita hukum, yakni keadilan, kepastian dan kemanfaatan, maka reformasi hukum menjadi sebuah keniscayaan. Reformasi hukum merupakan jawaban terhadap bagaimana hukum di Indonesia diselenggarakan dalam kerangka pembentukan negara hukum yang dicita-citakan. Hukum mengemban fungsi ekspresif, mengungkapkan pandangan hidup, nilai-nilai budaya dan nilai keadilan.
Selain itu hukum mengemban fungsi instrumental yaitu sarana untuk menciptakan dan memelihara ketertiban, stabilitas dan prediktabilitas, sarana untuk melestarikan nilai-nilai budaya dan mewujudkan keadilan, sarana pendidikan serta pengadaban masyarakat dan sarana pembaharuan masyarakat.
Dalam kaitannya dengan percepatan reformasi hukum, maka diperlukan upaya membentuk kesadaran para penyelenggara negara termasuk aparat penegak hukum untuk menjalankan hukum sesuai dengan cita hukum. Kesadaran tersebut sangat terkait dengan etika dan struktur kelembagaan. Etika dan struktur kelembagaan demikian dominan dan menentukan.
Analisis dan Pembahasan
Pembangunan hukum tidaklah dilaksanakan dalam “ruangan hampa” atau berada dalam “tabung kosong”, melainkan berada di tengah-tengah masyarakat yang sudah lebih dahulu “kental” dengan dan memiliki hukum-hukum lokal yang berupa adat istiadat maupun kebiasaan. Membangun hukum (dalam arti membentuk suatu tata hukum beserta perangkat yang berkaitan dengan tegaknya tata hukum tersebut) pada saat sekarang maupun yang akan datang, bukan sekedar berdasarkan teori hukum yang universal dan canggih, melainkan sangat dipengaruhi oleh pandangan masyarakat setempat hingga diperoleh hukum yang hidup atau sesuai aspirasi masyarakat.
Adi Sulistiyono mengatakan bahwa pembangunan hukum mempunyai makna yang lebih menyeluruh dan mendasar dibandingkan dengan istilah pembinaan hukum atau pembaharuan hukum. Pembinaan hukum lebih mengacu pada efisiensi, dalam arti meningkatkan efisiensi hukum.
Adapun pembaharuan hukum mengandung pengertian menyusun suatu tata hukum untuk menyesuaikan dengan perubahan masyarakat. Oleh karena, pembangunan hukum itu tidak hanya tertuju pada aturan atau substansi hukum, tetapi juga pada struktur atau kelembagaan hukum dan pada budaya hukum masyarakat.
Dalam rangka percepatan reformasi hukum, maka pendekatan Ketahanan Nasional sebagai landasan konsepsional menjadi penting dan strategis. Konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia adalah konsepsi pengembangan kekuatan nasional melalui pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan (prosperity approach) dan keamanan (security approach), yang seimbang, serasi dalam seluruh aspek kehidupan secara utuh dan menyeluruh yang berlandaskan Pancasila, UUD 1945 dan Wawasan Nusantara.
Penting dipahami, bahwa Ketahanan Nasional merupakan geostrategi nasional Indonesia. Geostrategi adalah pelaksanaan dari geopolitik. Karena itu geostrategi adalah strategi atau suatu pelaksanaan kebijakan politik yang disusun atas dasar pertimbangan geografis. Ermaya Suradinata mengatakan, geopolitik dan geostrategi akan menjadi lemah apabila kekuatan geopolitik dan geostrategi negara lain lebih dominan dalam mengendalikan sistem pertahanan negara, sistem demokrasi, sistem ekonomi, serta sistem hukum.
Oleh karena itu, sistem pertahanan negara, politik, hukum, ekonomi dan demokrasi hanya dapat benar-benar terlindungi apabila geopolitik dan geostrategi efektif didasarkan pada hukum dasar konstitusi dari negara yang kuat. Pendekatan Ketahanan Nasional menjadi penting dalam rangka penguatan proses bekerjanya hukum. Pada proses bekerjanya hukum, sistem hukum sangat menentukan penegakan hukum.
