Relevansi Penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) Dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia

Relevansi Penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) Dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia
Relevansi Penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) Dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia. Ditulis oleh: Prof Dr Jamal Wiwoho SH MHum, Dosen Pasca Sarjana FH Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Mantan Rektor UNS

Relevansi Penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) Dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia. Ditulis oleh: Prof Dr Jamal Wiwoho SH MHum, Dosen Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Mantan Rektor UNS

  1. Pendahuluan

Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang menyatakan bahwa seseorang tidak memiliki catatan kriminal atau pernah terlibat dalam tindak pidana tertentu, berdasarkan data yang dimiliki kepolisian.

Menurut Peraturan Kapolri Nomor 18 Tahun 2014, SKCK adalah:

“Surat keterangan resmi yang diterbitkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia kepada seorang pemohon/warga negara, berdasarkan hasil penelitian biodata dan catatan kepolisian”.

SKCK pada umumnya digunakan untuk berbagai keperluan administratif seperti:

  1. Melamar kerja (swasta/pemerintahan);
  2. Pendaftaran CPNS;
  3. Pengurusan visa atau izin tinggal di luar negeri;
  4. Menjadi pejabat publik atau anggota legislative;
  5. Pendaftaran pendidikan militer/polisi.

Surat Keterangan Catatan Kepolisian mempunyai sejarah panjang dalam sistem hukum Indonesia, yang dimulai sejak era Hindia Belanda. Pada masa kolonial, dokumen serupa dikenal sebagai Verklaring van Goed Gedrag, yang berfungsi sebagai surat keterangan berkelakuan baik. Surat ini digunakan oleh otoritas kolonial untuk mengontrol pergerakan dan aktivitas penduduk, khususnya kaum pribumi, sebagai bagian dari sistem  pengawasan  sosial.  Setelah kemerdekaan, sistem ini tidak langsung dihapus, melainkan diadaptasi dan digunakan dalam konteks baru oleh pemerintah Republik Indonesia.

Seiring perkembangan zaman, SKCK secara resmi diinstitusionalisasi dan digunakan secara luas selama era Orde Baru, terutama untuk keperluan seleksi calon pegawai negeri, pendidikan militer, serta keperluan administratif lainnya. Dalam era Reformasi, SKCK tetap dipertahankan, bahkan diperkuat dengan regulasi seperti Peraturan Kapolri No. 18 Tahun 2014. Namun, dalam konteks saat ini, penggunaan SKCK mulai menuai kritik karena dianggap tidak selalu relevan dengan dunia kerja modern, serta berpotensi diskriminatif terhadap mantan narapidana yang sedang menjalani proses reintegrasi sosial. Oleh karena itu, wacana untuk meninjau kembali atau bahkan menghapus kewajiban SKCK dalam rekrutmen kerja kini menjadi bagian dari diskusi kebijakan yang lebih inklusif dan berbasis keadilan sosial.

Negara-negara yang telah menghapus atau membatasi penggunaan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) sebagai syarat administratif dalam rekrutmen kerja umumnya melakukannya berdasarkan pertimbangan hak asasi manusia, efektivitas reintegrasi sosial, dan penghapusan stigma terhadap mantan pelanggar hukum. Mereka menyadari bahwa mencantumkan catatan kriminal secara terbuka dalam proses kerja dapat memperkuat diskriminasi struktural dan menghambat individu untuk mendapatkan kesempatan kedua dalam hidupnya.

Sebagai contoh, Kanada dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat menerapkan kebijakan “Ban the Box”, yakni melarang pemberi kerja untuk menanyakan riwayat kriminal pada tahap awal proses perekrutan. Langkah ini bertujuan untuk memberi kesempatan yang setara kepada semua pelamar, dan hanya mempertimbangkan catatan kriminal jika relevan dengan posisi yang dilamar. Belanda dan Jerman juga menekankan prinsip “right to rehabilitation”, yakni hak bagi mantan narapidana untuk hidup normal setelah menyelesaikan hukuman. Negara-negara ini membatasi akses terhadap catatan kriminal, dan sering kali hanya instansi pemerintah atau lembaga tertentu yang berwenang melakukan pemeriksaan itu pun dengan alasan yang sah.

