Antara Kritik dan Nyinyir: Kerja Kosmetik Anies dan Sebutan Gabener

Antara Kritik dan Nyinyir: Kerja Kosmetik Anies dan Sebutan Gabener
Ilustrasi artikel opini berjudul Antara Kritik dan Nyinyir: Kerja Kosmetik Anies dan Sebutan Gabener

Antara Kritik dan Nyinyir: Kerja Kosmetik Anies dan Sebutan Gabener. Ditulis oleh: Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis (LKS) PERSPEKTIF, Jakarta.

Mengatakannya sebagai kerja kosmetik itu sebentuk kritik, lantaran yang dikritisi itu kerja (atau kinerjanya). Sedangkan “meledek” Anies sebagai ‘Gabener’ itu nyinyir, karena yang disasar pribadinya yang – katanya – gak bener.

Tatkala William Aditya Sarana, anggota DPRD DKI Jakarta dari fraksi PSI mengibaratkan kinerjanya “cuma kosmetik”, alias tidak esensial, dan juga tidak serius apalagi tuntas. Itu adalah kritik terhadap kerja atau kinerjanya.

Maka wacana kritis yang coba dibangun William itu mestinya bak gayung bersambut menjadi polemik (adu argumentasi berdasar data atau fakta) di seputar target kerja, proses kerja dan hasil kerja Gubernur Anies.

Namun sayangnya, sontak para buzzer Balaikota malah berceloteh, kira-kira tone-nya begini: Apa sih yang sudah dikerjakan PSI, kok kerjanya nyinyirin Anies terus?!

Lagi-lagi ini ‘argumentum-ad-hominem’. Sesat pikir, sesat logika.

Bukankah kerja parlemen itu memanglah bicara? Bicara (narasi) tentang kepentingan umum (urusan publik). Parlemen (dari kata bahasa Perancis: parle, yang artinya ya: bicara).

Antara Kerja Kosmetik Anies dan PSI

Demokrasi itu sistem politik yang mengedepankan pembicaraan, diskusi, adu argumentasi dalam narasi yang cerdas. Adu-otak, bukan adu otot. Otak-atik-otak, bukan saling-betot-otot.

Jadi, kalau ditanya “apa sih yang sudah dikerjakan PSI?” maka jawabannya jelas, terus bicara, tidak diam, tidak gagu terhadap isu-isu publik yang mengganggu rasa keadilan, isu korupsi, isu intoleransi, maupun isu pelecehan kemanusiaan lainnya.

Sebagai organisasi, sebuah partai politik juga menjadi agen perekrutan dan pembinaan kader-kader yang mumpuni untuk jadi pelayan publik (public service), yang salah satunya di arena legislatif (parlemen). Untuk apa? Ya untuk mau, mampu dan berani bicara!

Intinya, tak boleh gagu, tak boleh diam manakala ada isu ipoleksosbudhankam yang mesti direspon. Inilah fungsi ‘check and balances’ dari trias-politica. Pembagian, atau pemisahan kekuasaan.

Misalnya saja, terhadap isu pengelolaan kota Jakarta, lalu soal parpol yang masih getol rekrut mantan napi koruptor, isu kejanggalan dalam pasokan minyak goreng nasional, isu kelangkaan BBM solar di berbagai daerah, isu RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, isu tranparansi anggaran (terutama APBD) di berbagai daerah, dll.

Rasanya PSI sangat lantang bersuara. Dan itu memang tugas serta kewajibannya. Bersuara!

Justru yang mesti ditanyakan atau diperbandingkan adalah suara atau pendapat dari organisasi politik lainnya. Supaya publik semakin tercerahkan saat menyimak diskursus argumentatif itu.

Atau jangan-jangan ‘check-and-balances’ itu sudah bermetamorfosis menjadi ‘cheque-and-balancesheet’ ??? Makanya banyak orpol lainnya jadi gagu.

Loading...