Sebagai suatu sistem, hukum terdiri dari tiga subsistem yang saling terkait dalam penegakannya. Subsistem tersebut adalah legal substance (substansi/perundang-undangan), legal structure (struktur hukum), legal culture (budaya hukum). Substansi hukum adalah peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku hukum pada waktu melakukan perbuatan-perbuatan serta hubungan-hubungan hukum.
Struktur hukum adalah pola yang memperlihatkan bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Adapun budaya hukum merupakan keseluruhan faktor-faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang sesuai dan dapat diterima di dalam kerangka budaya masyarakat.
Ketiga subsistem hukum tersebut sangat berpengaruh terhadap penegakan hukum. Substansi hukum yang memadai dan aparat hukum yang baik, tidak dapat berjalan dengan sempurna tanpa adanya dukungan budaya hukum masyarakat. Ketiga subsistem tersebut harus diupayakan sejalan dengan konsepsi penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan, yang seimbang, serasi dalam seluruh aspek kehidupan.
Dalam memfungsikan penegakan hukum, dipersyaratkan terpenuhinya 3 (tiga) unsur yang selalu menjadi tumpuan hukum, yakni keadilan (gerechtigkeit), kepastian (rechtsicherheit) dan kemanfaatan (zwechtmassigket). Ketiga tumpuan hukum tersebut harus mendasari baik dalam tahap pembentukan hukum maupun dalam tahap aplikasi penegakan hukumnya.
Penting disampaikan disini terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Soerjono Soekanto menganalisa ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu: faktor undang-undang, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas faktor masyarakat, faktor kebudayaan.12 Kelima faktor tersebut akan sangat mempengaruhi apakah penegakan hukum tersebut akan berjalan lancar atau akan mengalami hambatanhambatan tertentu. Akibat adanya berbagai faktor yang mengganggu, maka penegakan hukum sulit terwujud dalam bentuknya yang total.
Menurut Achmad Ali, efektif atau tidaknya hukum, tidak semata-mata ditentukan oleh peraturannya, tetapi juga dukungan dari beberapa institusi yang berada disekelilingnya, seperti faktor manusianya, faktor kultur hukumnya, faktor ekonomis dan sebagainya. Efektifitas hukum berarti bahwa orang benar-benar berbuat sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana mereka harus berbuat, bahwa norma-norma itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi.
Menurut Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik. Hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik, dan tempat hukum dalam negara, tergangtung pada keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya.
Kondisi saat ini memperlihatkan belum optimalnya fungsi penegakan hukum. Disisi lain sikap sinisme masyarakat terhadap penegakan hukum semakin meningkat. Masyarakat meragukan pembangunan hukum yang dilaksanakan oleh pemerintah. Lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum bukan tanpa dasar.
Kenyataan empiris menunjukkan tidak terselenggaranya penegakan hukum yang optimal oleh aparat penegak hukum. Dapat disebutkan antara lain: pertama, rendahnya kualitas dari Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat. Kedua, tidak diindahkan prinsip the right man in the right place. Ketiga, rendahnya komitmen terhadap penegakan hukum.
Keempat, tidak adanya mekanisme penegakan hukum yang baik dan modern. Kelima, kuatnya pengaruh dan intervensi politik dan kekuasaan dalam proses bekerjanya hukum. Bahkan yang sangat memprihatinkan adalah adanya label industri hukum dan klaster perkara.
Penegakan hukum yang belum mampu mewujudkan cita hukum dan pada gilirannya memperlemah Ketahanan Nasional dipengaruhi oleh persoalan etika (moral) aparat penegak hukum dan penyelenggara negara. Dalam kaitan ini Rahardjo mengatakan bahwa jika etika dan moral manusia telah luntur, maka penegakan hukum tidak tercapai, sehingga membangun masyarakat untuk sejahtera dan kebahagiaan manusia tidak akan terwujud.