Selain itu, Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan Komisi HAM PBB telah memberikan pedoman bahwa pembatasan akses kerja berdasarkan catatan kriminal hanya diperbolehkan jika benar-benar relevan secara langsung dengan pekerjaan dan tidak melanggar prinsip non-diskriminasi. Ini menunjukkan adanya konsensus global bahwa pemberlakuan SKCK sebagai syarat umum kerja adalah kebijakan yang terlalu luas, dan berpotensi bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan sosial dan hak asasi manusia.

Instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) internasional memiliki pengaruh signifikan dalam menilai relevansi dan perlunya penggunaan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), terutama jika digunakan sebagai syarat administratif dalam rekrutmen kerja. Beberapa prinsip utama HAM, seperti hak atas pekerjaan, non-diskriminasi, dan reintegrasi sosial, memberikan dasar kuat untuk mengkaji kembali praktik penggunaan SKCK yang cenderung eksklusif dan bisa menghambat pemulihan hak-hak individu, khususnya mantan narapidana.

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan dalam pendahuluan, artikel ini menganalisis bagaimana relevansi penerbitan SKCK dalam beberapa persyaratan administratif melamar pekerjaan di Indonesia.

  1. Pembahasan
  2. Pandangan Pemangku Kebijakan Lintas Sektoral tentang Penerbitan SKCK

Pandangan para pemegang kebijakan di Indonesia terhadap urgensi penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) cenderung beragam dan tergantung pada konteks kelembagaan serta jenis kepentingan. Secara umum, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) memandang SKCK sebagai alat penting untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, serta sebagai bentuk pencegahan terhadap potensi kejahatan di bidang ketenagakerjaan, pendidikan, maupun migrasi. Polri menilai bahwa SKCK merupakan bentuk partisipasi institusional dalam membantu penyaringan individu yang akan masuk ke dalam sistem sosial tertentu, khususnya yang menyangkut kepercayaan publik.

Sementara itu, beberapa pihak dari lembaga legislatif dan kementerian teknis seperti Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Tenaga Kerja, mulai mempertanyakan relevansi SKCK dalam dunia kerja modern, terutama bagi sektor informal dan swasta. Dalam beberapa forum kebijakan dan wacana publik, telah muncul gagasan bahwa penggunaan SKCK seharusnya dibatasi hanya untuk jabatan-jabatan yang memiliki risiko tinggi, seperti posisi yang menyangkut keuangan, keamanan, atau kerja dengan kelompok rentan (anak-anak, lansia, dan sebagainya). Di luar itu, penggunaannya dikhawatirkan membatasi hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan menghambat reintegrasi sosial mantan narapidana.

Adapun dalam praktiknya, banyak institusi dan perusahaan swasta menerapkan kewajiban SKCK tanpa pengawasan regulatif yang jelas, sehingga menimbulkan praktik administratif yang tidak proporsional. Beberapa aktivis dan lembaga HAM, termasuk Komnas HAM, pernah menyoroti hal ini sebagai bentuk diskriminasi sistemik. Oleh karena itu, meskipun SKCK masih dianggap penting oleh sebagian pembuat kebijakan, kesadaran tentang perlunya reformasi dan pembatasan penggunaan SKCK mulai menguat, terutama dalam kerangka membangun sistem ketenagakerjaan dan pelayanan publik yang lebih adil dan inklusif.

  1. Instrumen Hukum Hak Asasi Internasional tentang Relevansi Penerbitan SKCK

Instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) internasional mempunyai pengaruh signifikan dalam menilai relevansi dan perlunya penggunaan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), terutama jika digunakan sebagai syarat administratif dalam rekrutmen kerja. Beberapa prinsip utama HAM, seperti hak atas pekerjaan, non-diskriminasi, dan reintegrasi sosial, memberikan dasar kuat untuk mengkaji kembali praktik penggunaan SKCK yang cenderung eksklusif dan bisa menghambat pemulihan hak- hak individu, khususnya mantan narapidana.

  1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), relevansi penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) sebagai syarat melamar pekerjaan patut dipertanyakan— terutama jika digunakan secara umum dan tidak proporsional.

Pasal 23 ayat (1):

“Setiap orang berhak atas pekerjaan, memilih pekerjaan secara bebas, memperoleh kondisi kerja yang adil dan menguntungkan serta perlindungan dari pengangguran.”

Pasal 7:

“Semua orang sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi.”

Pasal 8 dan 12: Menjamin hak atas keadilan dan privasi, termasuk dari pencampuradukan catatan pribadi tanpa dasar yang sah.

