Sanksi Rakyat, Padamu Partai Kakbah, Sebuah Opini Dimas Huda

Sanksi Rakyat, Padamu Partai Kakbah, Sebuah Opini Dimas Huda

Sanksi Rakyat, Padamu Partai Kakbah. Oleh: Dimas Huda, Pemerhati Politik.

Konflik interen dan jeratan korupsi pada sang ketua umum menjadikan partai berlambang Kakbah ini oleng. Setidaknya dua juta rakyat telah menjatuhkan sanksi pada partai Islam ini. Mereka memilih partai lain. PPP nyaris tidak bisa mengirimkan wakilnya ke Senayan pada 2019.

Partai Persatuan Pembangunan atau PPP menggelar syukuran dengan menyantuni 100 anak yatim Kamis (23/5) lalu. Acara santunan digelar bersamaan dengan buka puasa bersama di Kantor DPP PPP, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Hadir memberikan tausiah dalam acara itu Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH M Cholil Nafis.

Parta Islam ini bersyukur karena bisa lolos mengirim wakilnya ke Senayan. Partai Kakbah mengoleksi suara 6,3 juta atau 4,52% pada pemilu 2019. Dengan perolehan suara sebesar itu, PPP lolos ketentuan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold 4%. Perolehan suara ini turun dibanding pemilu 2014 yang mencapai 8,16 juta suara atau 6,53% dengan 39 kursi. Namun tetap saja patut disyukuri karena sebelum pemilu banyak survei menyebut PPP bakal tak mencapai ambang batas suara. Alhamdulillah, survei itu meleset.

“Kami berterima kasih kepada masyarakat sehingga PPP masih mendapatkan kepercayaan dan bisa menembus ambang batas parlemen,” ucap Plt Ketua Umum DPP PPP, Suharso Monoarfa, dalam sambutannya.

Suharso boleh jadi sadar bahwa hidup ini mesti terus bersyukur, kendati capaian tidak seperti yang diharapkan. Syukur ini kali akan menjadi bahan introspeksi diri bagi PPP untuk melanjutkan langkahnya ke depan. Seburuk apa pun prestasi yang diraih, memang baru sebesar itu yang bisa dicapai.

Remuknya suara partai berasaskan Islam ini menyusul konflik yang menderanya. Menjelang pemilu 2019, sampai kini, ada dualisme kepengurusan di dalam Partai Kakbah, yaitu PPP versi M Romahurmuziy alias Romi dan kubu Suryadharma Ali yang kemudian dilanjutkan oleh Djan Faridz dan Humphrey Djemat. Namun, Kementerian Hukum dan HAM hanya mengakui kubu kepengurusan Romi yang juga disahkan MA.

OTT Romi

Celakanya, PPP juga dirudung kasus korupsi. Dua Ketum partai ini kini menjadi pesakitan. Romi, sang ketum, terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK karena kasus rasuah. Romi menjadi pesakitan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK sebulan sebelum Pileg 2019. Ia ditangkap dalam kasus dugaan jual beli jabatan di Kementerian Agama. Nama Menteri Agama yang juga kader PPP Lukman Hakim Saifuddin pun terseret-seret.

Romi mengekor Suryadharma Ali menuju terungku KPK. Surya telah divonis 10 tahun penjara oleh Pengadilan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta pada Juni 2016. Selain itu, eks Menteri Agama ini dicabut hak politiknya selama lima tahun setelah pidana penjara selesai dijalani. Surya juga dikenakan denda Rp300 juta subsider tiga bulan kurungan.

Menurut PT DKI, Suryadharma terbukti menyalahgunakan jabatannya selaku menteri dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2010-2013 dan dalam penggunaan dana operasional menteri. Atas penyalahgunaan wewenangnya, Suryadharma dianggap merugikan keuangan negara sebesar Rp27,3 miliar dan 17.967.405 riyal Saudi

Kasus korupsi memiliki daya rusak yang dahsyat bagi parpol Islam. Apalagi bila itu melibatkan ketumnya. Buktinya, PPP ditinggalkan pemilihnya begitu kadernya menjadi pasien KPK. Kondisi berbeda dialami partai nasionalis macam PDI Perjuangan. Kader Banteng Moncong Putih banyak bahkan yang terbanyak menjadi pasien KPK, namun tetap saja bisa mendulang suara signifikan.

Kendati demikian, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research & Consulting Pangi Syarwi Chaniago menyatakan citra politik bersih masih menjadi faktor penentu partai politik mendapatkan suara. PPP masuk dalam pusaran tsunami yang bersumber dari korupsi ketum-nya. “Kasus korupsi nyata bisa menjadi tsunami elektoral partai. Kasus Romi jelas menurunkan elektabilitas PPP. Partai ini kan soal memenangkan citra,” kata Pangi kepada CNNIndonesia.com, Senin (20/5).

Wakil Sekretaris Jendral PPP Achmad Baidowi juga mengakui Pileg 2019 merupakan pukulan telak bagi PPP. Ia memperkirakan setidaknya 2 juta suara PPP hilang dibandingkan tahun 2014, yakni dari suara sekitar 8 juta menjadi 6 juta. Kejadian ini tak lain karena kasus korupsi Romi.

