Jokowi Sedang “Menggoreng” Para Mafia Migor, Harap Bersabar Ini Ujian!

Jokowi Sedang “Menggoreng” Para Mafia Migor, Harap Bersabar Ini Ujian!
Ilustrasi artikel berjudul "Jokowi Sedang “Menggoreng” Para Mafia Migor, Harap Bersabar Ini Ujian!"

Jokowi Sedang “Menggoreng” Para Mafia Migor, Harap Bersabar Ini Ujian! Ditulis oleh: Andre Vincent WenasDirektur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis (LKS) PERSPEKTIF, Jakarta.

Semua minta supaya Jokowi turun tangan membasmi para mafia migor (juga mafia lainnya sih). Harap bersabar, prosesnya sedang berlangsung. Ini ujian!

Ekspor tidak dilarang: Mafia migor bermain (kolusi) dengan Kemendag memalsukan dokumen ekspor. Ini sudah terbukti dengan dicokoknya “wayang-wayang” para mafia itu oleh Kejaksaan. Pasar migor domestik amburadul (kelangkaan dan harga tinggi berbulan-bulan). Konsumen dalam negeri sengsara.

Ekspor lalu dilarang: Harga CPO dunia (juga minyak substitusi sawit lainnya) melambung. Petani sawitnya yang sekarang terancam menderita lantaran Tandan Buah Segar (TBS)nya bakal seret pembeli (off-taker). Menurut data di situs Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) yang kita akses tanggal 23/04/2022 jam 19.04 WIB terdaftar sejumlah 9.395 petani sawit.

Lalu lantaran ekspor dilarang, katanya bakal ada ancaman penyelundupan minyak sawit. Ini tentu permainan para mafia itu lagi. Kalau pun para penyelundup itu nantinya tertangkap, kemungkinan besar cuma “wayang-wayang”nya saja lagi.

Jadi bagaimana?

Memang ada tarik-menarik (tegangan) antara kepentingan konsumen domestik dengan petani rakyat. Dua-duanya warga negara Indonesia. Tapi juga ada kepentingan APBN yang butuh devisa, apalagi gegara C-19 ini yang membuat postur anggaran negara kita “rada merana”. Devisa itu disetor oleh pembayar pajak, yaitu para pengusaha yang mengekspor sawit. Lagi-lagi semuanya orang Indonesia.

Jadi ada empat pihak, konsumen, petani, negara dan pengusaha. Bagaimana agar keseimbangan antara keempatnya bisa terjaga dengan baik. Dengan baik itu artinya semuanya win-win (menang-menang, sama-sama untung).

Biasanya CPO kita kebanyakan memang diekspor. Data GAPKI, tahun 2020 produksi CPO 47 juta ton, dikurangi total penggunaan untuk Biodiesel dan Pangan sejumlah 15,69 juta ton. Masih tersisa 31,31 juta ton, ini yang bisa (boleh) diekspor.

Lalu tahun 2021 produksi CPO 46,89 juta ton, dikurangi total untuk Biodiesel dan Pangan sejumlah 16,29 juta ton. Masih tersisa 30,6 juta ton, ini yang bisa (boleh) diekspor.

Kemudian prediksi tahun 2022 ini produksi CPO 49 juta ton, dikurangi untuk program Biodiesel dan Pangan sejumlah total 18,43 juta ton. Masih tersisa 30,57 juta ton, ini juga yang masih bisa (boleh) diekspor.

Kalau skema pembagian kuantitas minyak sawit seperti ini (dengan harga yang pantas) bisa berjalan baik, ya tentu saja semuanya bakal baik-baik saja. Tapi ternyata skenario besar seperti itu – de-facto – sejak akhir tahun lalu jadi berantakan. Apa sebabnya?

Tidak sulit sekarang untuk melokalisir penyebabnya. Dari empat pihak tadi (konsumen, petani, negara dan pengusaha) hanya dua pihak yang bikin gara-gara. Yaitu, oknum aparat negara dan oknum pengusaha (masing-masing beserta konco-konconya). Kedua pihak inilah yang berkolusi dan menjelma menjadi mafia migor.

