Nicholay Aprilindo: Oknum Pembina Tak Ngerti Sejarah dan Nafas UKSW

Nicholay Aprilindo: Oknum Pembina Tak Ngerti Sejarah dan Nafas UKSW
Dr Nicholay Aprilindo SH MH MM: Oknum Pembina Tak Ngerti Sejarah dan Nafas UKSW

HARIANNKRI.ID – Alumni Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Dr Nicholay Aprilindo SH MH MM menyayangkan terpilihnya IU sebagai rektor universitas tersebut. Ada hal yang terlupakan oleh dewan pembina yayasan yang menaungi universitas, sehingga terkesan memaksakan seseorang untuk menjadi rektor salah satu universitas Kristen tertua di Indonesia ini.

Hal ini dikatakan oleh Nicholay saat dihubungi hariannkri.id melalui sambungan selular, Sabtu (7/1/2023). Alumnus Fakultas Hukum UKSW angkatan 86 ini mendukung langkah hukum yang dilakukan oleh dua rekan alumninya dengan menggugat 39 orang terkait pemilihan rektor UKSW periode 2022-2027 yang bergulir di Pengadilan Negeri Salatiga.

“Saya sebagai alumni mendukung langkah hukum yang dilakukan oleh Indra Budiman dan David Samuel Gabrial Pella dengan Pak Marthen H Toelle sebagai kuasa hukumnya. Karena dari awal saya katakan lebih baik itu diselesaikan secara hukum agar jelas permasalahannya,” katanya.

Gugatan Alumni UKSW

Aktivis nasional ini mengaku sudah membaca gugatan tersebut dan menurutnya isi gugatannya sudah sangat bagus. Karena dalam gugatan tersebut ditekankan akan adanya asas Souvereinitas (Kedaulatan Tuhan) yang menjadi moto atau pedoman dari UKSW.

“Itu adalah langkah yang sangat bagus. Perlu kita ketahui, UKSW ini kan termasuk universitas yang cukup tua di negeri ini dan mempunyai nama. Sehingga saya melihat bahwa terjadinya permasalahan saat ini, dapat mempengaruhi predikat UKSW yang sudah terbangun puluhan tahun itu menjadi negatif,” imbuhnya.

Nicholay menuturkan, UKSW didirikan oleh doktor Noto Hamijoyo pada 30 November 1956. Hingga dibawah kepemimpinan rektor yang berakhir pada tahun 2022, semua berjalan dengan baik.

“Amanah pendiri UKSW dipegang dengan teguh. Semua rektor adalah alumni UKSW,” tegas doktor lulusan UNS ini.

Namun pada perkembangannya, menurutnya, terjadi semacam perubahan pandangan oleh oknum yayasan yang terdiri dari para dewan pembina yang tidak pernah mengenyam pendidikan di UKSW. Mereka terkesan mengambil satu keputusan yang sangat kontraproduktif.

“Yaitu menjadikan orang luar UKSW menjadi rektor UKSW. Ini menjadi permasalahan, sehingga alumni juga merasa kaget dan keberatan. Karena dirasa sudah menyalahi moto dan amanah dari para pendiri.

Idealisme Universitas Kristen Satya Wacana

Ini menjadi catatan, ungkap Nicholay, sehingga para alumni, khususnya yang tetap berpegang teguh pada idealisme UKSW. Mereka meminta agar ada para alumni yang bisa meluruskan permasalahan ini dengan menggugat secara hukum.

“Karena ini menyangkut statuta universitas. Supaya apa yang menjadi prinsip dasar dari jangan dilencengkan atau dimanipulir sedemikian rupa. Sehingga akan berdampak negatif terhadap proses belajar mengajar universitas. Apalagi menyandang moto sebagai universitas Kristen,” ujar Nicholay.

Terkait beredar berbagai desas-desus sepanjang pemilihan dan oknum rektor terpilih, Nicholay berpesan agar tidak terpengaruh. Penggugat harus melihat secara jernih permasalahan hukum mengenai statuta universitas dan mengenai pemilihan serta proses pengangkatan rektor.

