HARIANNKRI.ID – Ketua Gerakan Aktivis Indonesia Bersatu (GAIB) Banyuwangi Eko Wijiono menyebut video viral wanita cantik menangis di Polresta Banyuwangi mengalami tindakan represif dari oknum kepolisian setempat. Aparat penegak hukum seharusnya mengecek legal standing pelapor sebelum mengambil tindakan lebih lanjut.
Hal itu disampaikan Eko menanggapi video viral wanita cantik menangis histeris di depan ruang Tipidsus Polresta Banyuwangi, Kamis (6/5/2021) lalu. Ia menjelaskan, dalam video yang beredar, wanita cantik bernama Haninah (22) warga Tamanbaru, Kecamatan Banyuwangi itu mengaku diberhentikan secara paksa oleh dua orang berpakaian sipil yang mengaku aparat kepolisian.
Ia menceritakan, Haninah pada saat itu bersama seorang temannya dihadang dan digiring ke Polresta Banyuwangi dengan alasan adanya pengaduan plat nomor palsu. Sedangkan saat dilakukan pemeriksaan, surat-surat kendaraan semuanya asli.
“Selaku aktivis saya merasa sangat prihatin atas peristiwa seperti apa yang ada di video viral kemarin yang beredar. Dan pemberitaan beberapa media yang saya amati,” kata Eko di Taman Sritanjung Banyuwangi, Sabtu (8/5/2021).
Ia pun mempertanyakan tata laksana penanganan sebuah perkara hukum yang dilakukan oleh institusi kepolisian.
“Sepintas yang saya pelajari, diduga pengadu itu tidak memiliki legal standing. Legal standing ini dibutuhkan untuk memenuhi syarat formil dan material dalam sebuah bentuk pelaporan masyarakat,” ujar Eko.
Dia mencontohkan, pelaporan dari masyarakat bisa menunjukkan bukti kuat kepemilikan kendaraan bermotor. Ia pun mengaskan, ditunjukkannya dokumen STNK dan BPKB sangat mutlak diperlukan.
Sedangkan diketahui, menurutnya, korban atas nama Haninah sudah menunjukkan bukti kepemilikan BPKB. Bahwa mobil HRV berwarna putih yang sempat dihadang pada kejadian tersebut adalah miliknya. Bahkan dia juga memiliki faktur pembelian mobil.
Alasan Kasus Wanita Cantik Menangis di Polresta Banyuwangi Disinyalir Akibat Tindakan Represif
Oleh karenanya, Eko mempertanyaan dasar penyidik maupun penyelidik dalam melakukan penindakan perkara. Ia menduga ada kesalahan prosedur yang dilakukan yang menurutnya menjurus ke tindakan represif.
“Jadi seperti yang saya ketahui, dasar penyidik ataupun penyelidik dalam menangani sebuah pengaduan itu, kelengkapan legal standing mutlak diperlukan. Terutama pelapor harus menunjukkan bukti kepemilikan kendaraan bermotor berupa BPKB,” papar Eko.
Berbicara terkait hukum, menurut Eko, secara sederhana hukum itu menyangkut hak dan kewajiban. Manakala ada hak-hak masyarakat sebagai subjek hukum yang terlanggar, maka dia berhak mengajukan persoalan itu kepada bidang yang menangani.
“Saya sangat menyayangkan kalau memang itu terjadi kesalahan prosedur. Maka saya berharap sebagai masyarakat, profesionalisme polisi dalam penegakan hukum dituntut harus didasari SOP yang sesuai undang-undang,” imbuhnya.
Lebih lanjut dia menyampaikan, aparat penegak hukum juga diharapkan tidak subjektif dalam menangani persoalan.
“Sehingga penanganan hukum di masyarakat betul betul mencerminkan rasa keadilan. Sebab dihadapan hukum itu sama, dijamin oleh negara,” imbuhnya.
Eko juga menanggapi adanya penyitaan STNK maupun plat nomor korban yang dilakukan bagian Propam Polresta Banyuwangi. Menurut Eko, penyitaan kedua barang tersebut boleh dilakukan, tapi harus diberikan surat tanda penerimaan (STP).
“Kalau sita saya belum tahu persis, tapi memang dalam aturannya. Sita itu sudah masuk dalam acara pidana. Ketentuannya ya harus administratif formil, berupa memberikan tanda terima. Itu harus ada peranan aktif dari yang menyita yaitu pihak kepolisian diduga dalam hal ini. Karena masyarakat ini kan sebagai subjek hukumnya. Maka kewajiban merekalah untuk memberikan tanda terima berupa surat tanda penyitaan,” tandas Eko. (EST)