Kontroversi Penegakan Hukum Korban Penyalahguna Narkotika di Kebumen

Kontroversi Penegakan Hukum Korban Penyalahguna Narkotika di Kebumen
Ilustrasi artikel berjudul "Kontroversi Penegakan Hukum Korban Penyalahguna Narkotika di Kebumen"

HARIANNKRI.ID – Kontroversi penegakan hukum penyalahguna Narkotika menjadi polemik hangat di wilayah Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Aparat Penegak Hukum (APH) diminta bijak dalam menerapkan pasal yang ada pada UU no 35/2009 tentang Narkotika

Dari perihal tersebut diatas pendiri sekaligus pembina Yayasan Cahaya Bambu Wulung di Kebumen, Nurudin. Ia menyampaikan, APH seharusnya berhenti menggunakan pasal 111, 112, 113, dan 114 dalam menjerat penyalahguna Narkotika untuk diri sendiri. Karena hal itu sudah diatur dalam pasal tersendiri yaitu pasal 127 UU no 35/2009 tentang Narkotika.

“Pasal 111, 112, 113, 114 seharusnya digunakan untuk menjerat pelaku kejahatan kepemilikan Narkotika secara umum. Mereka yang mengedarkan demi keuntungan pribadi, seperti produsen, agen atau bandar, kurir, dan pengecer serta mereka yang memperoleh keuntungan dari hasil transaksi Narkotika ilegal,” terang Nurudin saat dikonfirmasi tim media Harian NKRI di rumahnya, Selasa (14/01/2025).

Lanjutnya, dia mengatakan, Bahwa pasal 127 khusus untuk menjerat pelaku kejahatan kepemilikan untuk dikonsumsi diri sendiri yang disebut penyalahguna Narkotika. Didalam unsur pidana pengedar serta penyalahguna hampir sama, namun hanya dibedakan pada tujuan kepemilikan.

“Kalau kepemilikan itu digunakan untuk diri sendiri, artinya itu tidak dijual disebut penyalahguna narkotika harus dijerat dengan pasal 127. Tapi kalau kepemilikan Narkotika untuk dijual atau diedarkan, lha itu baru boleh dijerat pasal 111, 112, 113, atau 114,” lanjutnya.

“Karena Undang-Undang tentang Narkotika dibuat bertujuan. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika,” imbuhnya.

Dia membeberkan, terkait penyalahguna dan pengedar harus dibedakan perlakuannya sebab maksud dan tujuan UU Narkotika terhadap pengedar harus diberantas, namun terhadap penyalahguna itu dijamin mendapatkan upaya rehabilitasi. Sebenarnya penyalahguna dan pengedar dapat diketahui melalui jumlah barang buktinya (BB), apabila dalam jumlah terbatas dalam keseharian menandakan pelaku adalah penyalahguna. Sebaliknya, apabila jumlah BB kepemilikan banyak, hal itu menandakan sebagai pengedar.

“Penyalahguna Narkotika memang punya hubungan kejahatan dengan pengedar tetapi hubungan tersebut dalam penyidikan. Penuntutan tidak boleh penyebab penyalahguna dituntut secara komulatif maupun subsidiaritas karena beda tujuan penegakan hukum. Bahwa tujuan dibuatnya UU Narkotika secara khusus menyatakan pengedar diberantas. Sedangkan penyalahguna dijamin mendapatkan upaya rehabilitasi,” pungkasnya.

Sebagai Informasi Publik

Dasar hukum yang mengatur rehabilitasi penyalahguna narkoba di Indonesia diatur sesuai:

Undang-Undang

  1. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika: Pasal 54 UU ini mewajibkan pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika untuk menjalani rehabilitasi medis dan sosial.
  2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika: Pasal 38 UU ini mengatur tentang rehabilitasi bagi pecandu psikotropika.

Peraturan Pemerintah

  1. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011: Tentang Pelaksanaan Wajib Rehabilitasi Medis dan Sosial Bagi Penyalahguna Narkotika.
  2. Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2013: Tentang Kriteria dan Tata Cara Penempatan Penyalahguna Narkotika dalam Lembaga Rehabilitasi.
  3. Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2017: Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Rehabilitasi Medis dan Sosial Bagi Penyalahguna Narkotika.

Peraturan Menteri

  1. Peraturan Menteri Kesehatan No. 67 Tahun 2016: Tentang Standar Pelayanan Rehabilitasi Ketergantungan Obat.
  2. Peraturan Menteri Sosial No. 14 Tahun 2018: Tentang Standar Pelayanan Rehabilitasi Sosial Bagi Penyalahguna Narkotika.

Ketentuan Lain

  1. Konvensi PBB tentang Narkotika: Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1976.
  2. Konvensi PBB tentang Psikotropika: Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1997.

Dasar hukum tersebut menegaskan pentingnya rehabilitasi bagi penyalahguna narkoba dan mengatur tentang pelaksanaan rehabilitasi medis dan sosial. (SND)

Loading...