“Kalau cacat hukum, maka akan berakibat pemilihan atau pengangkatan tersebut batal demi hukum. Itu semua akan ditentukan, ketika kita melakukan upaya hukum dengan gugatan di pengadilan. Itu yang dilakukan oleh teman-teman saat ini,” ungkapnya.

Kabar nama rektor terpilih (IU) yang sebelumnya mendapat penolakan dari senat mahasiswa saat masih berstatus bakal calon rektor, diakui Nicholay, sudah ia dengar. Nama IU tercantum pada akhirnya, menurutnya, karena dipaksakan oleh oknum-oknum pembina yayasan.

Ia berpendapat, adanya unsur dipaksakan masuk ini dapat berakibat pada pemilihan atau proses yang cacat hukum.

“Menyalahi prosedural atau aturan hukum yang ada, dalam hal ini statuta universitas. Apabila pihak senat mahasiswa menolak, kan harusnya pihak yayasan juga menilai penolakan senat tersebut dan tidak semena-mena pihak yayasan menentukan. Ini kan alam demokrasi dan alam hukum. Jadi tidak boleh memaksakan kehendak itu. Makanya saya bilang bahwa ini prosedural yang cacat hukum,” tegas Nicholay.

Apa Motif Dewan Pembina UKSW?

Pengacara yang pernah menjadi kuasa hukum Menteri Pertahanan Prabowo Suabianto menuturkan, dari 7 nama yang diajukan senat mahasiswa, mengerut menjadi 3 nama. Tiga nama tersebutlah nanti yang akan diumumkan untuk dipilih berdasarkan suara terbanyak, siapa yang akan menjadi rektor UKSW.

Dari tiga nama tersebut, ada satu nama yang dinyatakan tidak lulus administrasi, yang kemudian nama IU pun muncul menggantikan nama tersebut. Padahal, menurut Nicholay, nama yang dicoret tersebut adalah alumni UKSW diklaim cukup mumpuni untuk memimpin universitas tersebut.

“Tetapi dibuat manuver sedemikian rupa sehingga tidak lulus administrasi. Para oknum pembina tidak mengerti tentang sejarah dan nafas UKSW,” seru Nicholay.

Selain itu, lanjutnya, ada faktor X yang mempengaruhi dewan pembina sehingga mengambil orang luar yang bukan alumni UKSW menjadi rektor di UKSW. Kepada hariannkri.id, Nicholay tidak bersedia mengungkapkannya.

“Faktor X nya itu apa? Nanti kita melihat dalam jawab jinawab dalam persidangan gugatan tersebut,” tegasnya.

Nicolay menyayangkan, pada sidang perdana yang digelar Rabu 4 Janiari 2023, dari 39 tergugat, hanya satu yang hadir. Ia pun berpesan agar rekannya tetap fokus pada gugatan yang dilayangkan di PN Salatiga.

“Harus fokus. Bahwa gugatan itu dihadiri satu orang saja, harus tetap dilanjutkan,” katanya.

Aktivis nasional ini juga meminta semua pihak agar tidak memasalahkan komposisi Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut. ia mengingatkan, walau dua anggota majelis hakim adalah alumni UKSW, namun ia yakin bahwa hakim bersifat independen.

“Harus memakai prinsip independensia sebagai seorang hakim. Dia tidak boleh berpihak. Artinya gini. Mereka harus mendudukkan permasalahan itu baik secara yuridis maupun sosiologis.

Ditambahkan, jika hakim sudah berat sebelah, maka hal ini tidak baik bagi dunia peradilan dan pencari keadilan. Hakim harus berpatokan pada aturan yang ada, prinsip yuridis yang berlaku dan asas sosiologis yang berkembang dalam masyarakat.

“Itu juga harus menjadi salah satu pemikiran dari hakim yang mengadili untuk memutuskan suatu perkara,” pungkasnya. (OSY)

Loading...