Dimana Tempat Anak Berlindung Ketika Orangtua Berkonflik. Ditulis Oleh: Jasra Putra, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kepala Divisi Pengawasan, Monitoring dan Evaluasi (Kadivwasmonev).
Peristiwa kekerasan yang dialami seorang anak pada saat sekolah daring dengan bermain game, menjadi pemandangan yang sangat miris. Karena terjadi di lingkungan keluarga, yang harusnya dapat memenuhi kasih, sayang dan perlindungan. Tapi apa daya ketika orangtua berkonflik panjang, dan anak anak jadi alat pelampiasan. Sehingga ketika anak dianggap bersalah, menjadi alasan membenarkan kekerasan orangtua.
Disisi yang lain, juga ada kegagalan komunikasi di sekolah daring antara orangtua dan guru. Karena soal konsentrasi belajar anak dan situasi belajar di rumah yang sedang konflik orangtuanya.
UU Perlindungan Anak memandatkan anak wajib dihindari dari konflik orang dewasa. Tapi dimana tempat anak ketika konflik itu terjadi, dan bisa diakses anak. Ini yang perlu detail dibicarakan. Padahal pengasuhan tidak bisa lepas dari seorang anak. Karena anak anak yang kehilangan rasa berkeluarga, butuh dukungan dalam sistem kekeluargaan. Siapakah yang menyiapkan hal tersebut untuk anak? RPJMN 5 tahunan kita juga sedang giat giatnya bicara ketahanan keluarga.
Lalu apa yang bisa di intervensi negara dalam melihat pola keragaman cara mengasuh di tengah keluarga berkonflik?
Saya kira dengan tersebarnya video kekerasan kepada anak itu, menunjukkan ekskalasi kekerasan yang semakin meninggi. Potensi konflik yang dipertontonkan ini, dan tingkatan kekerasannya, menunjukkan konflik yang telah lama terjadi di keluarga dan tidak terselesaikan dengan baik. Ada konflik yang berumur panjang dan semakin kesini melibatkan anak anak. Pelampiasan kepada anak, tentu saja sangat di sesalkan semua pihak. Disisi lain, siapa yang ditugaskan bisa mengintervensi di dalam keluarga Apakah ada pihak yang dipercaya dan ditugaskan, serta mudah diakses anak.
Bila tidak ada petugas yang dapat mengintervensi anak anak yang mendapatkan kekerasan dalam ranah KDRT, keluarga, keluarga berkonflik, keluarga bercerai, keluarga terbatas mengasuh, keluarga, apalagi diwarnai kekerasan. Anak anak akan terus tidak bisa dikurangi atau diminimalisir dari kekerasan. Ancaman tidak selamat dan menjadi lebih buruk, akan menanti ke depannya. Perlu upaya lebih dalam intervensi pola keluarga seperti ini.
Kalau gitu negara harusnya sudah mengintervensi, karena kategorinya anak terabaikan dalam pusaran konflik orang dewasa selama setahun.
Negara melalui PP Pengasuhan Anak harus mendorong bagaimana keduanya diberi sangsi karena selama ini menjadikan anak alat pelampiasan konflik. Ada kewajiban orangtua memahami parenting skill di tengah keluarga berkonflik.
Meski anak masih dihantar sekolah, anak sebenarnya tidak ada pilihan lain, dalam ketergantungan kepada figur pelindung. Tapi tentunya anak diberi kesempatan yang lebih baik untuk kesejahteraannya, dengan mendapatkan pengasuhan tanpa kekerasan
Makanya bicara pengabaian pengasuhan atau keterlantaran. Tidak hanya bicara keluarga dengan kemampuan ekonomi terbatas, ini juga terjadi dengan kemampuan ekonomi keluarga di atas rata rata. Inilah yang saya sebut pola keragaman pengasuhan. Yang negara perlu mengakomodir dalam regulasi pengasuhan anak. Agar RUU Pengasuhan Anak yang naskah akademik dan RUU nya sudah ada, dapat ditingkatkan pembahasannya
Jangan sampai kita merasa anak main game, padahal game itu menjadi pelipur lara anak dalam menutup kuping konflik kedua orangtua. Namun sekali lagi perlu pendalaman lebih baik. Agar game tidak menjadi alasan kekerasan.
Kita sedang membayangkan, anak anak yang terus diminta berbuat baik, tapi di lain sisi kita pertontonkan kekerasan. Maka jiwa anak yang seperti apa yang akan kita bentuk di masa depan? Ini yang jadi pertanyaan besar buat kita semua. Sehingga kita perlu duduk kembali bersama menyiapkan perangkat UU pengasuhan anak yang lebih memayungi semua kondisi anak di dalam keragaman pola pengasuhan.
Ada situasi yang seperti dirasa para orang tua tidak selesai, dengan akhirnya melapor kekerasan dengan mengunggah di medsos. Ada kebutuhan jembatan komunikasi, agar tidak semakin anak anak mendapat perlakuan salah dan dikorbankan.
Kembali kesini, sejauh apa komunikasi ayah dan ibu anak. Karena kekerasan sering terjadi, karena ada hubungan disharmoni di keluarga. Yang seringkali berujung anak menjadi korban. Sehingga anak menjadi korban berlapis. Ini juga yang perlu didampingi dan di perdalam. Agar anak tidak semakin dalam kondisi rentan dan terancam