Etika pada dasarnya lebih luas dari pada hukum. Etika mendahului bekerjanya sistem hukum dan bahkan dapat dipahami sebagai basis sosial bekerjanya sistem hukum. Etika menunjuk keberlakuan salah satu komponen dari sistem hukum, yakni budaya hukum (legal culture). Permasalahan teoretis dalam suatu sistem peradilan juga bersangkut-paut dengan responsibilitas, liabilitas dan akuntabilitas.
Resposibilitas biasanya menunjuk pada otoritas bertindak dan kebebasan untuk mengambil keputusan, dan kekuasaan untuk mengawasi. Liabilitas sering diasumsikan sebagai tugas untuk memperbaiki kinerja. Adapun akuntabilitas adalah kewajiban untuk mempertanggungjawabkan yang tunduk kepada penilaian dari luar.
Kebijakan dan strategi pembangunan hukum nasional sebagai suatu sistem diarahkan pada terwujudnya sistem hukum yang mendukung kepentingan nasional. Hukum dengan elemen elemennya memegang peranan penting dalam memperkuat Ketahanan Nasional. Atas dasar itulah maka perlu ditentukan kebijakan serta strategi yang tepat dalam perencanaan pembangunan hukum guna menciptakan Ketahanan Nasional yang tangguh.
Dalam upaya mewujudkan bekerjanya hukum yang optimal, berbagai komisi telah dibentuk seperti, Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial. Kesemuanya itu diharapkan mampu untuk mengatasi permasalahan dalam kemelut sistem peradilan pidana.
Termasuk juga mempercepat proses pemulihan atas keterpurukan hukum melalui konsep systemic approach dalam setiap penangangan perkara pidana, khususnya dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi yang tergolong extra ordinary crime. Namun sangat disayangkan, pembentukan komisi-komisi tersebut ternyata belum menghasilkan prestasi sebagaimana yang diharapkan.
Masyarakat sangat menaruh harapan akan kedidjayaan komisikomisi tersebut guna mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap supremasi hukum. Komisi seharusnya dapat memainkan perannya sesuai dengan ruang dan waktu yang menghimpitnya. Tolak ukur keberhasilan ditentukan dari ruang dan waktu ini, bukankah mereka berkerja sesuai dengan kompetensinya masing-masing dan dibatasi oleh masa keanggotaan yang telah ditentukan? Mereka tidak berada dalam “ruangan hampa” dan tanpa target pencapaian dalam masa keanggotaan.
Berbagai komisi ternyata kurang memanfatkan ruang dan waktu ini. Terkesan mandul ketika berhadapan dengan mitra institusi yang diawasinya. Komisi tidak memanfaatkan momentum ini dengan baik. Padahal itu merupakan sebagai triger dalam upaya pembenahan dalam tubuh internal masing-masing.
Menurut penulis, percepatan reformasi hukum memerlukan adanya pergeseran paradigma pemberdayaan institusi penegak hukum dari sifatnya internal mengarah kepada lintas sektoral. Upaya ini dilakukan dengan menggabungkan beberapa komisi menjadi satu (minus KPK) menjadi Komisi Kewibawaan Hukum.
Penggabungan menjadi satu ini diharapkan berdampak positif untuk menghilangkan atau setidaknya meminimalkan dominasi kepentingan-kepentingan tertentu yang melingkupinya, sebagaimana hukum itu tidaklah steril dari perilaku-perilaku sosial lingkungannya.
Pendekatan sistemik dalam pemberdayaan penegakan hukum melalui penyempitan jumlah komisi dalam satu kesatuan akan mengoptimalkan hubungan koordinasi. Selain juga penyamaan persepsi guna mengatasi masalah ketidakterpaduan. Kehadiran Komisi Kewibawaan Hukum ini diharapkan dapat menjadi alat komunikasi bagi masyarakat secara efektif melalui sistem satu atap.
Dimaksudkan akan lebih bermanfaat dalam distribusi informasi kelembagaan. Perlu dimengerti komunikasi menjelaskan banyak fenomena yang berkaitan dengan sistem hukum itu sendiri, termasuk ke dalam persoalan ini adalah masyarakat dan media yang memberikan penilaian terhadap aktifitas penegakan hukum yang tengah berlangsung.