“Musibah PPP menjadi pukulan telak terjadi sebulan sebelum pemilu. Padahal sebelumnya kami mengumumkan diri sebagai partai bagus, bersih, tidak mencalonkan koruptor. Dan itu secara tidak langsung membuat persepsi publik terpengaruh,” katanyan juga kepada CNNIndonesia.com.

Kantong-kantong suara PPP yang turun drastis ada di kota besar. Misalnya, Jawa Barat yang tadinya mendapat 7 kursi kini terjun bebas hanya mendapat 3 kursi. “Belum lagi kami kena black campaign dan isu SARA yang mengatakan kami partai penista agama,” cetusnya. “Beruntung kita memberhentikan Pak Romi sehingga terputus urusan pribadi beliau [dan PPP] membalikkan keadaan,” imbuhnya.

Khittah NU

PPP didirikan 5 Januari 1973. Partai ini merupakan hasil fusi empat partai: Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Parmusi. Fusi adalah bagian dari penyederhaan sistem kepartaian di era Orde Baru.

Berdirinya PPP dideklarasikan lima tokoh yang merupakan pimpinan empat Partai Islam peserta Pemilu 1971 dan seorang ketua kelompok persatuan pembangunan, semacam fraksi empat partai Islam di DPR. Para deklarator itu adalah KH Idham Chalid, Ketua Umum PB Nadhlatul Ulama; H. Mohammad Syafaat Mintaredja, SH, Ketua Umum Partai Muslimin Indonesia (Parmusi); Haji Anwar Tjokroaminoto, Ketua Umum PSII; Haji Rusli Halil, Ketua Umum Partai Islam Perti; dan Haji Mayskur, Ketua Kelompok Persatuan Pembangunan di Fraksi DPR.

PPP berasaskan Islam dan berlambangkan Kakbah. Akan tetapi dalam perjalanannya, akibat tekanan politik kekuasaan Orde Baru, PPP pernah menanggalkan asas Islam dan menggunakan asas Negara Pancasila sesuai dengan sistem politik dan peraturan perundangan yang berlaku sejak tahun 1984.

Partai berasaskan Islam ini sejak berdiri kelewat rajin bergejolak karena konflik interen. Akibatnya, suara yang diraih pun berfluktuasi dari pemilu ke pemilu. PPP mulai mengikuti pemilu pada 1977. Pemilu perdana bagi PPP ini Partai Kakbah mendulang 18,7 juta suara atau 29,29% dengan 99 kursi. Kala itu konstestan pemilu ada tiga: PPP, Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia. Golkar menambang 398 juta suara atau 62,11%, (232 kursi), PPP 18,7 suara atau 29,29% (99 kursi), dan PDI 5,5 juta suara atau 8,60% (29 kursi).

Pada Pemilu 1982, suara PPP naik namun jumlah kursi susut. Kala itu, suara yang mencoblos PPP 20,9 juta suara namun hanya menjadi 94 kursi.

Pada 1987 suara PPP turun dratis menjadi 13,7 juta suara dengan hanya 61 kursi dan pada 1992 meraih 16,62 juta dengan 62 kursi. Banyak pihak menduga PPP menjadi layu setelah berganti lambang dan asas. Sudah begitu, NU meninggalkan partai ini dengan mendeklarasikan konsesus kembali ke khitah.

Mega Bintang

Pemilu era Orde Baru terakhir, 1997, PPP masih mampu mengoleksi 25,34 juta suara dengan 89 kursi. Loncatan suara ini terjadi menyusul munculnya fenomena Mega-Bintang. Gerakan ini banyak yang menyebut sebagai Aliansi Mega Bintang. Suatu gerakan oposisi yang bertujuan melawan hegemoni Soeharto dan Golkar.

Aliansi Mega Bintang menyeruak ke publik pada masa kampanye Pemilu 1997. Kala itu PDI sedang terpecah sebagai buntut Kongres Medan pada Juni 1996. Konon, kongres itu disokong pemerintah Orde Baru dan memang digelar untuk melengserkan Megawati dari kursi ketua umum PDI. Dalam kongres itu, Soerjadi terpilih sebagai ketua umum. Meskipun demikian, dukungan terhadap Megawati nyatanya tak pupus. Sebagai bentuk perlawanan maka lahirlah Aliansi Mega Bintang yang menggiring pendukung Megawati untuk memilih PPP.

Setelah Orde Baru tumbang dan lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, PPP kembali menggunakan asas Islam dengan lambang Kakbah. Keputusan ini ditetapkan melalui Muktamar IV akhir tahun 1998.

Pada Pemilu 1999, pemilu pertama masa reformasi, PPP hanya sanggup menambang 11,33 suara dengan 58 kursi atau 10,71%. Kala itu ada 40 partai politik peserta pemilu.

Pada 2004 suara yang diraih PPP turun lagi menjadi 9,25 juta atau 5,32% menguasai 58 kursi dari 550 anggota DPR. Selanjutnya pada 2009 suara PPP turun drastis menjadi 5,53 juta atau 5,32% dan mendapatkan 38 kursi.

Dari pemilu ke pemilu, perolehan suara PPP yang paling rendah adalah pada Pemilu 2019. Tren menurun ini akan terus tenggelam jika Partai Kakbah tidak segera berbenah. Rukunlah, dan bertobatlah: hentikan korupsi!

 

Loading...