Menegakkan Keadilan dan Menjunjung Hak Asasi Manusia dalam Sistem Hukum Indonesia. Sebuah Tajuk Rencana hariannkri.id. Amrozi, Pemimpin Redaksi.
Sistem hukum yang adil dan transparan merupakan pilar utama dalam menjaga kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum. Tiga peristiwa terkini, yaitu kematian tragis jurnalis Juwita di Banjarbaru, teror kepada jurnalis Tempo dan usulan penghapusan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) bagi mantan narapidana, menyoroti tantangan dan peluang dalam upaya memperkuat supremasi hukum serta penegakan hak asasi manusia di Indonesia.
Kematian Juwita: Ujian Transparansi Penegakan Hukum
Pada 22 Maret 2025, Juwita, seorang jurnalis muda berusia 23 tahun, ditemukan meninggal dunia di tepi jalan kawasan Gunung Kupang, Banjarbaru. Kejadian ini menimbulkan duka mendalam dan memicu berbagai spekulasi di masyarakat. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Persiapan Banjarmasin menyoroti beberapa kejanggalan dalam kasus ini. Seperti luka-luka pada tubuh korban dan hilangnya barang-barang pribadi, sementara sepeda motor korban tetap berada di lokasi. AJI mendesak aparat penegak hukum untuk melakukan penyelidikan yang transparan dan menyeluruh. Memastikan keamanan bagi para jurnalis yang rentan terhadap berbagai ancaman dalam menjalankan tugasnya.
Pihak keluarga Juwita juga mengharapkan agar penyebab kematian dapat diungkap secara tuntas, mengingat adanya beberapa kejanggalan yang ditemukan. Kapolda Kalimantan Selatan, Irjen Pol Rosyanto Yudha Hermawan, telah memberikan atensi khusus terhadap kasus ini dan berjanji untuk mengungkap misteri di balik kematian Juwita.
Teror Terhadap Jurnalis Tempo dan Keluarga
Kasus teror terhadap Tempo dan jurnalisnya, harus dapat diungkap oleh Polri. Sebab, kasus ini sudah dinilai publik sebagai salah satu upaya untuk mengekang kebebasan pers, yang merupakan salah satu syarat utama dalam sistem demokrasi. Upaya untuk mengekang atau mengendalikan pers memang sudah lama menjadi isu di negeri ini. Salah satu cara yang dilakukan adalah “membeli” atau “memberi imbalan” kepada perusahaan pers, baik dalam bentuk pemasangan iklan atau imbalan lainnya. Dengan cara ini, arah kebijakan media/pers dapat dikendalikan sesuai dengan kemauan si pemberi imbalan. Sedangkan pengekangan dengan ancaman fisik, bahkan kematian awak pers, sudah pernah terjadi di era Orde Baru. Maka dalam mengusut kasus teror terhadap Tempo ini, Polri sudah seharusnya bekerja dengan amanat mengawal sistem demokrasi.
Teror terhadap Tempo dan jurnalisnya, merembet ke keluarga jurnalis. Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), Erick Tanjung, hari ini mengungkapkan, ibunda Francisca Christy Rosana (Cica), mendapat teror melalui akun WhatsApp-nya yang diretas pelaku. Cica dan Tempo diteror dengan cara dikirimi paket berisi kepala babi dan bangkai tikus yang terpenggal kepalanya. KKJ dan Tempo sudah melapor ke Bareskrim Polri, dan minta perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Menurut Erick ada 7 orang yang akan dilindungi LPSK. Sementara itu Pemimpin Redaksi Tempo, Setri Yasra, menyampaikan ucapan terima kasih kepada TNI yang menawarkan bantuan mengungkap pelaku teror.
Usulan Penghapusan SKCK: Langkah Menuju Reintegrasi Sosial dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia
Di sisi lain, Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) mengusulkan penghapusan SKCK bagi mantan narapidana yang telah berkelakuan baik. Usulan ini bertujuan untuk memfasilitasi reintegrasi sosial mereka dan mengurangi stigma yang sering kali menghambat akses terhadap pekerjaan dan kehidupan yang layak. Direktur Jenderal Instrumen dan Penguatan HAM, Nicholay Aprilindo, menekankan bahwa persyaratan SKCK sering menjadi kendala bagi mantan narapidana dalam mencari pekerjaan, yang pada akhirnya dapat mendorong mereka kembali ke perilaku kriminal.
Menteri HAM, Natalius Pigai, telah menyurati Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengenai usulan ini, dengan harapan mendapatkan respons positif demi kemanusiaan dan penegakan HAM. Langkah ini sejalan dengan upaya memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan HAM yang menjadi salah satu poin utama dalam Astacita Presiden Prabowo Subianto.
Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, mendukung usulan Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) soal penghapusan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Habiburokhman berpandangan, saat ini keberadaan SKCK sudah tak lagi diperlukan. Sebab, masyarakat bisa dengan mudah mengetahui seseorang pernah terlibat tindak pidana atau tidak, tanpa perlu melihat SKCK
Menjaga Keseimbangan antara Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Ketiga peristiwa di atas menegaskan pentingnya keseimbangan antara penegakan hukum yang tegas dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dalam kasus Juwita, transparansi dan akuntabilitas aparat penegak hukum dalam mengusut tuntas kasus ini akan menjadi cerminan komitmen negara dalam melindungi warganya, khususnya mereka yang berperan dalam menjaga fungsi kontrol sosial seperti jurnalis.
Mengungkap pelaku dan dalang teror terhadap Jurnalis Tempo beserta keluarganya menjadi pertaruhan marwah Aparat Penegak Hukum (APH) di mata publik. Perlidungan pada pengemban pilar keempat demokrasi adalah hal mutlak yang dilindungi UU No.40 tahun 1999 tentang Pers. Tidak terungkapnya motif, pelaku dan dalang teror akan menguatkan publik bahwa system hukum di Indonesia tidak sedang baik-baik saja.
Sementara itu, usulan penghapusan SKCK bagi mantan narapidana menunjukkan upaya progresif dalam menghapus stigma dan mendukung reintegrasi sosial. Namun, implementasi kebijakan ini harus disertai dengan mekanisme pengawasan yang ketat untuk memastikan bahwa mantan narapidana benar-benar telah berkelakuan baik dan siap kembali ke masyarakat.
Sebagai masyarakat, kita perlu terus mengawal dan mendukung upaya-upaya yang bertujuan memperkuat sistem hukum yang adil dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hanya dengan demikian, kita dapat membangun Indonesia yang lebih baik, di mana setiap individu mendapatkan perlakuan yang adil dan kesempatan yang sama untuk berkontribusi bagi bangsa dan negara.