HARIANNKRI.ID – Pepatah Jawa Mikul dhuwur mendhem jero diyakini alumni Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Evi Casino adalah solusi terbaik untuk menyelesaikan konflik. Memendam dalam semua perbedaan dan bersama-sama memajukan salah satu universitas Kristen tertua di Indonesia lebih bermanfaat ke depan dibanding berseteru.
Himbauan ini disampaikan salah satu alumnni angkatan 86 Program Studi Bahasa Inggris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Sebagai alumni, Evi mengaku menyayangkan melihat masih ada sebuah lembaga pendidikan bertikai untuk hal dianggapnya yang tidak perlu.
Menurutnya, para alumni sudah tidak waktunya memasalahkan terpilihnya IU sebagai Rektor UKSW periode 2022-2027. Pasalnya, semua proses diyakini sudah melalui tahapan yang semestinya dilakukan. Senat universitas, Gereja pembina, dewan pembina dan pengurus yang lain sudah menjalankan proses dengan baik.
“Sebagai alumni, saya mengharapkan yang terbaik dari tempat saya dulu menuntut ilmu. Kalau ada perbedaan, wong rektornya sudah dilantik kok, harusnya sebelumnya. Apapun yang terjadi, ya itulah yang harus kita hormati. Lepaskan segala ketidaksukaan kita, ketidaksetujuan kita, karena sudah diketok palu, sudah selesai. Harusnya sudah lewat,” kata Evi kepada hariannkri.id melalui sambungan selular, Jumat (20/1/2023).
Terkait dengan rektor terpilih bukan alumni UKSW, baginya bukan sebuah masalah yang perlu diributkan. Ia menuturkan, apapun hasil pemilihan rektor, seharusnya semua pihak menghormati proses demokrasi yang sudah berlangsung.
“Sekarang yang harus dilakukan adalah bersama-sama dengan ibu Rektor Terpilih, walaupun beliau mungkin bukan dari alumni kita. Kalau sudah terpilih, ya itu yang harus kita hormati. Bagi saya, siapapun kalau sudah memenuhi standar dan melalui proses yang sudah ditentukan, ya kenapa tidak,” ungkapnya.
Direktur Corporate Affairs Pura Group ini pun nenanggapi masalah moral rektor terpilih IU seperti yang ramai diperbincangkan. ia mengingatkan, mereka yang memilih rektor UKSW bukanlah orang sembarangan.
“Bahwa dia janda, bahwa dia pernah bercerai, who care. Yang penting dia mampu. Yang milih juga mereka-mereka yang bukan tidak punya dasar agama. Terus kenapa sekarang diomongkan macam-macam,” ujar Evi.
Jika yang menjadi masalah karena IU adalah perempuan, lanjutnya, itu juga bukan masalah penting. Kembali lagi ia mengingatkan, yang paling penting adalah kualitas orang yang akan memimpin UKSW itu sendiri.
“Saya lebih melihat siapa orangnya. Yang penting dia masuk dan lolos kualifikasi yang ditentukan. Saya tidak melihat botolnya, saya lihat isinya. Bermanfaat atau tidak buat kita? For me, it doesn’t matter. What matter is inside, the quality,” tegasnya.
Ia menjelaskan, di dunia kerja modern, status gender, status pernikahan, perilaku di luar pekerjaan dan lainnya adalah embel-embel kecil. Tidak ada yang namanya perempuan tangguh. Karena penambahan kata “perempuan” hanya sebuah embel-embel kecil.
“Nah, embel-embel kecil ini, biasanya akan digunakan sebagai bahan masalah oleh orang-orang yang iri. Kalau perempuan berhasil di karirnya, pasti karena berhasil “memikat” atasan. Kalau laki-laki karena faktor agama. Sentimen-sentimen, variabel-variabel itu tidak penting banget,” ujar Evi.
Yang dilihat pada duia kerja modern, sambungnya, adalah faktor kemampuan seseorang. Bukan mempermasalahkan hal demikian kemudian menyampingkan kualitas dan prestasi seseorang.
“Atau mungkin ada motif atau hal-hal yang belum terselesaikan. Saya tidak ngerti. Saya sama sekali tidak berhubungan dengan kepengurusan Satya Wacana,” kata Evi.
Bangga Jadi Lulusan UKSW
Kepada seluruh civitas akademika UKSW, ia menghimbau untuk segera menghentikan semua konflik yang ada. Sudah bukan waktunya lagi memasalahkan pantas tidaknya seseorang menjadi rektor UKSW, karena orangnya sudah dilantik. Ia meyakini, akan jauh lebih bermanfaat jika semua alumni berfikir ke depan untuk membesarkan UKSW.
“Saya sebagai alumni mengajak semua untuk mendukung dan bekerjasama dan buat UKSW lebih hebat, lebih besar. Bangun jaringan yang lebih kuat. Bikin peringkatnya naik,” imbuhnya.
Tepenting, lanjutnya, adalah memperbaiki semua kekurangan internal UKSW. Melakukan konsolidasi lebih dalam dan bersama-sama memajukan univesitas yang mereka cintai.
“Lalu moncer gitu lho. Panggil pak Jokowi datang ke Satya Wacana, panggil mas Ganjar. Bikin simposium internasional, bikin kerjasama dengan negara lain. So manythings we can do. Dari pada berantem,” ajak alumni 86 ini.
Mikul Dhuwur Mendhem Jero
Evi Casino kemudian mengutip pepatah Jawa “Mikul Dhuwur Mendhem Jero”. Setiap civitas akademica UKSW harus saling mengingatkan agar tidak ada yang bertindak salah, sewenang-wenang, atau melanggar aturan yang akhirnya bisa menjatuhkan UKSW secara keseluruhan. Saling mengingatkan, berbagi dan saling menampung keluh kesah sekaligus berupaya menyelesaikan masalah.
“Saya hanya melihat dan menghadapi bagaimana jaringan alumni universitas lain. Mereka saling support. Lha kok kita malah berantem sendiri,” ugkap alumnus FKIP ini.
Menurutnya, tidak ada manusia yang sempurna, selalu ada kesalahan. Jika dicari hal yang negatif pasti banyak celah yang bisa diugkap. Namun rasanya, bagi Evi, jauh lebih bermanfaat jika menyudahi semua perselisihan, berpikiran positif dan bekerjasama untuk menggaungkan nama UKSW di Indonesia.
“Bahkan dunia. Dan itu bukan hal yang tidak mungkin. Ibu IU itu profesor lho. Sudah memenuhi kualitas dan sudah dilantik. Kita lupakan semua friksi dan ayo bareng-bareng bangun UKSW. Mikul dhuwur mendhem jero,” tutup Evi Casio. (OSY)