Pemilu Paling Memilukan dan Memalukan. Oleh: Ramdan Hamdani, Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial.
Pesta demokrasi yang baru saja digelar beberapa pekan lalu nyatanya menjadi suksesi paling memilukan sepanjang sejarah republik ini berdiri. Betapa tidak, ratusan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) terpaksa harus meregang nyawa. Akibat beratnya beban tugas yang mereka jalani. Faktor kelelahan pun diduga menjadi penyebab gugurnya para pejuang demokrasi itu.
Namun, tidak sedikit pula pihak yang meragukan faktor kelelahan sebagai penyebab utama kematian. Investigasi lebih lanjut untuk mengetahui penyebab pasti meninggalnya ratusan anggota KPPS itu pun terus disuarakan mengingat banyaknya kejanggalan. Pemilu yang diselenggarakan secara serentak itu pun menjadi pemilu “termahal” sepanjang sejarah. Karena besarnya biaya yang dikeluarkan serta banyaknya petugas yang gugur saat melaksanakan tugasnya.
Peristiwa memilukan tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi. Apabila pihak penyelenggara di tingkat pusat (KPU) benar – benar memiliki kesiapan secara matang dalam menggelar hajatan lima tahunan tersebut. Beratnya tugas yang harus dilaksanakan oleh para anggota KPPS pada pemilu kali ini seharusnya disikapi oleh KPU. Dengan mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk menyiapkan petugas medis di tiap TPS.
Melakukan penghitungan lima kotak suara yang berlangsung hingga dini hari bukanlah perkara mudah. Terlebih diwarnai dengan berbagai permasalahan. Kenyataan menunjukkan, cukup banyak TPS yang tidak menerima kebutuhan logistik sebagaimana mestinya. Hal ini pada akhirnya menimbulkan persoalan tersendiri bagi para petugas KPPS yang benar – benar menginginkan terselenggaranya pemilu yang profesional, jujur dan adil bagi semua pihak.
Di lain pihak, berbagai bentuk kecurangan dalam pemilihan presiden (pilpres) yang diduga dilakukan secara terstruktur, sistematis dan massif kian menyeruak ke permukaan. Beberapa saat setelah hajatan lima tahunan tersebut digelar. Ironisnya, berbagai modus kecurangan tersebut justru dipertontonkan secara telanjang tanpa ada sedikit pun rasa malu yang ditunjukkan oleh para pelaku. Beragan bukti kecurangan dalam bentuk tayangan video, gambar serta pengakuan para saksi di lapangan menunjukkan, ada permainan kotor di tingkat elit. Yang sengaja dilakukan untuk memenangkan jagoan mereka sekalipun harus menempuh cara–cara yang tidak beradab.
Adapun pencoblosan sisa kertas suara oleh oknum ketua ataupun petugas KPPS untuk memenangkan salah satu pasangan calon yang sempat viral di media sosial, merupakan salah satu modus yang dilakukan oleh para pelaku untuk memuluskan niat jahat mereka. Peristiwa yang terjadi di kabupaten Nias, Boyolali, bahkan Malaysia tersebut hanyalah contoh kecil. Dari sekian banyak kasus yang mungkin tidak sempat terekspose oleh media (sosial).
Sebagian pihak bahkan mengaitkan kasus tersebut dengan peristiwa meninggalnya ratusan petugas KPPS, beberapa saat setelah Pemilu serentak digelar. Hal ini dipicu oleh adanya beberapa kasus dimana petugas KPPS diketahui bunuh diri karena diduga depresi ataupun adanya tekanan dari pihak – pihak tertentu.
Asumsi tersebut patut dimaklumi. Mengingat cukup banyak para pejuang demokrasi yang gugur saat menjalankan tugas tersebut dikenal tidak memiliki riwayat penyakit yang berat dan berpotensi menimbulkan kematian.
Selain pencoblosan, sisa kertas suara oleh oknum petugas KPPS, penggelembungan suara di tingkat TPS ataupun PPK juga marak dilakukan. Adapun modus yang digunakan oleh para pelaku adalah dengan cara menambah suara untuk paslon yang mereka dukung atau mengurangi jumlah suara bagi rivalnya.
Namun, massifnya modus semacam ini serta kian berkembangnya teknologi informasi menjadikan kasus–kasus seperti ini semakin sulit untuk disembunyikan. Setiap kali ada pihak yang mengklaim kemenangan jagoannya di suatu daerah akan segera disambut oleh lawan mereka. Dengan menunjukkan data pembanding yang menunjukkan kondisi sebaliknya. Akibat kasus semacam ini pulalah kemudian pihak Bawaslu merekomendasikan Penghitungan Suara Ulang di seluruh TPS di Surabaya.
Di lain pihak, KPU yang diharapkan bekerja secara profesional justru belum mampu menunjukkan kinerja sebagaimana harapan masyarakat. Banyaknya kesalahan entri data yang dilakukan oleh para petugasnya. Mengakibatkan Pemilu kali ini diliputi oleh ketidakpastian. Ribuan kesalahan entri data yang ditemukan oleh para relawan salah satu kandidat sering kali dijawab oleh KPU dengan dalih bahwa hal tersebut merupakan human error.
Namun, jawaban dari pihak KPU itu menjadi tidak masuk akal, manakala “human error” tersebut terbukti lebih banyak menguntungkan salah satu kandidat. Publik pun kemudian menduga kuat adanya human order dari berbagai kasus kesalahan entri data yang dilakukan oleh pihak KPU tersebut.
Adapun media (mainstream) sebagai salah satu pilar demokrasi nampaknya tidak mampu berbuat banyak. Dalam menyaksikan berbagai kebobrokan yang terjadi pada pemilu kali ini. Adanya ancaman serta intimidasi dari pihak–pihak tertentu, senantiasa membayangi insan – insan pers yang berani mengungkap berbagai bentuk kecurangan kepada khalayak ramai.
Mereka seakan tersandra oleh sebuah kekuatan besar yang siap meluluhlantahkan siapa saja yang berani menghalangi jalannya. Dalam kondisi seperti ini, media pun seakan dibuat mati suri dan hanya bisa tertunduk pada kekuatan besar tersebut.
Di tengah ketidakmampuan aparat penegak hukum dalam mengusut secara tuntas berbagai bentuk kecurangan tersebut. Potensi terjadinya gejolak di berbagai daerah serta konflik horizontal antar pendukung pun menjadi kian tak terhindarkan. Pengumuman pemenang Pilpres yang dilakukan oleh KPU di saat rakyat Indonesia tertidur lelap. Itu bukanlah merupakan akhir dari kompetisi ini. Melainkan titik awal konflik (yang dikhawatirkan) berkepanjangan dan cukup menguras energi bangsa yang besar ini.
Oleh karena itu, KPU sebagai lembaga yang dipercaya oleh rakyat untuk menggelar hajatan besar ini diharapkan mampu bekerja secara profesional dengan mengedepankan nilai–nilai kejujuran di waktu yang tersisa ini. Adapun Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga yuridis. Yang diharapkan mampu memberikan keadilan bagi seluruh pihak yang bersengketa dituntut untuk mampu bekerja secara profesional. Jika tidak, pesta demokrasi yang menghabiskan anggaran puluhan triliun rupiah itu pun hanya akan melahirkan pemimpin yang justru menjadi beban bagi rakyat yang dipimpinnya.