Jika SKCK digunakan secara terbatas dan kontekstual, misalnya untuk profesi yang menyangkut keamanan nasional, pendidikan anak, atau sektor keuangan, maka masih dapat dianggap relevan selama tujuannya adalah untuk melindungi hak-hak masyarakat lainnya.

Namun, jika SKCK digunakan secara umum, wajib, dan tanpa mempertimbangkan sifat pekerjaan, maka ini berpotensi melanggar prinsip non-diskriminasi, hak atas pekerjaan, dan perlindungan hukum yang adil. Ini sangat berdampak pada mantan narapidana yang telah menjalani hukuman tetapi tetap terhambat akses pekerjaannya karena “jejak” di SKCK. Dalam hal ini, SKCK menjadi alat eksklusi sosial, bukan sekadar dokumen administratif.

  1. ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights)

ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005, menekankan hak atas pengakuan hukum dan perlindungan dari diskriminasi. Dalam konteks ini, penggunaan SKCK dapat berpotensi melanggar prinsip- prinsip tersebut jika digunakan secara sewenang-wenang untuk menolak individu yang telah menyelesaikan hukuman pidananya.

Pasal 2 ayat (1):

“Setiap Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin semua hak yang diatur dalam Kovenan ini tanpa diskriminasi apapun…”

Pasal 10 ayat (3):

“Sistem pemasyarakatan harus bertujuan utama rehabilitasi dan reintegrasi sosial narapidana.”

Pasal 17:

“Melarang intervensi sewenang-wenang terhadap privasi, keluarga, atau reputasi seseorang.”

Pasal 26:

“Semua orang adalah sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi.”

Jika SKCK digunakan secara menyeluruh tanpa klasifikasi risiko pekerjaan, ini dapat melanggar prinsip non- diskriminasi (Pasal 2 & 26). Mantan narapidana, meskipun sudah bebas dan menjalani proses hukum, tetap bisa terhambat akses pekerjaannya. SKCK juga bisa dianggap berisiko melanggar hak atas privasi (Pasal 17) jika informasi tentang catatan kriminal digunakan atau diungkapkan tanpa konteks yang sah. Selain itu, penggunaan SKCK yang memperpanjang stigma sosial bertentangan dengan Pasal 10 ayat (3) tentang hak narapidana untuk direhabilitasi dan diintegrasikan kembali ke masyarakat.

  1. The United Nations Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners (Nelson Mandela Rules)

Lebih lanjut, instrumen seperti The United Nations Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners (Nelson Mandela Rules) menekankan pentingnya reintegrasi sosial dan penghapusan hambatan struktural bagi mantan tahanan untuk kembali ke masyarakat. Jika SKCK dijadikan alat pembatas akses kerja tanpa mempertimbangkan  konteks  kejahatan,  masa  hukuman,  dan perubahan perilaku, maka hal ini berlawanan dengan semangat HAM internasional yang mendukung inklusi, rekonsiliasi, dan rehabilitasi. Dengan demikian, pengaruh instrumen HAM global menuntut adanya reformasi kebijakan nasional yang menyesuaikan penggunaan SKCK agar tidak menjadi alat diskriminatif, tetapi benar-benar relevan dan proporsional dengan risiko pekerjaan yang dimaksud.

  1. Relevansi Penerbitan SKCK Dalam Tinjauan Pancasila sebagai Paradigma Hukum Hak Asasi Manusia di Indonesia

Dalam konteks ideologi Pancasila, penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) harus ditempatkan secara proporsional sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, terutama sila kedua dan kelima: Kemanusiaan yang adil dan beradab serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika SKCK digunakan untuk menilai moralitas seseorang secara absolut, tanpa mempertimbangkan proses rehabilitasi dan pemulihan, maka hal ini bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan keadilan yang diusung oleh Pancasila. SKCK tidak boleh menjadi alat untuk melanggengkan stigma, karena Pancasila mengajarkan pentingnya penghormatan terhadap martabat manusia dan hak setiap individu untuk memperbaiki diri serta berkontribusi bagi masyarakat.

Lebih jauh lagi, dalam semangat Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, penerbitan SKCK harus diarahkan untuk menjaga ketertiban umum tanpa mengorbankan hak dasar warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Artinya, penggunaan SKCK harus dibatasi pada situasi yang benar-benar memerlukan evaluasi risiko keamanan, bukan menjadi syarat administratif yang diberlakukan secara menyeluruh. Dengan demikian, penerapan SKCK yang relevan dan adil justru memperkuat penerapan nilai-nilai Pancasila dalam sistem hukum dan kebijakan publik Indonesia.