Dengan demikian dalam setiap pemeriksaan perkara pidana ada suatu kewajiban bagi aparat penegak hukum untuk mempertanggungjawabkan tindakan maupun keputusannya kepada publik. Kualitas sumber daya aparat penegak hukum dalam komunitas ini akan akan terjaga melalui rekrutmen selektif dan ini merupakan basic component yang akan menimbulkan rasa hormat dan rasa segan yang kesemuanya akan bermura pada tumbuhnya kewibawaan hukum dalam masyarakat.
Konsensus di antara mereka akan melahirkan integritas moral yang tinggi, lebih transparan serta memiliki independensi yang kuat karena telah tercipta konsensus diantara mereka. Tugas utama komisi ini adalah selaku pemantau dan pengawas terhadap seluruh tahapan penanganan perkara pidana, mulai dari tahap penyidikan, hingga penuntutan di pengadilan. Keberadaan Komisi Kewibawaan Hukum yang didjaya perlu untuk segera dibentuk.
Kepakaran diperlukan, namun juga harus didukung dengan kependekaran (keberanian). Akhirnya dengan adanya Komisi Kewibawaan Hukum ini diharapkan akan membentuk budaya hukum yang optimum. Keberadaan Komisi Kewibawaan Hukum penting dan strategis guna mewujudkan etika pemerintahan.
Etika pemerintahan merupakan bagian dari yurisprudensi praktis (practical jurisprudence) atau filosofi hukum (philosophy of law) yang mengatur urusan pemerintah dalam hubungannya dengan orang-orang yang mengatur dan mengelola lembaga pemerintahan. Etika pemerintahan mencakup isu-isu kejujuran dan transparansi dalam pemerintahan.
Pada gilirannya berurusan dengan hal-hal seperti; penyuapan (bribery); korupsi politik (political corruption); korupsi polisi (police corruption); etika legislatif (legislatif ethics); etika peraturan (regulatory ethics); konflik kepentingan (conflict of interest); pemerintahan yang terbuka (open of government); etika hukum (legal ethics).
Di sisi lain, etika pemerintahan menjadi pilar bagi bekerjanya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dalam konteks profesionalisme, etika memberikan jawaban dan sekaligus pertanggungjawaban tentang ajaran moral, yaitu bagaimana seseorang yang berprofesi harus bersikap, berprilaku dan bertanggung jawab perbuatanya.
Franz Magnis Suseno mengatakan bahwa etika dan moralitas akan menjadi orientasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tumbuhnya etika pemerintahan akan mendorong percepatan reformasi hukum. Percepatan reformasi hukum harus sejalan dengan pendekatan geostrategi sebagai metode untuk mewujudkan cita-cita proklamasi.
Penutup
Reformasi hukum idealnya harus dilakukan melalui pendekatan sistem hukum (legal system), yang meliputi sub sistem substansi hukum (legal substance), sub sistem struktur hukum (legal structure), dan subsistem budaya hukum (legal culture). Percepatan reformasi hukum harus mengarah pada pembenahan institusi penegak hukum dengan meningkatkan profesionalisme para penegak hukum.
Selain itu, penataan kembali peraturan perundang-undangan mutlak dilakukan dengan diiringi peningkatan budaya hukum masyarakat dan penegakan etika. Penegakan etika demikian strategis guna menjaga kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Penegakan etika juga tidak dapat dilepaskan dari budaya hukum sebagai pendamping struktur kelembagaan penegakan hukum.
Penegakan etika dalam Komisi Kewibawan Hukum diharapkan menjadi Peradilan Etik (Court of Ethics) guna mendorong penegakan hukum yang optimum. Penegakan hukum yang mampu mencerminkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan akan mendukung terwujudnya sistem Ketahanan Nasional yang tangguh, sehingga tercapai cita-cita dan tujuan bersama sebagaimana diinginkan oleh the founding fathers.