HARIANNKRI.ID – Praktisi Hukum Evelyn Azaria Valentina menilai Perda yang menjadi dasar hukum kenaikan PBB (Pajak Bumi dan bangunan) Kota Cirebon cacat hukum. Selain itu, kebijakan tak populer ini juga diklaim tercium aroma kongkalikong dengan DPRD setempat.
Evlyn menuturkan, dasar hukum yang dianggapnya cacat adalah Perda Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang acuan kenaikan PBB di Kota Cirebon. Perda ini pun dikenal masyarakat Kota Cirebon dengan sebutan “Perda Kenaikan PBB”. Aturan ini memicu kontroversi segala kalangan karena dinilai sangat memberatkan, bahkan warga pun sempat menggelar demo penolakan.
“Bahkan mucul wacana liar akan ada aksi boikot membayar PBB. Warga juga tetap pada tuntutan agar kenaikan PBB tidak memberatkan. Itu perkembangan terakhir yang saya dapat,” kata Evelyn kepada hariannkri.id melalui sambungan selular, Senin (27/06/2024).
Terkait dugaan Perda Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah cacat hukum, ia membenarkan hal tersebut. Evelyn menekankan, terbitnya sebuah perda, wajib didahului dengan kajian akademis dan dijabarkan dalam naskah akademik. Jika sebuah perda sudah ditetapkan, maka perda beserta lampiran (jika ada) dan naskah akademik wajib dicantumkan di laman Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) pemerintah setempat.
“Di halaman resmi Pemkot tentang Perda ini, isinya bukan naskah akademik tentang pajak. Adanya naskah akademik perubahan Hari Jadi Cirebon. Jadi, dipastikan Perda itu tidak ada naskah akademiknya. Makanya, Perda tersebut bisa dikatakan produk cacat hukum. Otomatis, kenaikan PBB di kota Cirebon tidak ada dasar hukum dan kajiannya,” ujar Evelyn.
Lanjutnya, pada pelaksanaannya, Pemkot Cirebon disebutnya memberikan keringanan nilai pembayaran PBB pada tahun pertama. Evelyn mengingatkan, jika pun masyarakat membayar di tahun pertama, warga Kota Cirebon harus sadar kewajiban yang akan dipikul pada tahun selanjutnya.
“Pemda menawarkan stimulus relaksasi kepada rakyat. Itu merupakan pembodohan kepada masyarakat. karena selanjutnya, rakyat harus mennggung penuh beban kenaikan PBB. Tanpa ampun loh. Mbayar atau menjalani konsekuensi hukumnya” tegasnya.
Aroma Cuci Tangan DPRD Kota Cirebon Pada Perda Kenaikan PBB
Evelin menjelaskan, perda tidak bisa disahkan dan diberlakukan Pemerintah Kota begitu saja. Aturan yang ditetapkan pihak eksekutif harus diajukan dan diketok oleh Wakil Rakyat selaku legislatif. Artinya, para anggota DPRD Kota Cirebon pastinya telah mengkaji dampaknya pada konstituen.
Yang terjadi pada perda ini, aku Evelyn, ada kesan dipaksakan diajukan eksekutif dan diketok legislatif masa jabatan 2019-2024. Hal ini terlihat dari begitu cepatnya reaksi penolakan warga Kota Cirebon terhadap implementasi kebijakan tersebut. Artinya, sangat tidak bisa dinalar jika wakil rakyat tidak bisa memprediksi keberatan konstituennya.
“Saya beserta teman-teman gak habis pikir, kok bisa aturan yang terang benderang membebani rakyat diketok di paripurna? Ada apa nih para wakil rakyat?” seru Evelyn.
Ia menekankan, usai viral dan kontroversi, DPRD Kota Cirebon disebutnya bereaksi dengan mewacanakan untuk mengkaji ulang. Kabarnya pula, ambil alih inisiatif revisi ini diagendakan paling cepat pada bulan Oktober 2024. Menurut Evelyn, sikap DPRD Kota Cirebon ini terkesan cuci tangan. Karena pada bulan itu terjadi pelantikan anggota DPRD Kota Cirebon masa jabatan 2024-2029. Artinya, kewajiban revisi kenaikan PBB tersebut bukan lagi tanggung jawab anggota DPRD yang menyetujui.
“Ini lucu. Seharusnya jika memang berniat, kenapa tidak dilakukan saat ini saja? Agendakan sekarang, sehingga saat dilantik Oktober, progresnya sudah terlihat. Dengan menunggu pelantikan pada Oktober 2024, sama halnya memperpanjang ketidakpastian. Warga Kota Cirebon sebenarnya menginginkan ada langkah taktis segera supaya tidak ada sanksi yang akan tambah memberatkan. Ini kan cuci tangan namanya,” tuturnya.
Warga Kota Cirebon Akan Ajukan JR Perda Kenaikan PBB ke MA
Bersama teman-teman yang tergabung dalam gerakan Warga Kota Cirebon, Evelyn berencana membawa Perda Nomor 1 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ke Mahkamah Agung (MA) untuk mengajukan Judicial Review (JR). Ia menegaskan, karena berstatus tengah digugat melalui JR, maka status perda tersebut belum mengikat atau tidak boleh dilaksanakan.
“Kami sedang melakukan pertimbangan dan data serta temuan yang sudah dipegang. Untuk sekarang, JR adalah jalur hukum yang legal dan masuk akal untuk menghentikan pendritaan warga Kota Cirebon,” tutup Evelyn Azaria Valentina. (OSY)