Mereka terangsang harga CPO dunia yang tinggi, lalu berkonspirasi memalsukan dokumen ekspor. Bahan baku migor yang untuk DMO pun terdeviasi keluar. Migor pun langka maka harga migor melonjak. Hukum ekonomi yang sederhana.

Oh ya, yang di sebut “konco-konco”nya itu siapa saja sih? Itu bisa saja meluas sampai ke oknum di parlemen, oknum parpol, oknum para pembantu presiden sendiri, asosiasi ini dan itu, buzzer, media, bahkan ormas maupun “gerakan mahasewa”, dlsb.

Masing-masing dengan agendanya sendiri-sendiri, ada yang murni bermotif ekonomi, tapi juga ada pula yang punya motif politik di belakangnya. Bentuknya ya kartel dagang yang bercampur dengan kartel politik.

Jadi yang mesti “dibereskan” adalah dua pihak itu tadi: oknum aparat negara dan oknum pengusaha. Sementara konsumen dan petani rakyat – seperti biasa – selalu hanya jadi korban. Sekaligus dalih (tameng) untuk membenarkan (justifikasi) pembelaan diri para mafia. Demi petani rakyat, demi konsumen… demikian.

Pintu masuk untuk mengidentifikasi para mafia (pemainnya) sudah dibuka berkat keberanian Kejaksaan menangkap “para wayang” dari konspirator (ada yang dirjen ada yang komisaris). KPPU (dan BIN?) pun sudah punya data tentang 8 (delapan) oligarki-kartel, juga dengan siapa saja mereka “bermain”. PPATK pasti bisa membantu, Kepolisian siap bertindak, KSAL sudah memerintahkan jaga lautan dari penyelundup. Sementara KPK… ya KPK boleh terus memonitor.

Tinggallah sekarang follow-up yang tuntas… tas… tas!!! Sampai ke mereka yang ada di kantor-kantor ber-AC milik negara maupun swasta. Baik yang ada di Indonesia, maupun yang lagi “ngumpet” di Singapura misalnya.

Ya memang follow-up-nya tidak semudah menulis kata ‘tuntas… tas… tas!!!’ itu tadi. Konstelasi permufakatan jahat ini diduga melibatkan oknum-oknum “tingkat tinggi” serta oknum-oknum “berkantong-tebal” yang bisa menyewa siapa saja. Termasuk menyewa “malaikat pencabut-nyawa” demi mengamankan agenda permufakatan jahat mereka.

Presiden Jokowi dalam hal ini memang mesti ekstra hati-hati. Kebijakan nekadnya untuk melarang ekspor CPO dan Migor sementara ini adalah upaya “membakar semak” agar ular beludak kurang ajar yang selama ini “mengkhianati” beliau berhamburan keluar. Jokowi sedang gantian “menggoreng” mereka pelan-pelan.

Pelarangan ekspor ini semacam shock-therapy. Kebijakan ini memang “berbahaya” namun perlu. Ancaman bisa datang dari dalam negeri maupun luar negeri, dengan berbagai bentuknya. Namun mengingat Presiden Jokowi yang berani “vivere-pericoloso” (nyerempet bahaya), inilah jalan yang bisa ditempuh dalam konteks kekinian.

Semoga saja ada mafia migor yang copot jantungnya (pusing dengan kontrak-kontrak yang sudah mereka pegang) sambil ketar-ketir takut ketahuan belangnya.

Pada waktu yang ditentukan kemudian maka pelarangan itu bakal berhenti. Devisa mengalir kembali, migor tersedia di pasar konsumen dengan harga yang pantas, dan petani sawit punya off-taker lagi. Kembali ke jaman “normal”.

Soal teknis lainnya tak bisa diungkap semua disini. Namanya juga strategi jebakan-batman untuk menangkap ular beludak. Bukankah yang minta supaya Presiden Jokowi membasmi para mafia itu adalah kita juga?

Hanya saja, kita semua (konsumen, petani, dan aparat negara yang berintegritas serta pengusaha yang baik-baik) mesti bersabar.

Ini ujian!

Loading...