  1. Langkah ke Depan Dalam Reformasi Kebijakan tentang Relevansi SKCK

Langkah ke depan untuk menghapus penggunaan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) sebagai syarat umum dalam melamar pekerjaan harus dimulai dengan reformasi kebijakan nasional yang sejalan dengan komitmen Indonesia terhadap instrumen hukum Hak Asasi Manusia (HAM) internasional, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Reformasi ini penting untuk menghapus hambatan administratif yang berpotensi diskriminatif, khususnya terhadap mantan narapidana yang telah menyelesaikan masa hukumannya dan memiliki hak penuh untuk kembali bekerja dan hidup bermasyarakat secara bermartabat.

Selanjutnya, perlu dilakukan kampanye edukasi dan sosialisasi kepada sektor swasta dan masyarakat luas mengenai prinsip non-diskriminasi dan hak atas pekerjaan bagi setiap warga negara, termasuk mereka yang pernah menjalani pidana. Tanpa perubahan perspektif publik, penghapusan SKCK bisa berisiko ditolak secara sosial. Oleh karena itu, pendekatan edukatif harus berjalan beriringan dengan perubahan kebijakan, dengan mengedepankan narasi tentang keadilan restoratif dan reintegrasi sosial sebagai bagian dari sistem hukum modern.

Indonesia perlu menunjukkan langkah konkret ini sebagai bukti kepatuhan terhadap komitmen HAM internasional, termasuk pelaporan dalam forum seperti Universal Periodic Review (UPR) PBB. Penghapusan SKCK sebagai syarat kerja yang tidak proporsional bukan hanya reformasi administratif, tetapi juga bagian dari transformasi hukum menuju sistem yang lebih inklusif, adil, dan menghormati martabat manusia. Langkah ini akan memperkuat posisi Indonesia sebagai negara yang konsisten dalam menjalankan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dalam kebijakan domestiknya.

  1. Kesimpulan

Berdasarkan prinsip-prinsip Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, penggunaan SKCK untuk melamar kerja hanya dapat dibenarkan jika dibatasi pada pekerjaan dengan risiko tinggi dan tidak menimbulkan diskriminasi sistemik. Jika tidak, penggunaannya justru melanggar komitmen Indonesia terhadap pemenuhan hak sipil, perlindungan hukum yang setara, dan reintegrasi sosial mantan narapidana.

SKCK tetap relevan jika diterapkan untuk: 1) Profesi yang menyangkut keamanan nasional; dan 2) Posisi keuangan yang mengelola dana publik.

Pertimbangan utama negara-negara di dunia yang sudah menghapus persyaratan SKCK adalah menciptakan sistem ketenagakerjaan yang inklusif, adil, dan mendorong reintegrasi sosial, bukan memperpanjang hukuman sosial secara tidak langsung. Langkah ini juga terbukti efektif dalam menurunkan angka residivisme dan meningkatkan partisipasi warga negara dalam pembangunan ekonomi dan sosial.

Referensi:

Baur, J. E., Hall, A. V., Daniels, S. R., & Buckley, M. R. (2018). Beyond banning the box: A conceptual model of the stigmatization of ex-offenders in the workplace. Human Resource Management Review, Elsevier. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1053482217300542

Tyner,   A.R. (2019). Ban the Box. GPSolo, American Bar Association. https://www.jstor.org/stable/27044672

Solinas-Saunders, M., & Stacer, M.J. (2018). Fighting labormarke t discrimination with Ban the Box (BTB): Are there racial implications? Sociology Compass. https://www.researchgate.net/publication/321195664_Teaching_learning_gui de_for_Fighting_labor_market_discrimination_with_ban_the_box_BTB_Are_ther e_racial_implications

Kaestner, R., & Wang, X. (2024). Ban-the-box laws: Fair and effective? International Review of Law and Economics,Elsevier. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0144818824000127

Mdakane, M. (2022). How Much Punishment Is Enough? The Criminal Record as a Death Sentence. https://www.researchgate.net/publication/381829562

Saluja, S., & Rosen, H. (2015). Why Public Health Practitioners Should Care About Job Prospects for People with Criminal Records. Harvard Public Health Review. https://www.jstor.org/stable/48503133

 

Loading...